30.4 C
Jember
Saturday, 10 June 2023

Setelah Seperempat Abad, Otonomi Daerah Kembali Dikebiri

Mobile_AP_Rectangle 1

SUMBERSARI.RADARJEMBER.ID – Otonomi daerah (otoda) telah berlangsung 25 tahun. Meski telah seperempat abad Undang-Undang Otoda itu diberlakukan di Indonesia, namun daerah merasa aturan itu belum optimal. Terlebih saat ini, ada beberapa kewenangan daerah yang dikebiri atau diambil kembali oleh pemerintah pusat.

“Ketika otoda dijalankan, maka perizinan dikelola oleh daerah. Kemudian hal itu dilaksanakan oleh daerah. Seiring berjalannya waktu, lahirlah Undang-Undang Cipta Kerja, yang mengembalikan lagi kewenangan daerah ke pusat,” ungkap Joko Purwanto, Pakar Hukum Tata Negara Jember.

Kepada Jawa Pos Radar Jember, Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jember (UMJ) itu menjelaskan, istilah otoda mencuat dan populer pada tahun 1997-1998. Saat itu, gerakan reformasi di Indonesia berhasil menumbangkan rezim Orde Baru.

Mobile_AP_Rectangle 2

“Dulu negeri ini apa kata pemerintah pusat, dan daerah tidak memiliki kewenangan mengatur rumah tangga sendiri. Semua serba pusat alias sentralistik. Ketika UU Otoda diterbitkan, seketika daerah merasa lega karena memiliki kesempatan mandiri tanpa bergantung pemerintah pusat,” imbuh Joko.

Lebih lanjut ia menguraikan, setelah lebih dari 20 tahun otonomi dirasakan oleh daerah, lantas hal itu dievaluasi kembali oleh pemerintah pusat. Kemudian disimpulkan, otoda memunculkan raja-raja kecil sehingga pemerintah pusat merasa kesulitan mengendalikan daerah dan mengembalikan beberapa kewenangan itu ke pusat.

Reporter: Winardyasto
Fotografer: Winardyasto
Editor: Mahrus Sholih

- Advertisement -

SUMBERSARI.RADARJEMBER.ID – Otonomi daerah (otoda) telah berlangsung 25 tahun. Meski telah seperempat abad Undang-Undang Otoda itu diberlakukan di Indonesia, namun daerah merasa aturan itu belum optimal. Terlebih saat ini, ada beberapa kewenangan daerah yang dikebiri atau diambil kembali oleh pemerintah pusat.

“Ketika otoda dijalankan, maka perizinan dikelola oleh daerah. Kemudian hal itu dilaksanakan oleh daerah. Seiring berjalannya waktu, lahirlah Undang-Undang Cipta Kerja, yang mengembalikan lagi kewenangan daerah ke pusat,” ungkap Joko Purwanto, Pakar Hukum Tata Negara Jember.

Kepada Jawa Pos Radar Jember, Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jember (UMJ) itu menjelaskan, istilah otoda mencuat dan populer pada tahun 1997-1998. Saat itu, gerakan reformasi di Indonesia berhasil menumbangkan rezim Orde Baru.

“Dulu negeri ini apa kata pemerintah pusat, dan daerah tidak memiliki kewenangan mengatur rumah tangga sendiri. Semua serba pusat alias sentralistik. Ketika UU Otoda diterbitkan, seketika daerah merasa lega karena memiliki kesempatan mandiri tanpa bergantung pemerintah pusat,” imbuh Joko.

Lebih lanjut ia menguraikan, setelah lebih dari 20 tahun otonomi dirasakan oleh daerah, lantas hal itu dievaluasi kembali oleh pemerintah pusat. Kemudian disimpulkan, otoda memunculkan raja-raja kecil sehingga pemerintah pusat merasa kesulitan mengendalikan daerah dan mengembalikan beberapa kewenangan itu ke pusat.

Reporter: Winardyasto
Fotografer: Winardyasto
Editor: Mahrus Sholih

SUMBERSARI.RADARJEMBER.ID – Otonomi daerah (otoda) telah berlangsung 25 tahun. Meski telah seperempat abad Undang-Undang Otoda itu diberlakukan di Indonesia, namun daerah merasa aturan itu belum optimal. Terlebih saat ini, ada beberapa kewenangan daerah yang dikebiri atau diambil kembali oleh pemerintah pusat.

“Ketika otoda dijalankan, maka perizinan dikelola oleh daerah. Kemudian hal itu dilaksanakan oleh daerah. Seiring berjalannya waktu, lahirlah Undang-Undang Cipta Kerja, yang mengembalikan lagi kewenangan daerah ke pusat,” ungkap Joko Purwanto, Pakar Hukum Tata Negara Jember.

Kepada Jawa Pos Radar Jember, Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jember (UMJ) itu menjelaskan, istilah otoda mencuat dan populer pada tahun 1997-1998. Saat itu, gerakan reformasi di Indonesia berhasil menumbangkan rezim Orde Baru.

“Dulu negeri ini apa kata pemerintah pusat, dan daerah tidak memiliki kewenangan mengatur rumah tangga sendiri. Semua serba pusat alias sentralistik. Ketika UU Otoda diterbitkan, seketika daerah merasa lega karena memiliki kesempatan mandiri tanpa bergantung pemerintah pusat,” imbuh Joko.

Lebih lanjut ia menguraikan, setelah lebih dari 20 tahun otonomi dirasakan oleh daerah, lantas hal itu dievaluasi kembali oleh pemerintah pusat. Kemudian disimpulkan, otoda memunculkan raja-raja kecil sehingga pemerintah pusat merasa kesulitan mengendalikan daerah dan mengembalikan beberapa kewenangan itu ke pusat.

Reporter: Winardyasto
Fotografer: Winardyasto
Editor: Mahrus Sholih

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca