Mobile_AP_Rectangle 1
Setelah kasus Gayus Tambunan pada tahun 2010-2011, isu penyelewengan uang pajak kembali mencuat di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Bahkan, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD beberapa waktu lalu menyebut ada pergerakan uang mencurigakan sebesar Rp 300 triliun di lingkungan kementerian keuangan. Pergerakan uang mencurigakan ini berada di DJP dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (Sindo, 08/03/23).
Mencuatnya kembali kasus penyelewengan uang pajak tersebut, berawal dari kasus penganiayaan saudara David (15) oleh Mario Sandy (20) yang merupakan anak dari seorang Pejabat Eselon tiga di DJP yaitu Rafael Alun Trisambodo. Berawal dari kasus inilah, terendus harta kekayaan Rafael ke publik dan dianggap tidak wajar untuk ukuran seorang pejabat eselon tiga di lingkungan DJP yaitu sebesar 56,1 miliar.
Atas dasar temuan itu, akhirnya Menteri Keuangan Sri Mulyani memutuskan untuk mencopot Rafael dari jabatan dan tugasnya di DJP karena melanggar Pasal 31 ayat 1 PP 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, dan saat ini harta kekayaan Rafael sedang dalam penyelidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jika harta kekayaan Rafael tersebut terbukti berasal dari hasil penyelewengan terhadap uang pajak atau kongkalikong dengan wajib pajak, tentu menjadi alarm negatif terhadap eksistensi perpajakan dan mengancam keuangan negara.
Mobile_AP_Rectangle 2
Dalam suatu negara, karena pajak merupakan kontribusi rakyat yang memiliki fungsi fundamental dalam pembangunan negara dan mewujudkan kesejahteraan rakyat. Sehingga jika pendapatan negara di bidang pajak diselewengkan dan dikongkalikong oleh pengelola pajak dan wajib pajak, sudah pasti akan berpengaruh terhadap akselerasi pendapatan negara dan menghambat pembangunan itu sendiri. Untuk itulah pemerintah perlu mencari akar masalah dari fenomena penyelewengan uang pajak agar uang rakyat tersebut tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
- Advertisement -
Setelah kasus Gayus Tambunan pada tahun 2010-2011, isu penyelewengan uang pajak kembali mencuat di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Bahkan, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD beberapa waktu lalu menyebut ada pergerakan uang mencurigakan sebesar Rp 300 triliun di lingkungan kementerian keuangan. Pergerakan uang mencurigakan ini berada di DJP dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (Sindo, 08/03/23).
Mencuatnya kembali kasus penyelewengan uang pajak tersebut, berawal dari kasus penganiayaan saudara David (15) oleh Mario Sandy (20) yang merupakan anak dari seorang Pejabat Eselon tiga di DJP yaitu Rafael Alun Trisambodo. Berawal dari kasus inilah, terendus harta kekayaan Rafael ke publik dan dianggap tidak wajar untuk ukuran seorang pejabat eselon tiga di lingkungan DJP yaitu sebesar 56,1 miliar.
Atas dasar temuan itu, akhirnya Menteri Keuangan Sri Mulyani memutuskan untuk mencopot Rafael dari jabatan dan tugasnya di DJP karena melanggar Pasal 31 ayat 1 PP 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, dan saat ini harta kekayaan Rafael sedang dalam penyelidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jika harta kekayaan Rafael tersebut terbukti berasal dari hasil penyelewengan terhadap uang pajak atau kongkalikong dengan wajib pajak, tentu menjadi alarm negatif terhadap eksistensi perpajakan dan mengancam keuangan negara.
Dalam suatu negara, karena pajak merupakan kontribusi rakyat yang memiliki fungsi fundamental dalam pembangunan negara dan mewujudkan kesejahteraan rakyat. Sehingga jika pendapatan negara di bidang pajak diselewengkan dan dikongkalikong oleh pengelola pajak dan wajib pajak, sudah pasti akan berpengaruh terhadap akselerasi pendapatan negara dan menghambat pembangunan itu sendiri. Untuk itulah pemerintah perlu mencari akar masalah dari fenomena penyelewengan uang pajak agar uang rakyat tersebut tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Setelah kasus Gayus Tambunan pada tahun 2010-2011, isu penyelewengan uang pajak kembali mencuat di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Bahkan, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD beberapa waktu lalu menyebut ada pergerakan uang mencurigakan sebesar Rp 300 triliun di lingkungan kementerian keuangan. Pergerakan uang mencurigakan ini berada di DJP dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (Sindo, 08/03/23).
Mencuatnya kembali kasus penyelewengan uang pajak tersebut, berawal dari kasus penganiayaan saudara David (15) oleh Mario Sandy (20) yang merupakan anak dari seorang Pejabat Eselon tiga di DJP yaitu Rafael Alun Trisambodo. Berawal dari kasus inilah, terendus harta kekayaan Rafael ke publik dan dianggap tidak wajar untuk ukuran seorang pejabat eselon tiga di lingkungan DJP yaitu sebesar 56,1 miliar.
Atas dasar temuan itu, akhirnya Menteri Keuangan Sri Mulyani memutuskan untuk mencopot Rafael dari jabatan dan tugasnya di DJP karena melanggar Pasal 31 ayat 1 PP 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, dan saat ini harta kekayaan Rafael sedang dalam penyelidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jika harta kekayaan Rafael tersebut terbukti berasal dari hasil penyelewengan terhadap uang pajak atau kongkalikong dengan wajib pajak, tentu menjadi alarm negatif terhadap eksistensi perpajakan dan mengancam keuangan negara.
Dalam suatu negara, karena pajak merupakan kontribusi rakyat yang memiliki fungsi fundamental dalam pembangunan negara dan mewujudkan kesejahteraan rakyat. Sehingga jika pendapatan negara di bidang pajak diselewengkan dan dikongkalikong oleh pengelola pajak dan wajib pajak, sudah pasti akan berpengaruh terhadap akselerasi pendapatan negara dan menghambat pembangunan itu sendiri. Untuk itulah pemerintah perlu mencari akar masalah dari fenomena penyelewengan uang pajak agar uang rakyat tersebut tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.