Kalau dirunut ke belakang, pendidikan hukum di Indonesia telah berjalan lebih dari 1 (satu) abad. Sejarah pendidikan hukum di Indonesia tak bisa dilepaskan dari Rechtsschool yang dibentuk dan dijalankan Belanda pada 1909-1928. Ini adalah sekolah pendidikan keahlian hukum untuk anak-anak pribumi di Hindia Belanda. Ketika didirikan pertama kali pada 26 Juli 1909, sekolah ini bernama Opleidingsschool voor de Inlandsche Rechtskundigen. Belakangan namanya berubah menjadi Rechtsschool (Tri Budiyono, 2014).
Setelah lebih dari satu abad pendidikan tinggi hukum di Indonesia berjalan, hingga saat ini pendidikan hukum masih terlalu banyak masalah yang harus digarap dan belum terselesaikan. Persoalan yang pertama adalah persoalan “matinya kepakaran” yang disebabkan oleh perkembangan teknologi/internet di tengah zaman kontemporer, sebagaimana ditulis oleh Tom Nichols dalam bukunya tentang “The Death of Expertise”. Tidak dapat dipungkiri bahwa hal ini juga melanda kalangan para sarjana hukum saat ini, tidak perlu membeli dan membaca buku atau konsultasi pada ahli/ilmuan untuk mengetahui segala macam sumber keilmuan. Cukup ketik saja apapun problematika hukum yang sedang dihadapi kepada google, maka dengan hitungan detik akan muncul hasilnya. Terlebih lagi juga banyaknya penegak hukum yang copy paste dalam menyusun dokumen-dokumen hukum, “menggunakan teknologi guna mempermudah segala tugasnya padahal hal tersebut menyebabkan matinya kepakaran bagi penegak hukum dan bahkan berakibat fatal bagi pencari keadilan”. Seperti Jaksa yang copy paste Surat dakwaan pada kasus lain, atau bahkan juga Hakim yang copy paste Putusan-putusan sebelumnya.
Selain persoalan tentang problematika kepakaran dalam keilmuan hukum, problem kedua yang sering mendapat sorotan sejak lama adalah mengenai tuntutan masyarakat untuk tidak hanya menghasilkan SDM hukum yang berkualitas sebagai ahli/sarjana hukum (homo juridicus) yang mempunyai kematangan/kecerdasan intelektual/rasio (IQ), tetapi juga harus mampu menghasilkan SDM hukum yang “homo ethicus”, yang mempunyai kematangan perasaan/emosional (EQ) dan kematangan spiritual (SQ). Ini berarti, yang dituntut tidak hanya ahli/sarjana hukum yang mempunyai kemampuan menerapkan norma-norma hukum positif, tetapi sekaligus juga memiliki integritas nilai yang tinggi. (Barda Nawawi Arief, disampaikan dalam Sambutan Pelepasan Doktor M. Sholehuddin, 2002).
Pada tataran inilah yang perlu ditekankan, karena masalah ini sering terabaikan. Dimana proses pendidikan hukum selama ini lebih menekankan pada “ilmu norma” dan kurang menekankan pada “ilmu nilai (di balik norma)”. Sehingga para lulusan sarjana hukum dinilai acapkali malah menjadi aktor di balik terjadinya pelanggaran hukum. Mulai dari kasus Ferdy Sambo hingga kasus dugaan perubahan frasa Putusan MK yang saat ini di tahun 2023 masih menuai polemik. Selain itu juga masih banyak kasus-kasus lain kasus yang sering menjerat para penegak hukum/sarjana hukum seperti korupsi, gratifikasi dan suap, sikap indisipliner, narkoba, hingga pemerkosaan.
Barda Nawawi Arief pun kembali menegaskan bahwa melalui proses pendidikan hukum yang integral diharapkan ada keseimbangan antara proses pembentukan SH/Sarjana Hukum sebagai “homo juridicus” (jurist) dan sebagai “homo ethicus”. Gabungan kedua kualitas ini dapat pula disebut dengan istilah “SH Al-Amien” (SH: sebagai simbol “homo juridicus”, dan Al- Amien (artinya yang dapat dipercaya), sebagai simbol “homo ethicus”). Kedua kualitas itu harus dibentuk dan diproses bersamaan. karena yang dituntut masyarakat bukan hanya SH atau aparat/pejabat penegak hukum yang cukup mapan dalam pengetahuan dan keterampilan hukumnya, tetapi yang dituntut juga SH (aparat penegak hukum) yang dapat dipercaya, yang jujur, yang tidak korup, yang benar, yang adil, dan sebagainya (Barda Nawawi Arief, 2007: 24).
Selain problematika kurangnya pendalaman tentang nilai moral dan matinya kepakaran bagi sarjana hukum, persoalan yang terakhir terjadi di ranah Kampus yaitu banyaknya orang kampus (ilmuwan) tertarik sebagai “politisi” begitu juga sebaliknya sebaliknya “politisi” ikut-ikutan berperan sebagai “ilmuwan”, sehingga tidak jelas dan sulit membedakan antara “ilmuwan” dan “politisi”. Dari sudut pandang ini juga menjadi tantangan bagi para Akademisi untuk tetap menjadi tenaga-tenaga yang berkualitas dan berdedikasi tinggi, sehingga mampu menghasilkan sarjana yang berkualitas dan berdedikasi tinggi pula.