23.5 C
Jember
Thursday, 30 March 2023

Promosi atau Riya

Mobile_AP_Rectangle 1

Baru-baru ini kita disuguhkan dengan keramaian seorang artis yang sedang mengkritisi pasangan suami istri yang dijuluki crazy rich. Hasil kritisannya ternyata membawa hasil, bahwa apa yang ditampilkan sebenarnya bukan kenyataan. Mereka hanya melakukan pamer kekayaan atau disebut dengan flexing.

Flexing saat ini memang sangat gencar di media sosial, baik melalui Youtube, Instagram, TikTok maupun yang lainnya. Baik itu dilakukan oleh artis, tokoh masyarakat, maupun orang-orang umum yang baru saja merasakan kekayaannya. Pelaku tidak segan-segannya menunjukkan semua kekayaannya, bahkan konon kabarnya tidak semua yang dipamerkan adalah benar miliknya. Mereka akan merasakan kebanggaan manakala pengikutnya memberikan komentar-komentar positif.

Memang sih, tidak semua komentar positif, misalnya mengikuti riwayat hidupnya, bagaimana proses pelaku menjadi kaya. Banyak pengikut yang termotivasi dari cerita tersebut, kemudian bergabung ke objek/produk/bisnis yang menjadikan pelaku menjadi kaya mendadak. Namun, tidak sedikit yang menghujat.

Mobile_AP_Rectangle 2

Saat ini negeri ini mengalami banyak permasalahan akibat pandemi Covid-19. Banyak orang yang mengalami keterpurukan, ekonomi hancur, PHK besar-besaran, bisnis apa pun terdampak, kemiskinan merajalela. Situasi yang seperti ini membuat orang sensitif terhadap rangsangan yang diterima, terutama berupa informasi flexing.

Tidakkah para pelaku flexing ini merasakan apa yang mereka rasakan? Cukuplah bagi para pelaku flexing untuk diam menikmati kekayaannya sendiri tanpa meng-exposed di dunia maya. Respons tidak suka, iri, sampai dengan pikiran jahat untuk memiliki paksa (mencuri, merampok, dll) pasti ada. Mungkin saat ini rasa empati itu telah tiada di masyarakat kita.

Banyak sebenarnya orang kaya raya di negeri ini, namun jarang kita lihat dia menunjukkan kekayaannya dengan memamerkan barang-barang mewah yang dimilikinya. Sebut saja Ibu Nurhayati, founder dan Komisaris Utama Paragon Technology and Innovation itu masuk dalam daftar 25 pebisnis wanita yang memiliki dampak besar di dunia bisnis Asia versi Majalah Forbes. Namun tidak tampak di dunia maya tentang informasi kekayaannya yang membuat jagat heboh karenanya. Justru yang dilihatkan adalah kepeduliannya terhadap dunia pendidikan, dengan berperan dalam program tanggung jawab sosial perusahaannya, seperti Good Leader Good Teacher, Wardah Inspiring Teacher, Wardah Scholarship Program, Semua Murid Semua Guru. Lalu Paragon Innovation Fellowship, Jabar Innovation Fellowship, Lecturer Coaching Movement, Pelatihan Inspiring Lecturer, dan INS Kayu Tanam Restoration.

Menanggapi perilaku flexing ini, Rudy Salim, seorang pengusaha, dalam wowkeren.com tanggal 23 Maret 2022 menyampaikan, “tak bisa menyalahkan seseorang flexing jika memang berkaitan dengan pekerjaan. Tapi, kalau kita di posisi orang yang melakukan flexing untuk usaha dia dan itu berhasil, kita gak bisa bilang itu salah. Contohnya, dia jualan berlian, dia harus memamerkan. Kalau gak, gimana dia jualannya.” Artinya, flexing dibenarkan manakala berhubungan dengan promosi perusahaannya.

Siapa pun berpendapat itu sah-sah saja, yang perlu kita perhatikan adalah etika dalam melakukan promosi suatu produk. Etika merupakan seperangkat standar moral yang digunakan dalam sebuah tindakan. Etika promosi standar moral untuk memandu keputusan dan tindakan promosi.

