Awal April 2022 menjadi catatan penting bagi mahasiswa Indonesia. Dalam skala nasional gerakan mahasiswa kembali terbangun. Hal ini terjadi bukan tanpa sebab. Gerakan ini dipicu persoalan carut-marutnya keadaan bangsa. Dimulai dari isu jabatan presiden menjadi 3 periode yang santer dihembuskan oleh elite politik hingga permasalahan yang lebih fundamental terhadap rakyat. Yaitu perihal ekonomi di mana menyangkut kepentingan seluruh warga negara, yang meliputi kenaikan PPN sebanyak 11 persen, yang merupakan dampak dari disahkkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, kenaikan BBM Pertamax dari Rp 9.400 menjadi Rp 12.500, kelangkaan minyak, serta kenaikan harga bahan-bahan pokok. Sehingga adanya masalah tersebut menjadi dasar konkret bagi mahasiswa Indonesia untuk membangun sebuah gerakan perlawanan.
Apresiasi setinggi-tingginya bagi mahasiswa yang masih sadar bahwa kondisi rakyat Indonesia sedang tidak baik-baik saja dan berani berdiri di garis terdepan guna menyuarakan kepentingan rakyat.
Demonstrasi sangat identik dengan poster, spanduk, ataupun bendera yang bertuliskan macam-macam tuntutan. Cukup banyak poster yang seharusnya berupa tuntutan dan penolakan yang sesuai dengan tujuan gerakan, justru bertolak belakang, sehingga menimbulkan banyak kontroversi karena isinya menyenggol masalah seksualitas. Seperti “Lebih Baik Bercinta Tiga Ronde daripada Harus Tiga Periode” juga “ Daripada BBM Naik Mending Ayang yang Naik”, dan tentunya masih banyak lagi.
Seksualitas dijadikan bahan candaan serta panjat sosial semata. Hal-hal seperti itu justru dapat menunjukkan bahwa “rape culture” masih dianggap hal yang wajar di kalangan mahasiswa. Hal ini tentunya menjadi koreksi bersama, yakni masalah kelanggengan seksisme di kalangan aktivis mahasiswa.
Mengapa seksisme masih langgeng di kalangan mahasiswa Indonesia?
Seksisme sendiri berarti ketidakadilan berbasis gender. Baik dari segi ucapan ataupun perlakuan. Perbuatan secara seksis masih sering terjadi meskipun hal itu dilakukan tanpa sadar. Hal ini menyebabkan tindakan diskriminasi masih langgeng dalam kehidupan sehari-hari. Mengutip pesan dari Pramoedya Ananta Toer bahwa “seorang terpelajar harus berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam tindakan”. Kita ketahui bersama nama mahasiswa adalah nama yang sangat agung. Belajar lebih dari 12 tahun lamanya. Sudah selayaknya menyandang label sebagai kaum intelektual. Akan tetapi, jika memang dianggap kaum intelektual, mengapa masih berbuat tidak adil sejak dalam pikiran?
Seksisme telah mengaburkan tujuan mulia dari gerakan mahasiswa yang susah payah dibangun. Agenda sakral demonstrasi mahasiswa telah dicederai dengan banyaknya poster seksis yang dibuat justru oleh mahasiswa itu sendiri. Tuntutan mahasiswa yang sejalan dengan kepentingan rakyatlah yang seharusnya muncul pada kolom-kolom berita. Bukan kritik terhadap mahasiswa yang tidak berpikir panjang terhadap segala tindakannya. Tentunya segala yang terjadi sekarang, mahasiswa banyak dikecam merupakan konsekuensi logis yang harus diterima oleh seluruh mahasiswa yang turut serta dalam gerakan tersebut.
Hal ini sangat disayangkan, sebab perjuangan rakyat Indonesia untuk menghapuskan segala bentuk bias gender, seksisme, hingga kekerasan seksual yang masih sangat marak terjadi. Yang seharusnya menjadi motor penggerak perjuangan ini salah satunya adalah mahasiswa. Tentu saja ini bukan hal yang mudah memang.
Seksisme yang terjadi secara terang-terangan di ruang publik dan dilakukan oleh kaum intelektual menandakan kualitas mahasiswa itu sendiri. Jika hal ini masih dianggap wajar, maka tak heran kampus menjadi penyokong kasus-kasus kekerasan seksual. Perjuangan kesetaraan gender dan penghapusan kekerasan seksual masih sangat jauh dari kata berhasil. Meskipun telah disahkannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual serta Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, yang membuat rakyat bisa sedikit bernapas lega. Namun, melihat kejadian ini menandakan penyadaran masih harus gencar dilakukan.
Dalam menyikapi banyaknya lingkungan yang belum sadar betapa pentingnya kesetaraan, dan betapa perlunya lingkungan yang sehat, gerakan-gerakan menuju kesetaraan harus dibangun sesegera dan seaktif mungkin, baik secara kolektif maupun individu, agar mampu menumbuhkan kesadaran serta cara pandang yang terbuka. Payung hukum telah terbentuk, maka implementasi harus dikawal dengan ketat oleh seluruh rakyat. Bagaimanapun perilaku seksis tidak pantas dilakukan oleh siapa pun dan di mana pun. Hidup Mahasiswa!!!
*) Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jember