31.4 C
Jember
Thursday, 30 March 2023

Tak Miliki SOP yang Jelas

Mobile_AP_Rectangle 1

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Kebijakan larangan mudik masih terkesan setengah hati. Pemerintah hanya melakukan sosialisasi, tanpa memberikan standard operating procedure (SOP) yang jelas. Ini bisa dilihat dari rancunya pelaksanaan kebijakan di daerah. Terlebih, penerapan kebijakan tersebut tertumpu pada kepolisian. Tidak seperti tahun sebelumnya, yang menjadikan pemerintah daerah sebagai leading sector dari kebijakan tersebut.

Menurut pakar kebijakan publik Universitas Jember, Hermanto Rohman, efektivitas pelarangan mudik dapat dilihat dari dua aspek. Yaitu, kejelasan SOP yang diberlakukan, dan integritas petugas atau pihak yang bersangkutan.

Menurut dia, hingga saat ini SOP tentang pelarangan mudik masih belum jelas. Hal ini dibuktikan dengan adanya informasi pelarangan mudik yang berbeda-beda. Baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Mobile_AP_Rectangle 2

Hermanto menilai, jika aturan diperbolehkannya warga bepergian lintas kabupaten hanya mengacu pada surat keterangan pemerintah desa yang disertai stempel basah, maka potensi manipulasi dokumen sangat tinggi. Berbeda dengan kalangan PNS dan pegawai BUMN. Kebijakan larangan mudik yang dibuat kepala daerah untuk ASN dan pegawai BUMN lebih efektif. Sebab, jika melanggar, akan mendapat sanksi khusus dari instansinya.

“Saya memastikan, dalam konteks PNS atau ASN, kepolisian, dan BUMN ini efektif. Tapi, untuk swasta atau masyarakat secara umum rentan. Makanya perlu ada SOP yang jelas,” ungkap dosen yang juga mantan aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Jember ini.

Menurut Hermanto, upaya meminimalisasi adanya dokumen palsu yang dibuat oleh masyarakat adalah dengan memperjelas skema penyekatan melalui SOP. Selain itu, juga adanya keterangan yang seragam dari semua pemangku kebijakan. Baik di tataran pusat maupun daerah. “Simpang siurnya kebijakan itu bisa menjadi celah masyarakat untuk mengakali. Dan untuk pelaksanaan di lapangan bisa tidak tegas dalam menjalankan kebijakan itu,” imbuh akademisi kelahiran Lamongan tersebut.

Menurut dia, penyusunan SOP yang ideal adalah dengan mencantumkan dokumen bebas Covid-19 bagi orang yang hendak keluar maupun masuk kabupaten. Selanjutnya, adanya perhatian atau kontrol khusus bagi mobilitas dari zona hijau ke zona merah, atau sebaliknya. “Itu yang ditekankan kepada masyarakat, bahwa esensinya bukan melarang mudik. Tapi, meminimalisasi penyebaran Covid-19,” tuturnya.

Selain itu, kebijakan tersebut seharusnya juga diikuti dengan adanya pengetatan yang sama di semua lini. Misalnya pada pusat perbelanjaan maupun sektor pariwisata. Sehingga pengetatan tidak hanya berlaku pada orang-orang yang akan mudik, tapi juga bagi para pelancong yang akan berwisata. Dengan itu, masyarakat dapat memahami keseriusan dan komitmen pemerintah dalam meminimalisasi penyebaran Covid-19.

“Saya melihat, pemerintah hanya fokus pada pelarangan mudik. Padahal di klaster lainnya yang potensial tidak diantisipasi. Itu yang menjadikan posisi pemerintah semakin lemah dalam penerimaan pada masyarakat,” bebernya.

Menurut dia, penanganan pelarangan mudik tahun lalu jauh lebih baik ketimbang saat ini. Sebab, saat itu, keterlibatan pemerintah desa sangat aktif. Misalnya, setiap desa melakukan penyekatan atau lockdown. Hal ini pula yang menjadi acuan sehingga kesadaran masyarakat terhadap penyebaran Covid-19 meningkat.

