KABUPATEN Jember merupakan daerah yang dikenal dengan sebutan Kota Seribu Gumuk atau Seribu Bukit. Seiring perkembangan penduduk Jember, kebutuhan akan lahan pemukiman semakin luas. Berdasarkan sensus penduduk pada tahun 2015 diperoleh bahwa jumlah penduduk di Jember mencapai 2.332.726 jiwa. Berdasarkan rata-rata laju pertumbuhan penduduk per tahun, jumlah penduduk di Jember diproyeksikan akan mencapai angka 2.480.199 jiwa pada tahun 2035. Peningkatan penduduk tentu berbanding lurus dengan kebutuhan lahan pemukiman.

Eksploitasi gumuk merupakan salah satu cara yang ditempuh oleh para kontraktor dalam mengatasi permasalahan pemukiman penduduk. Berdasarkan data Buku Putih Sanitasi Kab. Jember Tahun 2012 jumlah gumuk di Kabupaten Jember sebanyak 1.670 buah. Dalam lima tahun terakhir gumuk mengalami penurunan, 29 gumuk telah rata dengan tanah (rusak) dan 27 gumuk dalam proses eksploitasi dari total 473 gumuk yang tercatat dalam dokumen pemerintah bab sumber daya alam. Persentase 5 tahun terakhir terdapat 11 persen gumuk telah rusak. Gumuk yang dieksploitasi terutama di wilayah kecamatan Sumbersari. Eksploitasi tersebut diperkirakan akan terus meningkat dan akan berdampak besar bagi kerusakan ekosistem makro di Kabupaten Jember.

Eksploitasi merupakan inti dari kerusakan gumuk yang terjadi saat ini. Eksploitasi yang dilakukan memang memberikan dampak ekonomi yaitu pendapatan bagi sebagian masyarakat dan pihak swasta. Namun di sisi lain ekologi lingkungan mengalami degradasi sehingga menggangu stabilitas lingkungan. Apabila tidak dilakukan tindakan pencegahan maka kualitas lingkungan di Kabupaten Jember akan memburuk sehingga berakibat bagi masyarakatnya.

Gumuk di Kabupaten Jember terbentuk dengan proses sangat lama sehingga merupakan kejadian alam langka dan tidak dapat diperbarui. Formasi gumuk ini memberikan beberapa manfaat bagi lingkungan sekitar mulai dari ekologi, iklim makro, pemecah angin hingga penyumbang oksigen bagi masyarakat yang ada di sekitarnya. Dengan adanya gumuk, temperatur di sekitar gumuk menjadi relatif lebih dingin karena banyaknya jenis tanamanan yang terdapat di gumuk. Oleh sebab itu fungsi gumuk secara tidak langsung berperan penting dalam menjaga stabilitas secara alami kondisi geografis, iklim makro dan ekosistem Kabupaten Jember, baik fungsi gumuk sebagai pemecah angin serta menjadi daerah resapan air.

Beberapa identifikasi dampak buruk akibat eksploitasi gumuk di antaranya menyebabkan penurunan jumlah mata air, penurunan keanekaragaman hayati, peningkatan suhu, terjadinya angin puting beliung, sering terjadi longsor dan sebagainya. Dampak eksploitasi tersebut akan semakin bertambah buruk sekitar lima atau sepuluh tahun lagi jika eksploitasi tersebut dilakukan terus menerus dan tidak ada upaya dari masyarakat serta pemerintah daerah untuk menghentikan.

Musim kemarau pada tahun 2019 diprediksi akan lebih panjang dibandingkan tahun sebelumnya. Hal tersebut dikarenakan terjadinya fenomena El Nino yang bersamaan dengan datangnya musim kemarau. El Nino adalah peristiwa meningkatnya suhu di lautan Samudra Pasifik. Fenomena tersebut ditandai dengan menurunnya jumlah curah hujan sehingga produksi air akan berkurang. Pasalnya kondisi demikian akan mengancam irigasi dalam mengairi sawah.

Berdasarkan data ekstrim perubahan iklim yang dikutip dari laman website Badan Meteorologi dan Geofisika secara umum pada Bulan Agustus tahun 2019 berkisar 21-27 derajat Celsius untuk area Jember. Curah Hujan 47-55 mm/jam dengan kategori sedang-lebat dan kecepatan angin 4-22 m/s dengan kategori sedang-kencang. Berdasarkan data tersebut dapat kita tarik sebuah kesimpulan bahwa pada tahun 2019 di Kabupaten Jember dimungkinkan untuk terjadinya kekeringan dan angin puting beliung.

Berdasarkan data BNPB terdapat 25 kabupaten/kota di Jawa Timur yang mengalami siaga bencana kekeringan yang diperkirakan memberikan dampak cukup parah bagi masyarakat. Pada tahun 2019 kita dapat merasakan dampak akibat eksploitasi gumuk di Kabupaten Jember berupa kekeringan pada beberapa daerah. Pada bulan Agustus 2019 BPBD Kabupaten Jember mulai mendistribusikan air bersih ke wilayah yang mengalami krisis air bersih. Distribusi air bersih oleh BPBD Jember telah dilakukan sebanyak tiga kali pada Lingkungan Tegalbatu Kecamatan Patrang, dan dua kali di Desa Karangharjo Silo.

Upaya yang dapat dilakukan untuk menghentikan eksploitasi gumuk yang berlebihan tersebut perlu kerja sama yang baik (sinergis) di antara tiga pilar, yaitu struktural, kultural, dan teknis sektoral untuk berfungsi strategis. Pilar struktural menyangkut komitmen para pengambil kebijakan, yaitu bupati, walikota, dan gubernur. Pilar struktural dengan kekuasaannya akan melahirkan kebijakan, program dan regulasi yang advokatif ekologi. Pilar kultural menyangkut kekuatan berbagai elemen masyarakat yang telah terbangun kesadaran dan komitmennya untuk advokatif terhadap pelestarian alam (tokoh agama, tokoh masyarakat, dunia pendidikan, LSM, dan berbagai komunitas lainnya). Pilar teknis menyangkut institusi teknis yang secara fungsional mengemban fungsi pelayanan ekologi. Sumber daya manusianya dituntut memiliki kapabilitas, berdedikasi, dan peduli serta dilengkapi sarana dan prasarana yang memadai. Untuk melaksanakan program konservasi lingkungan terutama menghentikan ekploitasi gumuk di Jember tugas tiga pilar tersebut tidaklah mudah perlu ada sosialisasi yang terus menerus dilakukan oleh para pemerhati lingkungan.

*) Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Program studi Magister Pengelolaan Sumberdaya Air Lingkungan, Universitas Jember.