Tepat pada hari Rabu kemarin (23/3) sebanyak 12 organisasi mahasiswa (kelompok Cipayung Plus) bertemu presiden Jokowi di Istana Merdeka. Dua konsep menarik yang ditawarkan guna membangun bangsa patut kita apresiasi. Pertama, berkaitan dengan konsep Rumah Kebangsaan, yang bertujuan merawat persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan kapasitas anak-anak muda terutama dalam bidang ekonomi kreatif dan digitalisasi dengan harapan muncul generasi yang bisa menopang pembangunan Indonesia ke depannya. Konsep yang kedua, terkait dengan ikut serta menyukseskan pelaksanaan pemindahan ibu kota negara baru.
Yang menarik dan patut kita sorot di tengah kondisi sosial anak muda saat ini terkait konsep Rumah Kebangsaan dengan tujuan meningkatkan kapasitas anak muda. Aspirasi tersebut benar-benar sangat relevan dengan kehidupan mahasiswa yang notabene diisi oleh anak muda dan kelak akan menjadi harapan bagi tumbuh kembangnya bangsa dan negara ini.
Tetapi bagi penulis yang tak kalah penting dan patut mendapat perhatian publik terkait kondisi anak muda (generasi milenial) sekarang ialah adanya sinergi antara kecanggihan teknologi dengan globalisasi yang telah memengaruhi segenap tindak-tanduk hidupnya. Baik dalam hal gaya hidup, pakaian (fashion), hobi, bahasa, sampai kepada orientasi dasar dalam menjalani hidup. Beberapa hal tersebut akan bersinggungan langsung terhadap proyek pembangun bangsa dan negara Indonesia ke depan. Misal dalam hal pembangunan pendidikan dan kebudayaan.
Dalam hal kebudayaan, ditandai dengan semakin lunturnya semangat menjaga budaya kita (kearifan lokal) akibat gempuran budaya populer (pop culture) yang sedang berkembang. Seperti masifnya pencinta budaya K-Pop di tengah generasi anak muda, baik dalam hal fashion, musik, film, dst.
Bila kita telisik lebih dalam, dinamika pergeseran budaya tersebut akan turut serta memudarkan identitas nasional kita sebagai suatu bangsa yang memiliki ciri-ciri khas yang melekat dan menjadi pembeda dengan negara-negara lain. Jika ini terjadi, tentu eksistensi bangsa dan negara kita patut dipertanyakan kembali. Sebab ini akan berkaitan langsung dengan Pancasila sebagai salah satu identitas nasional kita yang sekaligus menjadi tujuan atau cita-cita kita dalam membangun negara. Sehingga, ketika kita keluar dari rambu-rambu dan tujuan yang sudah menjadi kesepakatan bersama dalam membangun bangsa dan negara, maka tindakan tersebut merupakan suatu pengkhianat kepada para pendiri bangsa kita.
Dalam hal pendidikan, tentu dengan adanya kecanggihan teknologi yang terus berkembang, muncul fenomena game online yang saat ini digemari oleh anak muda di Indonesia. Tak ayal, hasil teknologi tersebut bisa berakibat langsung terhadap tumbuh kembangnya anak muda kita. Semisal menjadikan game online sebagai hobi, yang lambat laun membuatnya kecanduan. Bisa kita lihat di ruang-ruang publik semisal di kampus, tempat kerja, sekolah, dan lainnya. Sering kita lihat saat jam istirahat dipergunakan untuk bermain game online. Lebih miris lagi dilakukan saat perkuliahan, pembelajaran, dan jam kerja sedang berlangsung. Sehingga berakibat terhadap penurunan fokus dalam mengerjakan sesuatu dan berdampak pada prestasi dan produktivitas anak muda tersebut.
Di sisi lain, memang ada dampak pertumbuhan ekonomi, semisal dengan bermain game online anak muda bisa menghasilkan uang. Namun, dampak pragmatis tersebut hanya sedikit yang bisa mencapainya. Selebihnya dari mereka yang sudah kecanduan game online lupa waktu bermain sampai dini hari, sehingga keesokannya bolos sekolah atau kuliah.
Tetapi yang lebih memprihatinkan dampak dari kecanduan bermain game adalah muncul sikap-sikap apatis terhadap lingkungan atau sosial sekitar, tanggung jawab sebagai warga negara (political apathyism) karena disibukkan dengan bermain game online tersebut. Secara tidak langsung permasalahan seperti ini kelak akan memunculkan sikap individualistik pada diri anak muda kita. Seperti kurangnya kepedulian terhadap permasalahan bangsa dan negara, baik menyangkut komitmen membangun demokrasi Indonesia yang berkeadaban (menjunjung kebebasan, persamaan, toleransi dan tanggung jawab), isu-isu krisis lingkungan, hak asasi manusia (HAM), menegakkan hukum sesuai konstitusi UUD 1945, kekerasan seksual di dalam kampus atau di luar kampus, dan lain sebagainya.
Dari sikap apatis di atas, kapasitas anak muda kita dalam hal melek politik juga akan menurun bahkan ada kecenderungan mempunyai sikap tidak melek politik (political illiteracy). Sehingga melahirkan generasi anak muda yang tidak mengetahui cara kerja demokrasi, fungsi lembaga-lembaga negara dan kegiatan-kegiatan politik lainnya. Akibatnya, harapan memunculkan tunas-tunas generasi muda hebat yang berintegritas, sadar hukum dan melek politik sangat jauh bisa diwujudkan. Sebab mereka-mereka akan sangat mudah dipermainkan dengan uang (money politic), iming-iming jabatan atau hal-hal pragmatis lainnya yang serba instan. Seperti kasus baru-baru ini terkait penipuan (perjudian) berkedok trading yang notabene diikuti oleh kalangan anak muda dengan orientasi menghasilkan banyak uang secara instan.
Dua hal di atas menjadi prasyarat penting untuk menyiapkan generasi muda yang benar-benar berkomitmen membangun bangsa dan negara, yang berkarakter sesuai dengan jati diri bangsa (identitas nasional) dan mempunyai sikap peduli terhadap lingkungan sekitar. Terutama mengetahui peran penting anak muda dan keterlibatannya dalam membangun bangsa dan negara. Serta ikut aktif dalam membangun demokrasi indonesia ke arah yang lebih baik. Barangkali dua syarat di atas akan melahirkan anak muda atau mahasiswa yang tetap kritis seperti apa yang diharapkannya oleh Presiden Jokowi saat menerima tamu undangan kelompok Cipayung Plus.
*Penulis adalah Staf Pengajar LB Pancasila dan PKN di Perguruan Tinggi Swasta Malang