“Menurut saya, kesiapan pemerintah dalam kajiannya masih kurang. Termasuk mengantisipasi adanya klaster baru. Karena kemarin, pemerintah optimistis bahwa pergerakan ekonomi mulai pulih di 2021 ini. Sehingga fokusnya lebih ke sana,” pungkasnya.

Senada, dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Jember (UMJ) Ria Angin juga menganggap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tidak serius. Aturan untuk menyertakan surat keterangan dari desa yang dilengkapi dengan stempel basah itu rentan dimanipulasi. “Jadi, menurut saya, ketidakefektifan itu dari surat-surat tadi. Bisakah dipercaya? Surat untuk bebas dari Covid-19 saja masih bisa dipalsukan,” sangsinya, saat dihubungi melalui sambungan telepon.

Menurutnya, kebijakan larangan mudik dengan aturan yang belum pasti dan diimbangi dengan longgarnya pada sektor perdagangan dan pariwisata, maka kebijakan tersebut dinilai sangat tidak efektif. Di sisi lain, menurut Ria, mudik merupakan tradisi yang susah untuk dicegah.

Ria pun menyarankan agar kebijakan mudik itu diterapkan untuk jarak atau radius tertentu. Selain itu, juga memperketat penerapan prokes. Pengetatan dapat dilakukan mulai dari lingkup paling kecil dulu dan berkaca pada larangan mudik tahun lalu. “Jadi, mudik itu boleh, tapi dengan radius berapa. Saya rasa itu sangat aman,” tandasnya.

 

 

Jurnalis : Dian Cahyani
Fotografer : Grafis reza
Redaktur : Mahrus Sholih

- Advertisement -

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Kebijakan larangan mudik masih terkesan setengah hati. Pemerintah hanya melakukan sosialisasi, tanpa memberikan standard operating procedure (SOP) yang jelas. Ini bisa dilihat dari rancunya pelaksanaan kebijakan di daerah. Terlebih, penerapan kebijakan tersebut tertumpu pada kepolisian. Tidak seperti tahun sebelumnya, yang menjadikan pemerintah daerah sebagai leading sector dari kebijakan tersebut.

Menurut pakar kebijakan publik Universitas Jember, Hermanto Rohman, efektivitas pelarangan mudik dapat dilihat dari dua aspek. Yaitu, kejelasan SOP yang diberlakukan, dan integritas petugas atau pihak yang bersangkutan.

Menurut dia, hingga saat ini SOP tentang pelarangan mudik masih belum jelas. Hal ini dibuktikan dengan adanya informasi pelarangan mudik yang berbeda-beda. Baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Hermanto menilai, jika aturan diperbolehkannya warga bepergian lintas kabupaten hanya mengacu pada surat keterangan pemerintah desa yang disertai stempel basah, maka potensi manipulasi dokumen sangat tinggi. Berbeda dengan kalangan PNS dan pegawai BUMN. Kebijakan larangan mudik yang dibuat kepala daerah untuk ASN dan pegawai BUMN lebih efektif. Sebab, jika melanggar, akan mendapat sanksi khusus dari instansinya.

“Saya memastikan, dalam konteks PNS atau ASN, kepolisian, dan BUMN ini efektif. Tapi, untuk swasta atau masyarakat secara umum rentan. Makanya perlu ada SOP yang jelas,” ungkap dosen yang juga mantan aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Jember ini.

Menurut Hermanto, upaya meminimalisasi adanya dokumen palsu yang dibuat oleh masyarakat adalah dengan memperjelas skema penyekatan melalui SOP. Selain itu, juga adanya keterangan yang seragam dari semua pemangku kebijakan. Baik di tataran pusat maupun daerah. “Simpang siurnya kebijakan itu bisa menjadi celah masyarakat untuk mengakali. Dan untuk pelaksanaan di lapangan bisa tidak tegas dalam menjalankan kebijakan itu,” imbuh akademisi kelahiran Lamongan tersebut.

Menurut dia, penyusunan SOP yang ideal adalah dengan mencantumkan dokumen bebas Covid-19 bagi orang yang hendak keluar maupun masuk kabupaten. Selanjutnya, adanya perhatian atau kontrol khusus bagi mobilitas dari zona hijau ke zona merah, atau sebaliknya. “Itu yang ditekankan kepada masyarakat, bahwa esensinya bukan melarang mudik. Tapi, meminimalisasi penyebaran Covid-19,” tuturnya.

Selain itu, kebijakan tersebut seharusnya juga diikuti dengan adanya pengetatan yang sama di semua lini. Misalnya pada pusat perbelanjaan maupun sektor pariwisata. Sehingga pengetatan tidak hanya berlaku pada orang-orang yang akan mudik, tapi juga bagi para pelancong yang akan berwisata. Dengan itu, masyarakat dapat memahami keseriusan dan komitmen pemerintah dalam meminimalisasi penyebaran Covid-19.

“Saya melihat, pemerintah hanya fokus pada pelarangan mudik. Padahal di klaster lainnya yang potensial tidak diantisipasi. Itu yang menjadikan posisi pemerintah semakin lemah dalam penerimaan pada masyarakat,” bebernya.

Menurut dia, penanganan pelarangan mudik tahun lalu jauh lebih baik ketimbang saat ini. Sebab, saat itu, keterlibatan pemerintah desa sangat aktif. Misalnya, setiap desa melakukan penyekatan atau lockdown. Hal ini pula yang menjadi acuan sehingga kesadaran masyarakat terhadap penyebaran Covid-19 meningkat.

“Menurut saya, kesiapan pemerintah dalam kajiannya masih kurang. Termasuk mengantisipasi adanya klaster baru. Karena kemarin, pemerintah optimistis bahwa pergerakan ekonomi mulai pulih di 2021 ini. Sehingga fokusnya lebih ke sana,” pungkasnya.

Senada, dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Jember (UMJ) Ria Angin juga menganggap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tidak serius. Aturan untuk menyertakan surat keterangan dari desa yang dilengkapi dengan stempel basah itu rentan dimanipulasi. “Jadi, menurut saya, ketidakefektifan itu dari surat-surat tadi. Bisakah dipercaya? Surat untuk bebas dari Covid-19 saja masih bisa dipalsukan,” sangsinya, saat dihubungi melalui sambungan telepon.

Menurutnya, kebijakan larangan mudik dengan aturan yang belum pasti dan diimbangi dengan longgarnya pada sektor perdagangan dan pariwisata, maka kebijakan tersebut dinilai sangat tidak efektif. Di sisi lain, menurut Ria, mudik merupakan tradisi yang susah untuk dicegah.

Ria pun menyarankan agar kebijakan mudik itu diterapkan untuk jarak atau radius tertentu. Selain itu, juga memperketat penerapan prokes. Pengetatan dapat dilakukan mulai dari lingkup paling kecil dulu dan berkaca pada larangan mudik tahun lalu. “Jadi, mudik itu boleh, tapi dengan radius berapa. Saya rasa itu sangat aman,” tandasnya.

 

 

Jurnalis : Dian Cahyani
Fotografer : Grafis reza
Redaktur : Mahrus Sholih

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Kebijakan larangan mudik masih terkesan setengah hati. Pemerintah hanya melakukan sosialisasi, tanpa memberikan standard operating procedure (SOP) yang jelas. Ini bisa dilihat dari rancunya pelaksanaan kebijakan di daerah. Terlebih, penerapan kebijakan tersebut tertumpu pada kepolisian. Tidak seperti tahun sebelumnya, yang menjadikan pemerintah daerah sebagai leading sector dari kebijakan tersebut.

Menurut pakar kebijakan publik Universitas Jember, Hermanto Rohman, efektivitas pelarangan mudik dapat dilihat dari dua aspek. Yaitu, kejelasan SOP yang diberlakukan, dan integritas petugas atau pihak yang bersangkutan.

Menurut dia, hingga saat ini SOP tentang pelarangan mudik masih belum jelas. Hal ini dibuktikan dengan adanya informasi pelarangan mudik yang berbeda-beda. Baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Hermanto menilai, jika aturan diperbolehkannya warga bepergian lintas kabupaten hanya mengacu pada surat keterangan pemerintah desa yang disertai stempel basah, maka potensi manipulasi dokumen sangat tinggi. Berbeda dengan kalangan PNS dan pegawai BUMN. Kebijakan larangan mudik yang dibuat kepala daerah untuk ASN dan pegawai BUMN lebih efektif. Sebab, jika melanggar, akan mendapat sanksi khusus dari instansinya.