Sulit bagi kita mendefinisikan secara tepat etika promosi atau pemasaran di Indonesia. Karakteristik demografi, sosial budaya yang beraneka ragam dengan norma-norma yang berlaku di wilayah masing-masing menjadikan etika promosi sulit untuk diidentifikasi. Dalam Marketing.co.id menyatakan bahwa salah satu patokan untuk melakukan pemasaran yang beretika bisa merujuk kepada kode etik yang dibuat oleh American Marketing Association (AMA). Cuplikannya berbunyi sebagai berikut: “Pemasar harus menegakkan dan mengedepankan integritas, kehormatan, dan martabat profesi marketing dengan cara jujur dalam melayani konsumen, klien, pegawai, pemasok, distributor, dan masyarakat.”

Menurut Sonny Keraf, etika pemasaran tidak terlepas dari etika bisnis secara umum, dengan prinsip, (1) Prinsip Otonomi, yaitu kemampuan mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan kesadaran tentang apa yang baik untuk dilakukan dan bertanggung jawab secara moral atas keputusan yang diambil, (2) Prinsip Kejujuran, yaitu suatu bisnis tidak akan bertahan lama apabila tidak berlandaskan pada kejujuran, karena kejujuran merupakan kunci keberhasilan suatu bisnis, (3) Prinsip Keadilan, yaitu bahwa setiap orang dalam berbisnis harus mendapat perlakuan yang sesuai dengan haknya masing-masing, maksudnya adalah tidak ada yang boleh dirugikan haknya, (4) Prinsip Saling Menguntungkan, yaitu agar semua pihak berusaha untuk saling menguntungkan, dan (5) Prinsip Integritas Moral, yaitu prinsip dasar dalam berbisnis di mana para pelaku bisnis dalam menjalankan usaha bisnisnya mereka harus menjaga nama baik perusahaan agar tetap dipercaya dan merupakan perusahaan terbaik.

Seharusnya perusahaan melakukan promosi lebih menunjukkan tentang kualitas produk yang dikeluarkan. Bukan kekayaan pemilik sebagai hasil dari usaha bisnisnya. Di sisi lain flexing dari sudut pandangan agama islam ini adalah bagian dari riya.

Riya merupakan istilah yang berasal dari kata Arriyaa’u yang berarti memperlihatkan atau pamer. Pengertian riya adalah perbuatan memperlihatkan sesuatu baik barang atau perbuatan baik dengan maksud agar dilihat orang lain dan mendapat pujian. Tujuan pelaku flexing pada dasarnya ingin meningkatkan penjualan dan penjualan bagian dari usaha yang merupakan amalan atau ibadah untuk mencari keridaan Allah SWT namun jika disertai dengan riya maka bisa jadi usaha kita tidak masuk dalam kegiatan ibadah. Ditambah lagi bahwa riya merupakan bentuk syirik kecil yang dapat merusak ibadah dan mengurangi pahala. Kebaikan yang didasarkan dengan riya tidak bernilai di hadapan Allah. Bisnis yang tidak didasarkan karena ibadah, maka tidaklah dihitung sebagai pahala. Wallahu’alam bishawab

 

*) Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana UNEJ Jember

- Advertisement -

Baru-baru ini kita disuguhkan dengan keramaian seorang artis yang sedang mengkritisi pasangan suami istri yang dijuluki crazy rich. Hasil kritisannya ternyata membawa hasil, bahwa apa yang ditampilkan sebenarnya bukan kenyataan. Mereka hanya melakukan pamer kekayaan atau disebut dengan flexing.

Flexing saat ini memang sangat gencar di media sosial, baik melalui Youtube, Instagram, TikTok maupun yang lainnya. Baik itu dilakukan oleh artis, tokoh masyarakat, maupun orang-orang umum yang baru saja merasakan kekayaannya. Pelaku tidak segan-segannya menunjukkan semua kekayaannya, bahkan konon kabarnya tidak semua yang dipamerkan adalah benar miliknya. Mereka akan merasakan kebanggaan manakala pengikutnya memberikan komentar-komentar positif.

Memang sih, tidak semua komentar positif, misalnya mengikuti riwayat hidupnya, bagaimana proses pelaku menjadi kaya. Banyak pengikut yang termotivasi dari cerita tersebut, kemudian bergabung ke objek/produk/bisnis yang menjadikan pelaku menjadi kaya mendadak. Namun, tidak sedikit yang menghujat.

