JEMBER, RADARJEMBER.ID– Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru-baru ini merilis realisasi capaian Monitoring Center for Prevention (MPC) Tahun 2022, yang ditujukan kepada 39 kepala daerah bupati/wali kota se-Jawa Timur, termasuk Kabupaten Jember. MCP merupakan sistem yang dijalankan KPK sebagai upaya monitoring dan supervisi pencegahan korupsi.
Sayangnya, dokumen KPK yang dirilis 27 Februari 2023 itu menyebutkan, upaya pencegahan korupsi yang dilakukan Kabupaten Jember berada di urutan ke-38 dari 39 kabupaten/kota se-Jatim, dan urutan ke-251 peringkat nasional dengan total skor keseluruhan 84,42. Jauh dibanding kabupaten tetangga seperti Bondowoso (94,26), Lumajang (90,45), atau Banyuwangi (94,2).
BACA JUGA: Jadi Motivasi Terus Lakukan Pencegahan Korupsi
KPK memberikan penilaian rendahnya capaian MCP itu berdasarkan akumulasi dari 8 cakupan intervensi yang dijalankan selama ini. Yaitu perizinan dengan nilai 99,08, pengadaan barang dan jasa (PBJ) 63,18, perencanaan dan penganggaran APBD 100, pengawasan aparat pengawas internal pemerintah (APIP) 82,28, manajemen ASN 96,16, manajemen aset daerah 75,42, optimalisasi pajak daerah 84,8, dan tata kelola keuangan desa dengan nilai 100.
Kepala Bagian Inspektorat Pemkab Jember Ratno Cahyadi Sembodo membenarkan mengenai peringkat Jember yang terendah kedua se-Jawa Timur. Bahkan turun drastis dibandingkan MCP Tahun 2021 yang masih di peringkat ke-6 Jawa Timur. Menurut dia, ada alasan mendasar yang membuat Jember kesulitan memperoleh skor 90. Salah satunya opini audit yang masih tertahan wajar dengan pengecualian (WDP), belum wajar tanpa pengecualian (WTP). “Daerah lain sudah WTP, pemerintahanya stabil dan problem mendasarnya selesai semua. Sementara, kami masih ada beberapa problem berat yang tidak bisa selesai dalam waktu setahun,” katanya saat dikonfirmasi, Kamis (2/3).
Ratno melanjutkan, ada beberapa masalah lain yang menyelimuti Kabupaten Jember selama ini dan turut menghambat penilaian upaya pencegahan korupsi dari KPK itu. Seperti, ketika KPK meminta Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa (UKPBJ) secara mandiri, lalu diikuti dengan perubahan susunan organisasi tata kelola (SOTK).
Namun, di tengah perjalanan, Bappeda Jawa Timur disebutnya justru meminta ada revisi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Jember. “Masalah seperti ini tidak ada di kabupaten lain, karena sudah diselesaikan lima hingga tujuh tahun lalu. Sementara Jember itu masih ada. Kami tidak mampu menyelesaikan dalam waktu setahun, dan itu masuk dalam MCP KPK,” bebernya.
Selain itu, lanjut dia, beberapa raperda mendasar yang pembahasannya berlarut-larut molor. Seperti Raperda Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW), Raperda Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), dan Raperda Bangunan dan Aset Milik Daerah. “Kabupaten lain sudah selesai dengan perda itu. Sementara, kami harus menyelesaikan perda itu bersama DPRD, dan pembuatan perda tidak cukup setahun dua tahun,” paparnya.
Meski begitu, Ratno menilai, penilaian MCP oleh KPK yang dilakukan setahun terhitung sejak Januari hingga Desember itu tetap patut disyukuri dan menjadi bahan evaluasi. Sebab, di beberapa kabupaten/kota lain se-Indonesia, tidak sedikit yang masih di bawah nilai 30. “Kalau dari sisi kinerja, bisa dilihat sendiri dengan nilai 84. Kalau di level nasional, masih banyak yang angkanya 20, 21, di bawah 30,” jelasnya. (mau/c2/bud)