“Saya memastikan, dalam konteks PNS atau ASN, kepolisian, dan BUMN ini efektif. Tapi, untuk swasta atau masyarakat secara umum rentan. Makanya perlu ada SOP yang jelas,” ungkap dosen yang juga mantan aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Jember ini.

Menurut Hermanto, upaya meminimalisasi adanya dokumen palsu yang dibuat oleh masyarakat adalah dengan memperjelas skema penyekatan melalui SOP. Selain itu, juga adanya keterangan yang seragam dari semua pemangku kebijakan. Baik di tataran pusat maupun daerah. “Simpang siurnya kebijakan itu bisa menjadi celah masyarakat untuk mengakali. Dan untuk pelaksanaan di lapangan bisa tidak tegas dalam menjalankan kebijakan itu,” imbuh akademisi kelahiran Lamongan tersebut.

Menurut dia, penyusunan SOP yang ideal adalah dengan mencantumkan dokumen bebas Covid-19 bagi orang yang hendak keluar maupun masuk kabupaten. Selanjutnya, adanya perhatian atau kontrol khusus bagi mobilitas dari zona hijau ke zona merah, atau sebaliknya. “Itu yang ditekankan kepada masyarakat, bahwa esensinya bukan melarang mudik. Tapi, meminimalisasi penyebaran Covid-19,” tuturnya.

Selain itu, kebijakan tersebut seharusnya juga diikuti dengan adanya pengetatan yang sama di semua lini. Misalnya pada pusat perbelanjaan maupun sektor pariwisata. Sehingga pengetatan tidak hanya berlaku pada orang-orang yang akan mudik, tapi juga bagi para pelancong yang akan berwisata. Dengan itu, masyarakat dapat memahami keseriusan dan komitmen pemerintah dalam meminimalisasi penyebaran Covid-19.

“Saya melihat, pemerintah hanya fokus pada pelarangan mudik. Padahal di klaster lainnya yang potensial tidak diantisipasi. Itu yang menjadikan posisi pemerintah semakin lemah dalam penerimaan pada masyarakat,” bebernya.

Menurut dia, penanganan pelarangan mudik tahun lalu jauh lebih baik ketimbang saat ini. Sebab, saat itu, keterlibatan pemerintah desa sangat aktif. Misalnya, setiap desa melakukan penyekatan atau lockdown. Hal ini pula yang menjadi acuan sehingga kesadaran masyarakat terhadap penyebaran Covid-19 meningkat.

“Menurut saya, kesiapan pemerintah dalam kajiannya masih kurang. Termasuk mengantisipasi adanya klaster baru. Karena kemarin, pemerintah optimistis bahwa pergerakan ekonomi mulai pulih di 2021 ini. Sehingga fokusnya lebih ke sana,” pungkasnya.

Senada, dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Jember (UMJ) Ria Angin juga menganggap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tidak serius. Aturan untuk menyertakan surat keterangan dari desa yang dilengkapi dengan stempel basah itu rentan dimanipulasi. “Jadi, menurut saya, ketidakefektifan itu dari surat-surat tadi. Bisakah dipercaya? Surat untuk bebas dari Covid-19 saja masih bisa dipalsukan,” sangsinya, saat dihubungi melalui sambungan telepon.

Menurutnya, kebijakan larangan mudik dengan aturan yang belum pasti dan diimbangi dengan longgarnya pada sektor perdagangan dan pariwisata, maka kebijakan tersebut dinilai sangat tidak efektif. Di sisi lain, menurut Ria, mudik merupakan tradisi yang susah untuk dicegah.

Ria pun menyarankan agar kebijakan mudik itu diterapkan untuk jarak atau radius tertentu. Selain itu, juga memperketat penerapan prokes. Pengetatan dapat dilakukan mulai dari lingkup paling kecil dulu dan berkaca pada larangan mudik tahun lalu. “Jadi, mudik itu boleh, tapi dengan radius berapa. Saya rasa itu sangat aman,” tandasnya.

 

 

Jurnalis : Dian Cahyani
Fotografer : Grafis reza
Redaktur : Mahrus Sholih

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca