Momentum peringatan hari guru yang setiap tahun diperingati oleh semua insan pendidik tidak terlepas dari sosok yang bernama Ki Hajar Dewantara. Banyak hal yang disorot dari sosok pahlawan bangsa ini. Satu kisah yang layak dijadikan pembelajaran dari beliau adalah sepak terjang dalam menyejajarkan akses untuk memperoleh informasi bagi bumi putera, sehingga bumi putera mampu mengetahui serta memahami kondisi di sekitarnya.
Sejarah mencatat bahwa beliau pernah menulis dalam menyebarkannya dalam sebuah brosur bertajuk Seandainya Saya Warga Negara Belanda pada peringatan 100 tahun lepasnya Belanda dari penjajahan Perancis. Beliau mengkritik bagaimana orang Belanda di Hindia Belanda bisa mengadakan pesta di wilayah yang dijajahnya. Tentunya peristiwa tersebut memberikan gambaran bagaimana pemerintah kolonial pada saat itu khawatir manakala tulisan tersebut dibaca oleh tokoh-tokoh pergerakan pribumi sehingga menginspirasi pergerakan rakyat semesta untuk merdeka dari penjajah belanda. Dengan seketika tulisan itu pun dibredel.
Kekhawatiran akan dampak dari mengakses informasi di atas merupakan salah satu contoh bagaimana kekuatan suatu informasi baik itu berupa tulisan maupun audio visual mampu menggerakkan rakyat untuk bergerak menurunkan pemerintah yang dianggap koruptif. Beberapa waktu yang lalu di Timur Tengah atau yang lebih dikenal dengan peristiwa Arab Spring yang mampu menjatuhkan pemerintah.
Lantas, bagaimana dengan Indonesia yang telah 76 tahun merasakan alam kemerdekaan dilihat dari sisi literasi atau kebermelakan informasi? Selama periode kemerdekaan ini wajah kebermelekan informasi bangsa Indonesia sudah mulai menampakkan kemajuannya. Indikasi yang dapat dilihat adalah bagaimana penetrasi internet ke pelosok wilayah sudah mencapai 80 persen dari total penduduk Indonesia. Ini menandakan bahwa rakyat Indonesia sudah mulai menikmati akses internet di mana pun terlepas kualitas kestabilan koneksinya.
Di samping itu, berdasarkan laporan dari agensi marketing We Are Social dan platform manajemen media sosial Hootsuite membuat laporan yang dirilis pada bulan Januari 2021, menyebutkan bahwa lebih dari separuh penduduk Indonesia telah melek teknologi alias aktif dalam menggunakan media sosial. Dari total penduduk 274,9 juta jiwa, 170 juta di antaranya menggunakan media sosial atau angka penetrasi pengguna media sosial di Indonesia mencapai 61,8 persen dengan rata-rata waktu mengaksesnya sebanyak 3 jam 14 menit.
Pertanyaannya kemudian, apakah semua kemajuan teknologi digital serta penetrasi media sosial ke masyarakat memberikan dampak kemajuan bagi peningkatan nilai etika, budaya, pengetahuan, serta ekonomi masyarakat? Tentu, untuk menjawab pertanyaan ini perlu kajian yang komprehensif dan mendalam. Akan tetapi, dalam kehidupan nyata dapat kita rasakan kemajuan serta pemanfaatan teknologi ini belum memberikan apa yang menjadi harapan kita bersama, yakni teknologi untuk kebermanfaatan serta kemajuan bagi peningkatan nilai etika, budaya, serta kesejahteraan masyarakat.
Hal dominan yang terjadi malah sebaliknya. Beragam bentuk pertikaian atau friksi antar putra bangsa dapat terjadi hanya lantaran beda pilihan politik. Umbaran pemilihan kata atau kalimat yang tidak patut kemudian disebar lewat media sosial dengan beragam bentuk ekspresinya seperti ujaran kebencian, body shaming, atau lainnya sehingga peristiwa saling menuntut ke pengadilan dewasa ini seolah menjadi hal yang lumrah terjadi.
Gaung literasi kepada masyarakat harus terus digalakkan oleh siapa pun bukan hanya oleh pemerintah, guru, penggiat literasi, ataupun pustakawan. Melainkan setiap kita mempunyai kewajiban untuk turut serta mengampanyekan literasi dalam bermedia sosial . Salah satu upaya yang bisa dilakukan oleh setiap kita adalah dengan pembudayaan membaca buku. Membaca buku sejatinya dapat menghindari seseorang dari dampak mengakses informasi dari penggunaan media sosial. Secara tidak langsung, pembaca buku diajari untuk memahami sesuatu atau informasi secara perlahan dan runut sehingga pemahaman yang diperoleh terbangun dari pondasi ilmu yang kokoh.
Memahami teks demi teks dari suatu tulisan memang melelahkan dan memakan waktu yang tidak sebentar, akan tetapi manfaat yang diperoleh sebanding dengan usaha tersebut. Orang yang terbiasa membaca buku tidak akan gegabah menelan informasi yang diperolehnya tanpa proses verifikasi internal, apakah informasi ini valid dan teruji kebenarannya sebelum dibagikan kepada orang lain. Bila hal ini dilakukan oleh semua kita, maka pemeo media sosial mendekatkan yang jauh terwujud dalam terjalinnya kehangatan, keintiman antar putra anak bangsa dalam memupuk toleransi terlepas perbedaan yang ada sehingga bangsa kita menjadi bangsa yang bertumbuh dan maju.
*) Penulis adalah Pustakawan Universitas Jember.