Saat ini negeri ini mengalami banyak permasalahan akibat pandemi Covid-19. Banyak orang yang mengalami keterpurukan, ekonomi hancur, PHK besar-besaran, bisnis apa pun terdampak, kemiskinan merajalela. Situasi yang seperti ini membuat orang sensitif terhadap rangsangan yang diterima, terutama berupa informasi flexing.

Tidakkah para pelaku flexing ini merasakan apa yang mereka rasakan? Cukuplah bagi para pelaku flexing untuk diam menikmati kekayaannya sendiri tanpa meng-exposed di dunia maya. Respons tidak suka, iri, sampai dengan pikiran jahat untuk memiliki paksa (mencuri, merampok, dll) pasti ada. Mungkin saat ini rasa empati itu telah tiada di masyarakat kita.

Banyak sebenarnya orang kaya raya di negeri ini, namun jarang kita lihat dia menunjukkan kekayaannya dengan memamerkan barang-barang mewah yang dimilikinya. Sebut saja Ibu Nurhayati, founder dan Komisaris Utama Paragon Technology and Innovation itu masuk dalam daftar 25 pebisnis wanita yang memiliki dampak besar di dunia bisnis Asia versi Majalah Forbes. Namun tidak tampak di dunia maya tentang informasi kekayaannya yang membuat jagat heboh karenanya. Justru yang dilihatkan adalah kepeduliannya terhadap dunia pendidikan, dengan berperan dalam program tanggung jawab sosial perusahaannya, seperti Good Leader Good Teacher, Wardah Inspiring Teacher, Wardah Scholarship Program, Semua Murid Semua Guru. Lalu Paragon Innovation Fellowship, Jabar Innovation Fellowship, Lecturer Coaching Movement, Pelatihan Inspiring Lecturer, dan INS Kayu Tanam Restoration.

Menanggapi perilaku flexing ini, Rudy Salim, seorang pengusaha, dalam wowkeren.com tanggal 23 Maret 2022 menyampaikan, “tak bisa menyalahkan seseorang flexing jika memang berkaitan dengan pekerjaan. Tapi, kalau kita di posisi orang yang melakukan flexing untuk usaha dia dan itu berhasil, kita gak bisa bilang itu salah. Contohnya, dia jualan berlian, dia harus memamerkan. Kalau gak, gimana dia jualannya.” Artinya, flexing dibenarkan manakala berhubungan dengan promosi perusahaannya.

Siapa pun berpendapat itu sah-sah saja, yang perlu kita perhatikan adalah etika dalam melakukan promosi suatu produk. Etika merupakan seperangkat standar moral yang digunakan dalam sebuah tindakan. Etika promosi standar moral untuk memandu keputusan dan tindakan promosi.

Sulit bagi kita mendefinisikan secara tepat etika promosi atau pemasaran di Indonesia. Karakteristik demografi, sosial budaya yang beraneka ragam dengan norma-norma yang berlaku di wilayah masing-masing menjadikan etika promosi sulit untuk diidentifikasi. Dalam Marketing.co.id menyatakan bahwa salah satu patokan untuk melakukan pemasaran yang beretika bisa merujuk kepada kode etik yang dibuat oleh American Marketing Association (AMA). Cuplikannya berbunyi sebagai berikut: “Pemasar harus menegakkan dan mengedepankan integritas, kehormatan, dan martabat profesi marketing dengan cara jujur dalam melayani konsumen, klien, pegawai, pemasok, distributor, dan masyarakat.”

Menurut Sonny Keraf, etika pemasaran tidak terlepas dari etika bisnis secara umum, dengan prinsip, (1) Prinsip Otonomi, yaitu kemampuan mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan kesadaran tentang apa yang baik untuk dilakukan dan bertanggung jawab secara moral atas keputusan yang diambil, (2) Prinsip Kejujuran, yaitu suatu bisnis tidak akan bertahan lama apabila tidak berlandaskan pada kejujuran, karena kejujuran merupakan kunci keberhasilan suatu bisnis, (3) Prinsip Keadilan, yaitu bahwa setiap orang dalam berbisnis harus mendapat perlakuan yang sesuai dengan haknya masing-masing, maksudnya adalah tidak ada yang boleh dirugikan haknya, (4) Prinsip Saling Menguntungkan, yaitu agar semua pihak berusaha untuk saling menguntungkan, dan (5) Prinsip Integritas Moral, yaitu prinsip dasar dalam berbisnis di mana para pelaku bisnis dalam menjalankan usaha bisnisnya mereka harus menjaga nama baik perusahaan agar tetap dipercaya dan merupakan perusahaan terbaik.

Seharusnya perusahaan melakukan promosi lebih menunjukkan tentang kualitas produk yang dikeluarkan. Bukan kekayaan pemilik sebagai hasil dari usaha bisnisnya. Di sisi lain flexing dari sudut pandangan agama islam ini adalah bagian dari riya.

Riya merupakan istilah yang berasal dari kata Arriyaa’u yang berarti memperlihatkan atau pamer. Pengertian riya adalah perbuatan memperlihatkan sesuatu baik barang atau perbuatan baik dengan maksud agar dilihat orang lain dan mendapat pujian. Tujuan pelaku flexing pada dasarnya ingin meningkatkan penjualan dan penjualan bagian dari usaha yang merupakan amalan atau ibadah untuk mencari keridaan Allah SWT namun jika disertai dengan riya maka bisa jadi usaha kita tidak masuk dalam kegiatan ibadah. Ditambah lagi bahwa riya merupakan bentuk syirik kecil yang dapat merusak ibadah dan mengurangi pahala. Kebaikan yang didasarkan dengan riya tidak bernilai di hadapan Allah. Bisnis yang tidak didasarkan karena ibadah, maka tidaklah dihitung sebagai pahala. Wallahu’alam bishawab

 

*) Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana UNEJ Jember

Baru-baru ini kita disuguhkan dengan keramaian seorang artis yang sedang mengkritisi pasangan suami istri yang dijuluki crazy rich. Hasil kritisannya ternyata membawa hasil, bahwa apa yang ditampilkan sebenarnya bukan kenyataan. Mereka hanya melakukan pamer kekayaan atau disebut dengan flexing.

Flexing saat ini memang sangat gencar di media sosial, baik melalui Youtube, Instagram, TikTok maupun yang lainnya. Baik itu dilakukan oleh artis, tokoh masyarakat, maupun orang-orang umum yang baru saja merasakan kekayaannya. Pelaku tidak segan-segannya menunjukkan semua kekayaannya, bahkan konon kabarnya tidak semua yang dipamerkan adalah benar miliknya. Mereka akan merasakan kebanggaan manakala pengikutnya memberikan komentar-komentar positif.

Memang sih, tidak semua komentar positif, misalnya mengikuti riwayat hidupnya, bagaimana proses pelaku menjadi kaya. Banyak pengikut yang termotivasi dari cerita tersebut, kemudian bergabung ke objek/produk/bisnis yang menjadikan pelaku menjadi kaya mendadak. Namun, tidak sedikit yang menghujat.

Saat ini negeri ini mengalami banyak permasalahan akibat pandemi Covid-19. Banyak orang yang mengalami keterpurukan, ekonomi hancur, PHK besar-besaran, bisnis apa pun terdampak, kemiskinan merajalela. Situasi yang seperti ini membuat orang sensitif terhadap rangsangan yang diterima, terutama berupa informasi flexing.

Tidakkah para pelaku flexing ini merasakan apa yang mereka rasakan? Cukuplah bagi para pelaku flexing untuk diam menikmati kekayaannya sendiri tanpa meng-exposed di dunia maya. Respons tidak suka, iri, sampai dengan pikiran jahat untuk memiliki paksa (mencuri, merampok, dll) pasti ada. Mungkin saat ini rasa empati itu telah tiada di masyarakat kita.

Banyak sebenarnya orang kaya raya di negeri ini, namun jarang kita lihat dia menunjukkan kekayaannya dengan memamerkan barang-barang mewah yang dimilikinya. Sebut saja Ibu Nurhayati, founder dan Komisaris Utama Paragon Technology and Innovation itu masuk dalam daftar 25 pebisnis wanita yang memiliki dampak besar di dunia bisnis Asia versi Majalah Forbes. Namun tidak tampak di dunia maya tentang informasi kekayaannya yang membuat jagat heboh karenanya. Justru yang dilihatkan adalah kepeduliannya terhadap dunia pendidikan, dengan berperan dalam program tanggung jawab sosial perusahaannya, seperti Good Leader Good Teacher, Wardah Inspiring Teacher, Wardah Scholarship Program, Semua Murid Semua Guru. Lalu Paragon Innovation Fellowship, Jabar Innovation Fellowship, Lecturer Coaching Movement, Pelatihan Inspiring Lecturer, dan INS Kayu Tanam Restoration.

Menanggapi perilaku flexing ini, Rudy Salim, seorang pengusaha, dalam wowkeren.com tanggal 23 Maret 2022 menyampaikan, “tak bisa menyalahkan seseorang flexing jika memang berkaitan dengan pekerjaan. Tapi, kalau kita di posisi orang yang melakukan flexing untuk usaha dia dan itu berhasil, kita gak bisa bilang itu salah. Contohnya, dia jualan berlian, dia harus memamerkan. Kalau gak, gimana dia jualannya.” Artinya, flexing dibenarkan manakala berhubungan dengan promosi perusahaannya.

Siapa pun berpendapat itu sah-sah saja, yang perlu kita perhatikan adalah etika dalam melakukan promosi suatu produk. Etika merupakan seperangkat standar moral yang digunakan dalam sebuah tindakan. Etika promosi standar moral untuk memandu keputusan dan tindakan promosi.

Sulit bagi kita mendefinisikan secara tepat etika promosi atau pemasaran di Indonesia. Karakteristik demografi, sosial budaya yang beraneka ragam dengan norma-norma yang berlaku di wilayah masing-masing menjadikan etika promosi sulit untuk diidentifikasi. Dalam Marketing.co.id menyatakan bahwa salah satu patokan untuk melakukan pemasaran yang beretika bisa merujuk kepada kode etik yang dibuat oleh American Marketing Association (AMA). Cuplikannya berbunyi sebagai berikut: “Pemasar harus menegakkan dan mengedepankan integritas, kehormatan, dan martabat profesi marketing dengan cara jujur dalam melayani konsumen, klien, pegawai, pemasok, distributor, dan masyarakat.”

Menurut Sonny Keraf, etika pemasaran tidak terlepas dari etika bisnis secara umum, dengan prinsip, (1) Prinsip Otonomi, yaitu kemampuan mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan kesadaran tentang apa yang baik untuk dilakukan dan bertanggung jawab secara moral atas keputusan yang diambil, (2) Prinsip Kejujuran, yaitu suatu bisnis tidak akan bertahan lama apabila tidak berlandaskan pada kejujuran, karena kejujuran merupakan kunci keberhasilan suatu bisnis, (3) Prinsip Keadilan, yaitu bahwa setiap orang dalam berbisnis harus mendapat perlakuan yang sesuai dengan haknya masing-masing, maksudnya adalah tidak ada yang boleh dirugikan haknya, (4) Prinsip Saling Menguntungkan, yaitu agar semua pihak berusaha untuk saling menguntungkan, dan (5) Prinsip Integritas Moral, yaitu prinsip dasar dalam berbisnis di mana para pelaku bisnis dalam menjalankan usaha bisnisnya mereka harus menjaga nama baik perusahaan agar tetap dipercaya dan merupakan perusahaan terbaik.

Seharusnya perusahaan melakukan promosi lebih menunjukkan tentang kualitas produk yang dikeluarkan. Bukan kekayaan pemilik sebagai hasil dari usaha bisnisnya. Di sisi lain flexing dari sudut pandangan agama islam ini adalah bagian dari riya.

Riya merupakan istilah yang berasal dari kata Arriyaa’u yang berarti memperlihatkan atau pamer. Pengertian riya adalah perbuatan memperlihatkan sesuatu baik barang atau perbuatan baik dengan maksud agar dilihat orang lain dan mendapat pujian. Tujuan pelaku flexing pada dasarnya ingin meningkatkan penjualan dan penjualan bagian dari usaha yang merupakan amalan atau ibadah untuk mencari keridaan Allah SWT namun jika disertai dengan riya maka bisa jadi usaha kita tidak masuk dalam kegiatan ibadah. Ditambah lagi bahwa riya merupakan bentuk syirik kecil yang dapat merusak ibadah dan mengurangi pahala. Kebaikan yang didasarkan dengan riya tidak bernilai di hadapan Allah. Bisnis yang tidak didasarkan karena ibadah, maka tidaklah dihitung sebagai pahala. Wallahu’alam bishawab

 

*) Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana UNEJ Jember

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca