22.8 C
Jember
Tuesday, 21 March 2023

Active Bystander: Bersama-sama Meringkus Predator Seksual

Mobile_AP_Rectangle 1

Pada abad 21 ini, kekerasan seksual kerap menjadi pemberitaan diberbagai media baik media tulisan ataupun siaran. Diketahui bahwa kekerasan seksual bisa terjadi kepada siapa pun (anak-anak, dewasa, perempuan, ataupun laki-laki) dan di mana pun (ruang privat maupun publik). Serta bisa dilakukan oleh siapa pun (akademisi, keluarga, orang terdekat, aparatur negara, dll).

Berdasarkan data dari Kemen-PPPA (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) yang dapat diakses di laman kemenpppa.go.id tercatat sebanyak 25.210 kasus kekerasan pada tahun 2021. Sebesar 15,2 persennya merupakan kekerasan seksual dan 45,1 persen kekerasan terhadap anak dalam balutan kekerasan seksual. Pada kenyataannya, kasus kekerasan seksual bisa dikategorikan dalam fenomena gunung es. Jumlah kasus yang sebenarnya terjadi lebih parah dibandingkan yang sudah diketahui melalui data. Pasalnya, tidak semua korban kekerasan seksual berani untuk melaporkan kekerasan yang menimpa dirinya.

Menelisik temuan Catahu (Catatan Tahunan) Komnas Perempuan 2021 yang memuat tentang Fakta dan Poin Kunci Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2020, ranah kekerasan terhadap perempuan yang diadukan langsung ke Komnas Perempuan sebanyak 2.134 kasus dengan perincian 1.404 kasus dalam ranah KDRT/RP, 706 kasus lingkup publik/komunitas, dan negara 24 kasus, dari kesemuanya sarat kekerasan seksual. Fakta ini menambah kuat kenyataan bahwa kekerasan seksual tidak memandang tempat untuk terjadi. Sehingga, semua ruang yang ada menjadi ruang yang tidak aman dan acap mengancam, khususnya bagi perempuan.

Mobile_AP_Rectangle 2

Adapun bentuk kekerasan seksual berdasarkan hasil pemantauan Komnas Perempuan selama 15 tahun (1998–2013) terdapat 15 jenis. Di antaranya pemerkosaan, intimidasi seksual melalui ancaman yang dapat menimbulkan rasa takut dan penderitaan psikis bagi korban baik dilakukan secara langsung maupun tidak langsung (surat, Sms, email, dll). Pelecehan bernuansa seksual (siulan, main mata, colekan, gerakan atau isyarat yang bersifat seksual dan dapat mengakibatkan rasa tidak nyaman). Adapun penyebab terjadinya kekerasan seksual di antaranya, adanya potensi dan kesempatan bagi pelaku untuk menjalankan aksinya, adanya relasi kekuasaan yang tidak seimbang, dan adanya cara berpikir yang tidak setara, serta ketidakmampuan korban untuk menolak karena takut. Kemudian, penyebab kekerasan seksual terhadap anak diakibatkan minimnya edukasi terkait seks dan etika pergaulan serta kurangnya pengawasan dari orang tua.

Kekerasan seksual sukar ditangani dan diungkap karena selalu dikaitkan dengan konsep moralitas masyarakat. Perempuan dianggap sebagai simbol kesucian sehingga ketika mendapatkan kekerasan seksual alih-alih mendapatkan pembelaan. Justru disalahkan dan dianggap aib. Ini menjadi alasan besar korban kekerasan seksual lebih banyak bungkam daripada speak up tentang kekerasan yang ia alami. Korban kekerasan seksual bisa mengalami depresi, trauma, ketakutan, cemas, dan semacamnya. Kesemuanya sangat berpengaruh terhadap kehidupan sosial korban. Contohnya hilang kepercayaan diri hingga mendapatkan penilaian yang buruk dari masyarakat.

Jelas kekerasan seksual merupakan perilaku yang tidak manusiawi berbahaya serta meresahkan. Oleh karena itu, menjadi tugas kita semua untuk berusaha mengentaskan kekerasan seksual di muka bumi ini. Selain mendesak pemerintah untuk segera mengesahkan peraturan yang kuat untuk menyikapi adanya kekerasan seksual melaui UU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual), dan memberikan hukuman yang berat untuk pelaku. Kita bisa memulai berkontribusi melalui hal-hal kecil yang dapat kita lakukan, dalam hal ini menjadi active bystander.

Apa itu active bystander?

Setiap orang merupakan bystander (pengamat) pada suatu waktu. Sebab, setiap orang diberikan kemampuan untuk dapat mengamati sekitar dan mengategorisasi setiap kejadian termasuk konflik atau sebatas hal yang lumrah terjadi. Sehingga, apabila ada konflik ia bisa menilai situasi untuk menentukan jenis bantuan apa yang akan diberikan atau memilih strategi untuk merespons. Begitupun dalam hal kekerasan seksual yang mungkin sedang terjadi di sekitarnya, yang sedang ia lihat, dan membutuhkan bantuannya. Pasalnya, tidak semua orang berpikir untuk memberikan bantuan karena merasa itu bukan bagian dari urusannya atau beranggapan bahwa akan ada orang lain yang menolong korban. Hal yang demikian disebut passive bystander, di mana seseorang bersikap acuh dan tidak peduli pada kejadian yang ada di sekitar bahkan jika itu kekerasan ataupun kejahatan. Sedangkan kebalikannya disebut active bystander.

Active bystander yaitu sebuah kesadaran terhadap perilaku seseorang yang tidak pantas dan mengancam kemudian memilih untuk menantang atau memberhentikannya dalam artian memberikan bantuan kepada korban. Dalam hal kekerasan seksual berarti memberikan respon terhadap pelaku dan melalukan pelbagai cara untuk mengurungkannya terjadi. Adapun upaya yang dapat dilakukan active bystander yaitu, memberikan intervensi kepada pelaku. Intervensi bystander dapat menjadi cara yang efektif untuk menghentikan kekerasan seksual sebelum terjadi. Sebab, pengamat (lingkungan) memainkan peran kunci dalam mencegah kekerasan seksual. Dalam Artikel Breaking The Silence Preventing Harassment and Sexual Misconduct, untuk mensukseskan upaya intervensi lebih baiknya melakukan pendekatan ABC:

Asses for safety (Penilaian keamanan) yaitu analisa situasi dengan melihat keadaan sekitar dan potensi bahaya dari pelaku, sehingga dapat memberikan sinyal aman untuk dapat membantu dengan cara apa pun.

Be in group (berada dalam kelompok), sebisa mungkin memberitahu orang lain dan mengambil tindakan bersama.

Care for the victim (peduli terhadap korban), dengan berbicara langsung kepada seseorang yang dirasa memerlukan bantuan.

Adapun intervensi bystander bisa dilakukan sebagaimana berikut: memberikan tindakan langsung (memberi tahu pelaku dengan sopan untuk menghentikan tindakannya), memberikan tatapan tidak setuju, menyela atau mengalihkan perhatian, meminta bantuan orang lain. Jika merasa kondisi tidak aman seperti diancam, maka bisa menunggu situasi berlalu dan bertanya kepada korban apakah ia baik-baik saja dan memberikan tawaran untuk melapor, atau dengan diam-diam mengambil gambar atau video yang bisa digunakan sebagai bukti, dan apabila situasi darurat bisa dengan menghubungi pihak berwajib.

Selain beberapa upaya di atas, menjadi active bystander bisa dilakukan dengan tidak menertawakan lelucon seksis ataupun yang berbau kekerasan seksual, berbicara dengan tidak konfrontatif menyoal seksualitas dan selalu memberikan dukungan kepada korban kekerasan seksual, alih-alih menyalahkannya (victim blaming), mengasingkan, atau menghina. Sebab, kita ketahui bersama bahwa kekerasan seksual tidak hanya terjadi di ruang public tapi rentan pula di ruang-ruang privat yang sulit untuk ditemui. Dalam hal ini memberikan dukungan moral kepada korban merupakan keharusan untuk dilakukan guna membentuk keberanian kepada korban untuk melaporkannya. Tidak jarang kita ditemui di masyarakat adanya victim blaming yang menyalahkan dan memandang jijik korban. Padahal kejadian buruk yang menimpa korban bukan atas kehendaknya. Oleh karenanya, menjadi active bystander diperlukan rasa empati dan simpati atas nama kemanusiaan. Pada akhirnya, atas nama kemanusiaan mari bersama-sama melabur kekerasan seksual dengan menjadi active bystander yang dimulai dengan memupuk rasa empati dan simpati serta selalu memberikan dukungan terhadap korban.

Penulis adalah Mahasiswa S-1 Pendidikan Bahasa Inggris, alumnus SMA Plus Al-Hasan Panti, aktif diberbagai organisasi, dan sekarang sebagai Ketua Rayon PMII FKIP Universitas Islam Jember

 

- Advertisement -

Pada abad 21 ini, kekerasan seksual kerap menjadi pemberitaan diberbagai media baik media tulisan ataupun siaran. Diketahui bahwa kekerasan seksual bisa terjadi kepada siapa pun (anak-anak, dewasa, perempuan, ataupun laki-laki) dan di mana pun (ruang privat maupun publik). Serta bisa dilakukan oleh siapa pun (akademisi, keluarga, orang terdekat, aparatur negara, dll).

Berdasarkan data dari Kemen-PPPA (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) yang dapat diakses di laman kemenpppa.go.id tercatat sebanyak 25.210 kasus kekerasan pada tahun 2021. Sebesar 15,2 persennya merupakan kekerasan seksual dan 45,1 persen kekerasan terhadap anak dalam balutan kekerasan seksual. Pada kenyataannya, kasus kekerasan seksual bisa dikategorikan dalam fenomena gunung es. Jumlah kasus yang sebenarnya terjadi lebih parah dibandingkan yang sudah diketahui melalui data. Pasalnya, tidak semua korban kekerasan seksual berani untuk melaporkan kekerasan yang menimpa dirinya.

Menelisik temuan Catahu (Catatan Tahunan) Komnas Perempuan 2021 yang memuat tentang Fakta dan Poin Kunci Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2020, ranah kekerasan terhadap perempuan yang diadukan langsung ke Komnas Perempuan sebanyak 2.134 kasus dengan perincian 1.404 kasus dalam ranah KDRT/RP, 706 kasus lingkup publik/komunitas, dan negara 24 kasus, dari kesemuanya sarat kekerasan seksual. Fakta ini menambah kuat kenyataan bahwa kekerasan seksual tidak memandang tempat untuk terjadi. Sehingga, semua ruang yang ada menjadi ruang yang tidak aman dan acap mengancam, khususnya bagi perempuan.

Adapun bentuk kekerasan seksual berdasarkan hasil pemantauan Komnas Perempuan selama 15 tahun (1998–2013) terdapat 15 jenis. Di antaranya pemerkosaan, intimidasi seksual melalui ancaman yang dapat menimbulkan rasa takut dan penderitaan psikis bagi korban baik dilakukan secara langsung maupun tidak langsung (surat, Sms, email, dll). Pelecehan bernuansa seksual (siulan, main mata, colekan, gerakan atau isyarat yang bersifat seksual dan dapat mengakibatkan rasa tidak nyaman). Adapun penyebab terjadinya kekerasan seksual di antaranya, adanya potensi dan kesempatan bagi pelaku untuk menjalankan aksinya, adanya relasi kekuasaan yang tidak seimbang, dan adanya cara berpikir yang tidak setara, serta ketidakmampuan korban untuk menolak karena takut. Kemudian, penyebab kekerasan seksual terhadap anak diakibatkan minimnya edukasi terkait seks dan etika pergaulan serta kurangnya pengawasan dari orang tua.

Kekerasan seksual sukar ditangani dan diungkap karena selalu dikaitkan dengan konsep moralitas masyarakat. Perempuan dianggap sebagai simbol kesucian sehingga ketika mendapatkan kekerasan seksual alih-alih mendapatkan pembelaan. Justru disalahkan dan dianggap aib. Ini menjadi alasan besar korban kekerasan seksual lebih banyak bungkam daripada speak up tentang kekerasan yang ia alami. Korban kekerasan seksual bisa mengalami depresi, trauma, ketakutan, cemas, dan semacamnya. Kesemuanya sangat berpengaruh terhadap kehidupan sosial korban. Contohnya hilang kepercayaan diri hingga mendapatkan penilaian yang buruk dari masyarakat.

Jelas kekerasan seksual merupakan perilaku yang tidak manusiawi berbahaya serta meresahkan. Oleh karena itu, menjadi tugas kita semua untuk berusaha mengentaskan kekerasan seksual di muka bumi ini. Selain mendesak pemerintah untuk segera mengesahkan peraturan yang kuat untuk menyikapi adanya kekerasan seksual melaui UU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual), dan memberikan hukuman yang berat untuk pelaku. Kita bisa memulai berkontribusi melalui hal-hal kecil yang dapat kita lakukan, dalam hal ini menjadi active bystander.

Apa itu active bystander?

Setiap orang merupakan bystander (pengamat) pada suatu waktu. Sebab, setiap orang diberikan kemampuan untuk dapat mengamati sekitar dan mengategorisasi setiap kejadian termasuk konflik atau sebatas hal yang lumrah terjadi. Sehingga, apabila ada konflik ia bisa menilai situasi untuk menentukan jenis bantuan apa yang akan diberikan atau memilih strategi untuk merespons. Begitupun dalam hal kekerasan seksual yang mungkin sedang terjadi di sekitarnya, yang sedang ia lihat, dan membutuhkan bantuannya. Pasalnya, tidak semua orang berpikir untuk memberikan bantuan karena merasa itu bukan bagian dari urusannya atau beranggapan bahwa akan ada orang lain yang menolong korban. Hal yang demikian disebut passive bystander, di mana seseorang bersikap acuh dan tidak peduli pada kejadian yang ada di sekitar bahkan jika itu kekerasan ataupun kejahatan. Sedangkan kebalikannya disebut active bystander.

Active bystander yaitu sebuah kesadaran terhadap perilaku seseorang yang tidak pantas dan mengancam kemudian memilih untuk menantang atau memberhentikannya dalam artian memberikan bantuan kepada korban. Dalam hal kekerasan seksual berarti memberikan respon terhadap pelaku dan melalukan pelbagai cara untuk mengurungkannya terjadi. Adapun upaya yang dapat dilakukan active bystander yaitu, memberikan intervensi kepada pelaku. Intervensi bystander dapat menjadi cara yang efektif untuk menghentikan kekerasan seksual sebelum terjadi. Sebab, pengamat (lingkungan) memainkan peran kunci dalam mencegah kekerasan seksual. Dalam Artikel Breaking The Silence Preventing Harassment and Sexual Misconduct, untuk mensukseskan upaya intervensi lebih baiknya melakukan pendekatan ABC:

Asses for safety (Penilaian keamanan) yaitu analisa situasi dengan melihat keadaan sekitar dan potensi bahaya dari pelaku, sehingga dapat memberikan sinyal aman untuk dapat membantu dengan cara apa pun.

Be in group (berada dalam kelompok), sebisa mungkin memberitahu orang lain dan mengambil tindakan bersama.

Care for the victim (peduli terhadap korban), dengan berbicara langsung kepada seseorang yang dirasa memerlukan bantuan.

Adapun intervensi bystander bisa dilakukan sebagaimana berikut: memberikan tindakan langsung (memberi tahu pelaku dengan sopan untuk menghentikan tindakannya), memberikan tatapan tidak setuju, menyela atau mengalihkan perhatian, meminta bantuan orang lain. Jika merasa kondisi tidak aman seperti diancam, maka bisa menunggu situasi berlalu dan bertanya kepada korban apakah ia baik-baik saja dan memberikan tawaran untuk melapor, atau dengan diam-diam mengambil gambar atau video yang bisa digunakan sebagai bukti, dan apabila situasi darurat bisa dengan menghubungi pihak berwajib.

Selain beberapa upaya di atas, menjadi active bystander bisa dilakukan dengan tidak menertawakan lelucon seksis ataupun yang berbau kekerasan seksual, berbicara dengan tidak konfrontatif menyoal seksualitas dan selalu memberikan dukungan kepada korban kekerasan seksual, alih-alih menyalahkannya (victim blaming), mengasingkan, atau menghina. Sebab, kita ketahui bersama bahwa kekerasan seksual tidak hanya terjadi di ruang public tapi rentan pula di ruang-ruang privat yang sulit untuk ditemui. Dalam hal ini memberikan dukungan moral kepada korban merupakan keharusan untuk dilakukan guna membentuk keberanian kepada korban untuk melaporkannya. Tidak jarang kita ditemui di masyarakat adanya victim blaming yang menyalahkan dan memandang jijik korban. Padahal kejadian buruk yang menimpa korban bukan atas kehendaknya. Oleh karenanya, menjadi active bystander diperlukan rasa empati dan simpati atas nama kemanusiaan. Pada akhirnya, atas nama kemanusiaan mari bersama-sama melabur kekerasan seksual dengan menjadi active bystander yang dimulai dengan memupuk rasa empati dan simpati serta selalu memberikan dukungan terhadap korban.

Penulis adalah Mahasiswa S-1 Pendidikan Bahasa Inggris, alumnus SMA Plus Al-Hasan Panti, aktif diberbagai organisasi, dan sekarang sebagai Ketua Rayon PMII FKIP Universitas Islam Jember

 

Pada abad 21 ini, kekerasan seksual kerap menjadi pemberitaan diberbagai media baik media tulisan ataupun siaran. Diketahui bahwa kekerasan seksual bisa terjadi kepada siapa pun (anak-anak, dewasa, perempuan, ataupun laki-laki) dan di mana pun (ruang privat maupun publik). Serta bisa dilakukan oleh siapa pun (akademisi, keluarga, orang terdekat, aparatur negara, dll).

Berdasarkan data dari Kemen-PPPA (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) yang dapat diakses di laman kemenpppa.go.id tercatat sebanyak 25.210 kasus kekerasan pada tahun 2021. Sebesar 15,2 persennya merupakan kekerasan seksual dan 45,1 persen kekerasan terhadap anak dalam balutan kekerasan seksual. Pada kenyataannya, kasus kekerasan seksual bisa dikategorikan dalam fenomena gunung es. Jumlah kasus yang sebenarnya terjadi lebih parah dibandingkan yang sudah diketahui melalui data. Pasalnya, tidak semua korban kekerasan seksual berani untuk melaporkan kekerasan yang menimpa dirinya.

Menelisik temuan Catahu (Catatan Tahunan) Komnas Perempuan 2021 yang memuat tentang Fakta dan Poin Kunci Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2020, ranah kekerasan terhadap perempuan yang diadukan langsung ke Komnas Perempuan sebanyak 2.134 kasus dengan perincian 1.404 kasus dalam ranah KDRT/RP, 706 kasus lingkup publik/komunitas, dan negara 24 kasus, dari kesemuanya sarat kekerasan seksual. Fakta ini menambah kuat kenyataan bahwa kekerasan seksual tidak memandang tempat untuk terjadi. Sehingga, semua ruang yang ada menjadi ruang yang tidak aman dan acap mengancam, khususnya bagi perempuan.

Adapun bentuk kekerasan seksual berdasarkan hasil pemantauan Komnas Perempuan selama 15 tahun (1998–2013) terdapat 15 jenis. Di antaranya pemerkosaan, intimidasi seksual melalui ancaman yang dapat menimbulkan rasa takut dan penderitaan psikis bagi korban baik dilakukan secara langsung maupun tidak langsung (surat, Sms, email, dll). Pelecehan bernuansa seksual (siulan, main mata, colekan, gerakan atau isyarat yang bersifat seksual dan dapat mengakibatkan rasa tidak nyaman). Adapun penyebab terjadinya kekerasan seksual di antaranya, adanya potensi dan kesempatan bagi pelaku untuk menjalankan aksinya, adanya relasi kekuasaan yang tidak seimbang, dan adanya cara berpikir yang tidak setara, serta ketidakmampuan korban untuk menolak karena takut. Kemudian, penyebab kekerasan seksual terhadap anak diakibatkan minimnya edukasi terkait seks dan etika pergaulan serta kurangnya pengawasan dari orang tua.

Kekerasan seksual sukar ditangani dan diungkap karena selalu dikaitkan dengan konsep moralitas masyarakat. Perempuan dianggap sebagai simbol kesucian sehingga ketika mendapatkan kekerasan seksual alih-alih mendapatkan pembelaan. Justru disalahkan dan dianggap aib. Ini menjadi alasan besar korban kekerasan seksual lebih banyak bungkam daripada speak up tentang kekerasan yang ia alami. Korban kekerasan seksual bisa mengalami depresi, trauma, ketakutan, cemas, dan semacamnya. Kesemuanya sangat berpengaruh terhadap kehidupan sosial korban. Contohnya hilang kepercayaan diri hingga mendapatkan penilaian yang buruk dari masyarakat.

Jelas kekerasan seksual merupakan perilaku yang tidak manusiawi berbahaya serta meresahkan. Oleh karena itu, menjadi tugas kita semua untuk berusaha mengentaskan kekerasan seksual di muka bumi ini. Selain mendesak pemerintah untuk segera mengesahkan peraturan yang kuat untuk menyikapi adanya kekerasan seksual melaui UU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual), dan memberikan hukuman yang berat untuk pelaku. Kita bisa memulai berkontribusi melalui hal-hal kecil yang dapat kita lakukan, dalam hal ini menjadi active bystander.

Apa itu active bystander?

Setiap orang merupakan bystander (pengamat) pada suatu waktu. Sebab, setiap orang diberikan kemampuan untuk dapat mengamati sekitar dan mengategorisasi setiap kejadian termasuk konflik atau sebatas hal yang lumrah terjadi. Sehingga, apabila ada konflik ia bisa menilai situasi untuk menentukan jenis bantuan apa yang akan diberikan atau memilih strategi untuk merespons. Begitupun dalam hal kekerasan seksual yang mungkin sedang terjadi di sekitarnya, yang sedang ia lihat, dan membutuhkan bantuannya. Pasalnya, tidak semua orang berpikir untuk memberikan bantuan karena merasa itu bukan bagian dari urusannya atau beranggapan bahwa akan ada orang lain yang menolong korban. Hal yang demikian disebut passive bystander, di mana seseorang bersikap acuh dan tidak peduli pada kejadian yang ada di sekitar bahkan jika itu kekerasan ataupun kejahatan. Sedangkan kebalikannya disebut active bystander.

Active bystander yaitu sebuah kesadaran terhadap perilaku seseorang yang tidak pantas dan mengancam kemudian memilih untuk menantang atau memberhentikannya dalam artian memberikan bantuan kepada korban. Dalam hal kekerasan seksual berarti memberikan respon terhadap pelaku dan melalukan pelbagai cara untuk mengurungkannya terjadi. Adapun upaya yang dapat dilakukan active bystander yaitu, memberikan intervensi kepada pelaku. Intervensi bystander dapat menjadi cara yang efektif untuk menghentikan kekerasan seksual sebelum terjadi. Sebab, pengamat (lingkungan) memainkan peran kunci dalam mencegah kekerasan seksual. Dalam Artikel Breaking The Silence Preventing Harassment and Sexual Misconduct, untuk mensukseskan upaya intervensi lebih baiknya melakukan pendekatan ABC:

Asses for safety (Penilaian keamanan) yaitu analisa situasi dengan melihat keadaan sekitar dan potensi bahaya dari pelaku, sehingga dapat memberikan sinyal aman untuk dapat membantu dengan cara apa pun.

Be in group (berada dalam kelompok), sebisa mungkin memberitahu orang lain dan mengambil tindakan bersama.

Care for the victim (peduli terhadap korban), dengan berbicara langsung kepada seseorang yang dirasa memerlukan bantuan.

Adapun intervensi bystander bisa dilakukan sebagaimana berikut: memberikan tindakan langsung (memberi tahu pelaku dengan sopan untuk menghentikan tindakannya), memberikan tatapan tidak setuju, menyela atau mengalihkan perhatian, meminta bantuan orang lain. Jika merasa kondisi tidak aman seperti diancam, maka bisa menunggu situasi berlalu dan bertanya kepada korban apakah ia baik-baik saja dan memberikan tawaran untuk melapor, atau dengan diam-diam mengambil gambar atau video yang bisa digunakan sebagai bukti, dan apabila situasi darurat bisa dengan menghubungi pihak berwajib.

Selain beberapa upaya di atas, menjadi active bystander bisa dilakukan dengan tidak menertawakan lelucon seksis ataupun yang berbau kekerasan seksual, berbicara dengan tidak konfrontatif menyoal seksualitas dan selalu memberikan dukungan kepada korban kekerasan seksual, alih-alih menyalahkannya (victim blaming), mengasingkan, atau menghina. Sebab, kita ketahui bersama bahwa kekerasan seksual tidak hanya terjadi di ruang public tapi rentan pula di ruang-ruang privat yang sulit untuk ditemui. Dalam hal ini memberikan dukungan moral kepada korban merupakan keharusan untuk dilakukan guna membentuk keberanian kepada korban untuk melaporkannya. Tidak jarang kita ditemui di masyarakat adanya victim blaming yang menyalahkan dan memandang jijik korban. Padahal kejadian buruk yang menimpa korban bukan atas kehendaknya. Oleh karenanya, menjadi active bystander diperlukan rasa empati dan simpati atas nama kemanusiaan. Pada akhirnya, atas nama kemanusiaan mari bersama-sama melabur kekerasan seksual dengan menjadi active bystander yang dimulai dengan memupuk rasa empati dan simpati serta selalu memberikan dukungan terhadap korban.

Penulis adalah Mahasiswa S-1 Pendidikan Bahasa Inggris, alumnus SMA Plus Al-Hasan Panti, aktif diberbagai organisasi, dan sekarang sebagai Ketua Rayon PMII FKIP Universitas Islam Jember

 

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca