JEMBER, RADARJEMBER.ID – Selama tahun 2021 kepemimpinan Bupati Jember Hendy Siswanto dan Wabup KH Balya Firjaun Barlaman menyisakan berbagai capaian dan catatan. Selama itu pula, hubungan antara eksekutif (bupati/wabup) dengan legislatif (DPRD Jember) berjalan harmonis.
Baca Juga : Perusahaan Wajib Membayarkan THR Penuh Tahun Ini
Namun, di balik keharmonisan dan kerja-kerja eksekutif-legislatif, dari kacamata sejumlah aktivis dinilai kurang sehat. Kontrol DPRD terhadap Pemkab Jember dinilai lemah, sementara eksekutif belum mengurai bertumpuknya persoalan yang menjadi PR di Jember tercinta.
Hal itu disampaikan para aktivis dalam Rapat Panitia Khusus (Pansus) lanjutan atas Pembahasan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Bupati Jember Akhir Tahun Anggaran 2021, Rabu malam. Saat itu, dewan menghadirkan tiga organisasi alumni Cipayung di Jember. Mulai dari Ikatan Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (IKA-PMII), Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI), dan Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (PA GMNI) Jember. Ketiga perwakilan organisasi itu pun menguliti nota pengantar LKPJ Bupati Jember 2021.
Budi Hariyanto, perwakilan PA GMNI Jember, menyampaikan, dalam LKPJ banyak hal berupa kertas kebahagiaan, namun penuh dengan pekerjaan rumah yang besar. “Padahal banyak permasalahan yang ada,” katanya.
Budi menjelentrehkan, beberapa akibat dari lemahnya fungsi kontrol DPRD berbuntut pada berbagai program kerja Pemkab Jember. Misalnya, soal kenaikan jumlah penduduk miskin di Jember yang mencapai 0,32 persen, dari tahun 2020 sebesar 10, 09 persen dan di tahun 2021 menjadi 10,41 persen. “Betul memang ini karena kondisi Covid-19. Tetapi, kita juga harus ingat, salah satu misi Bupati Jember untuk menyelesaikan persoalan kemiskinan kultural dan struktural. Apalagi persentase kemiskinan di Jember ini lebih tinggi daripada persentase kemiskinan nasional,” kata Budi.
Selain menyoroti soal kemiskinan, dia juga menyebut soal pemutakhiran data penduduk miskin di Jember yang juga belum beres. Lalu, soal kenaikan angka kematian bayi (AKB) dan angka kematian ibu (AKI), serta naiknya angka pengangguran. Untuk itulah, keharmonisan bupati dengan DPRD dinilai memberi efek besar. “Dalam konteks ini, hubungan yang harmonis antara eksekutif dan legislatif ternyata belum mampu dimaksimalkan oleh eksekutif,” tambah Budi.
Setumpuk pekerjaan Pemkab Jember diakuinya tidak bisa bim salabim selesai. Apalagi hanya dalam waktu satu tahun. Namun demikian, dari beberapa catatan kritis itu, para alumni organisasi aktivis kemahasiswaan ini sebenarnya juga menyayangkan. Sebab, keharmonisan hubungan justru tidak dimanfaatkan untuk mengharmoniskan berbagai program. Muncul kekhawatiran, jika setahun banyak kekurangan, bagaimana itu akan tertutup di tahun berikutnya. Sementara, program 2022 juga banyak menunggu untuk dieksekusi.
Senada, perwakilan dari IKA-PMII Jember Sutrisno saat itu juga menilai demikian. Menurut IKA-PMII, situasi dan kondisi politik di Jember tergambar sangat jelas dalam kondisi hubungan eksekutif dengan legislatif yang “sangat mesra”. “Buntut kemesraan eksekutif dengan legislatif ini mengakibatkan dinamika demokrasi yang tidak sehat. Kedua belah pihak justru semakin larut dalam keharmonisan yang berlebihan,” katanya.
Dia mencontohkan, dalam proses penyusunan APBD 2021, meluncur begitu saja secara akrobatik, dan terkesan mengabaikan prosedur dan mekanisme. Saat itu, rencana kegiatan dan anggaran (RKA) seluruh organisasi perangkat daerah (OPD) dibahas hanya dalam tempo sehari, dan terjadi sebelum terjalin kesepakatan resmi tentang kebijakan umum anggaran dan plafon prioritas anggaran sementara (KUA PPAS). Dalam rancangan APBD 2021 itu, disebut Sutris, juga tidak dicantumkan konsideran atas Permendagri Nomor 90 Tahun 2019 tentang Klasifikasi, Kodifikasi, Nomenklatur Perencanaan Pembangunan dan Keuangan Daerah.
Substansi kepentingan publik yang semestinya terakomodasi dalam APBD dinilai juga terpinggirkan. Akses terhadap dokumen publik juga sangat terbatas hanya pada kalangan tertentu, terutama elite politik saja. Di balik itu semua, upaya mengkritisi pemerintah melalui DPRD juga dinilainya teramputasi.
“Sejumlah anggota dewan harus menuai surat peringatan dari partai politik akibat sikap kritis menyuarakan kepentingan umum. Dan kami menentang keras para ketua partai politik yang berselingkuh, dengan kekuasaan justru membungkam suara publik,” tambah Sutrisno. Selain IKA-PMII dan PA GMNI, KAHMI juga tidak ketinggalan menyuarakan kritik dan masukannya terhadap berjalannya roda pemerintahan selama 2021 ini.
Menanggapi hal itu, Wakil Ketua DPRD Jember Dedy Dwi Setiawan menegaskan bahwa pemberian SP kepada anggota legislatif yang kritis itu pasti ada pertimbangan sendiri dari setiap pimpinan partai politik. “Kalau kritisnya membangun, pasti kami dukung lah. Tapi, kalau kritisnya tidak membangun, yang jelas partai memiliki aturan sendiri,” kata Dedy dalam forum tersebut.
Dilanjutkan sejumlah anggota DPRD Jember saat itu, seperti Ardi Pujo Prabowo dan Edy Cahyo Purnomo, menilai kritik dan aspirasi dari kalangan alumni aktivis mahasiswa itu sangat dalam dan paling membedakan dengan pansus-pansus sebelumnya yang telah berjalan. Namun demikian, mereka menjanjikan bakal memasukkan berbagai kritik, saran, dan rekomendasi itu dalam pandangan umum fraksi nantinya. “Kritik dan sarannya sebenarnya hampir seirama dengan kami di DPRD. Tentu kami akan kawal nanti dalam penyampaian pandangan umum fraksi,” tukas Ardi Pujo.
Jurnalis : Maulana
Fotografer : Maulana
Redaktur : Nur Hariri