31.1 C
Jember
Wednesday, 29 March 2023

Fenomena Penghafal Alquran dan Toleransi Santri

Mobile_AP_Rectangle 1

Baru-baru ini marak diperdebatkan soal video puluhan santri yang tengah antre ketika hendak melakukan vaksinasi masal. Para santri ini adalah penghafal Alquran, yang menutup telinga ketika mendengar suara musik yang baginya dapat mengganggu konsentrasi ingatannnya. Atas kejadian, ini warganet saling berlawanan dalam membaca fenomena tersebut.

Sebagian kelompok warganet menganggap bahwa aksi menutup telinga para penghafal Alquran itu merupakan bentuk kelompok radikal, tidak toleran, dan label lain semacamnya. Banyak warganet yang mengkritik secara tidak sehat dan terlampau berlebihan, sebagaimana anggapannnya terlampau berlebihan melabeli sekelompok penghafal Alquran itu. Mereka ini cenderung menyamakan penghafal Alquran itu dengan kelompok lain yang lazimnya berwatak keras dan tidak toleran.

Sebagian kelompok lain mengatakan bahwa aksi menutup telinga para penghafal Alquran justru sebaliknya, yaitu bentuk toleransi santri terhadap apa yang diyakininya tidak baik, maka menutup telinga adalah satu-satunya jalan untuk tidak melarang orang lain mengikuti hasrat atau keyakinan yang menurutnya tidak baik. Apa yang dilakukan para penghafal Alquran itu merupakan langkah tepat. Begitulah kata warganet yang membaca fenomena penghafal Alquran menutup telinga itu dengan kacamata positif.

Mobile_AP_Rectangle 2

Dari dua kacamata yang saling berlawanan dalam membaca fenomena tersebut, dapat kita lihat bagaimana pikiran manusia bekerja. Data pada 1986, penelitian fakultas kedokteran di San Francisco menyebutkan bahwa lebih dari 80 persen pikiran manusia bersifat negatif. Dengan perhitungan sederhana, 80 persen dari 60 ribu pikiran, setiap hari manusia memiliki 48 ribu pikiran negatif. Hal ini turut memengaruhi perasaan, perilaku, serta penyakit yang mendera jiwa dan raga dan keyakinannya.

Oleh karena itu, apa yang kelompok pertama anggap bahwa aksi menutup telinga para penghafal Alquran itu bentuk kelompok radikal, tidak toleran, dan sebagainya, sebenarnya hal ini merupakan hasil pengarahan pikiran sendiri dalam membaca fenomena tersebut. Sehingga apa yang dipikirkan sesuatu yang menurutnya berlebihan, tidak toleran, dan label lain semacamnya, maka otak akan mengarahkan-menghubungkan data pikiran sebelumnya (baca: kelompok berwatak keras) untuk kemudian mendukung pikiran negatif tersebut.

Hal ini sejalan dengan buku Aladdin Factor karya Jack Canfield dan Mark Viktor Hansen—sebagaimana yang dikutip oleh Dr Ibrahim Elfiky dalam bukunya Terapi Berpikir Positif—bahwa setiap hari manusia menghadapi lebih dari 60 ribu pikiran. Satu di antaranya yang dibutuhkan sejumlah besar pikiran ini adalah pengarahan. Pikiran, sebagaimana kehendak kita, jika kita arahkan pada sesuatu yang bernilai negatif maka besar kemungkinan yang akan keluar 60 ribu adalah negatif. Sebaliknya, jika pikiran diarahkan pada sesuatu hal yang bernilai positif, maka ruang pikiran kita akan jauh lebih jernih dan lebih bijak dalam menanggapi dan merespons sebuah fenomena.

Berdasarkan data ini dapat kita membaca dengan gamblang sebuah fenomena dengan bijak tanpa kemudian gampang melabeli liyan dengan kacamata negatif. Mengatakan bahwa para penghafal Alquran yang menutup telinga ketika mendengar musik bagian dari kelompok tidak toleran, garis keras, dan label lain semacamnya, tidaklah tepat. Kita perlu mengetahui duduk perkara dengan jelas dan pikiran jernih untuk menilai dan memberi komentar pada orang lain. Akan jauh lebih bijak jika mengajak masyarakat turut saling memahami duduk persoalan dan mengerti satu sama lain tanpa harus melarang orang lain mengikuti hasrat kita. Sehingga potensi mencibir golongan yang berbeda dengan kita akan jauh lebih terkendali.

Bagi penulis, fenomena penghafal Alquran menutup telinga ketika mendengar musik ini merupakan bentuk toleransi santri terhadap apa yang diyakini santri itu “kurang baik”, maka menutup telinga adalah salah satu jalan untuk tidak melarang orang lain mengikuti keyakinannya bahwa musik itu tidak baik. Sekalipun misalnya mereka menganggap bahwa musik itu haram atau mengganggu konsentrasinya, pada saat yang bersamaan mereka lebih memilih diam menutup telinga dan tidak melarang panitia memutar musik.

Seharusnya para penghafal Alquran itu layak mendapat apresiasi. Sebagai bukti bahwa inilah contoh bagaimana toleransi telah menjiwai dan mendarah daging kawanan santri penghafal Alquran itu. Seharusnya para warganet menanggapi fenomena ini dengan bijak. Dengan tidak gampang memaki atau melontarkan perkataan tidak baik, membaca sebuah fenomena yang menurutnya tidak sejalan dengan akal pikirannya.

Menutup telinga ketika mendengar musik adalah langkah tepat bagi seorang penghafal Alquran dalam menjaga dan merawat hafalannya. Konsekuensi kebalikannya adalah, jika para penghafal Alquran itu tidak menutup telinga ketika mendengar musik, maka konsentrasi proses menghafal Alquran pun dapat terganggu. Apalagi para penghafal Alquran itu masih—umur hafalannya—berusia dini. Ini tidaklah berarti bahwa mereka—para penghafal Alquran itu—adalah kaum Islam garis keras.

Begitulah Alquran menuntut para penghafal Alquran untuk selalu setia dan memintanya berdialog sepanjang waktu tanpa terpengaruh oleh hal lain dan tidak sibuk melarang orang lain (baca: panitia memutar musik) mengikuti hasrat keyakinannya. Para penghafal Alquran itu berupaya mencoba berpikir positif dalam merespons sesuatu yang tidak baik baginya.

Sebagai kesimpulan mendudukkan masalah dengan jernih tanpa mengaitkan satu hal dengan hal lainnya adalah satu cara menjadi manusia beradab dan berbudi luhur. Tanpa membaca fenomena dengan baik dan bijak—tidak menggunakan akal sehat—sepertinya kita butuh belajar kembali menjadi manusia seutuhnya.

 

*) Penulis adalah mahasiswa Prodi Mazawa UIN Khas Jember dan Alumnus Markaz Tahfidz Nasional (MTN) Pesantren Madinah Munawwarah (PMM) Semarang.

 

 

- Advertisement -

Baru-baru ini marak diperdebatkan soal video puluhan santri yang tengah antre ketika hendak melakukan vaksinasi masal. Para santri ini adalah penghafal Alquran, yang menutup telinga ketika mendengar suara musik yang baginya dapat mengganggu konsentrasi ingatannnya. Atas kejadian, ini warganet saling berlawanan dalam membaca fenomena tersebut.

Sebagian kelompok warganet menganggap bahwa aksi menutup telinga para penghafal Alquran itu merupakan bentuk kelompok radikal, tidak toleran, dan label lain semacamnya. Banyak warganet yang mengkritik secara tidak sehat dan terlampau berlebihan, sebagaimana anggapannnya terlampau berlebihan melabeli sekelompok penghafal Alquran itu. Mereka ini cenderung menyamakan penghafal Alquran itu dengan kelompok lain yang lazimnya berwatak keras dan tidak toleran.

Sebagian kelompok lain mengatakan bahwa aksi menutup telinga para penghafal Alquran justru sebaliknya, yaitu bentuk toleransi santri terhadap apa yang diyakininya tidak baik, maka menutup telinga adalah satu-satunya jalan untuk tidak melarang orang lain mengikuti hasrat atau keyakinan yang menurutnya tidak baik. Apa yang dilakukan para penghafal Alquran itu merupakan langkah tepat. Begitulah kata warganet yang membaca fenomena penghafal Alquran menutup telinga itu dengan kacamata positif.

Dari dua kacamata yang saling berlawanan dalam membaca fenomena tersebut, dapat kita lihat bagaimana pikiran manusia bekerja. Data pada 1986, penelitian fakultas kedokteran di San Francisco menyebutkan bahwa lebih dari 80 persen pikiran manusia bersifat negatif. Dengan perhitungan sederhana, 80 persen dari 60 ribu pikiran, setiap hari manusia memiliki 48 ribu pikiran negatif. Hal ini turut memengaruhi perasaan, perilaku, serta penyakit yang mendera jiwa dan raga dan keyakinannya.

Oleh karena itu, apa yang kelompok pertama anggap bahwa aksi menutup telinga para penghafal Alquran itu bentuk kelompok radikal, tidak toleran, dan sebagainya, sebenarnya hal ini merupakan hasil pengarahan pikiran sendiri dalam membaca fenomena tersebut. Sehingga apa yang dipikirkan sesuatu yang menurutnya berlebihan, tidak toleran, dan label lain semacamnya, maka otak akan mengarahkan-menghubungkan data pikiran sebelumnya (baca: kelompok berwatak keras) untuk kemudian mendukung pikiran negatif tersebut.

Hal ini sejalan dengan buku Aladdin Factor karya Jack Canfield dan Mark Viktor Hansen—sebagaimana yang dikutip oleh Dr Ibrahim Elfiky dalam bukunya Terapi Berpikir Positif—bahwa setiap hari manusia menghadapi lebih dari 60 ribu pikiran. Satu di antaranya yang dibutuhkan sejumlah besar pikiran ini adalah pengarahan. Pikiran, sebagaimana kehendak kita, jika kita arahkan pada sesuatu yang bernilai negatif maka besar kemungkinan yang akan keluar 60 ribu adalah negatif. Sebaliknya, jika pikiran diarahkan pada sesuatu hal yang bernilai positif, maka ruang pikiran kita akan jauh lebih jernih dan lebih bijak dalam menanggapi dan merespons sebuah fenomena.

Berdasarkan data ini dapat kita membaca dengan gamblang sebuah fenomena dengan bijak tanpa kemudian gampang melabeli liyan dengan kacamata negatif. Mengatakan bahwa para penghafal Alquran yang menutup telinga ketika mendengar musik bagian dari kelompok tidak toleran, garis keras, dan label lain semacamnya, tidaklah tepat. Kita perlu mengetahui duduk perkara dengan jelas dan pikiran jernih untuk menilai dan memberi komentar pada orang lain. Akan jauh lebih bijak jika mengajak masyarakat turut saling memahami duduk persoalan dan mengerti satu sama lain tanpa harus melarang orang lain mengikuti hasrat kita. Sehingga potensi mencibir golongan yang berbeda dengan kita akan jauh lebih terkendali.

Bagi penulis, fenomena penghafal Alquran menutup telinga ketika mendengar musik ini merupakan bentuk toleransi santri terhadap apa yang diyakini santri itu “kurang baik”, maka menutup telinga adalah salah satu jalan untuk tidak melarang orang lain mengikuti keyakinannya bahwa musik itu tidak baik. Sekalipun misalnya mereka menganggap bahwa musik itu haram atau mengganggu konsentrasinya, pada saat yang bersamaan mereka lebih memilih diam menutup telinga dan tidak melarang panitia memutar musik.

Seharusnya para penghafal Alquran itu layak mendapat apresiasi. Sebagai bukti bahwa inilah contoh bagaimana toleransi telah menjiwai dan mendarah daging kawanan santri penghafal Alquran itu. Seharusnya para warganet menanggapi fenomena ini dengan bijak. Dengan tidak gampang memaki atau melontarkan perkataan tidak baik, membaca sebuah fenomena yang menurutnya tidak sejalan dengan akal pikirannya.

Menutup telinga ketika mendengar musik adalah langkah tepat bagi seorang penghafal Alquran dalam menjaga dan merawat hafalannya. Konsekuensi kebalikannya adalah, jika para penghafal Alquran itu tidak menutup telinga ketika mendengar musik, maka konsentrasi proses menghafal Alquran pun dapat terganggu. Apalagi para penghafal Alquran itu masih—umur hafalannya—berusia dini. Ini tidaklah berarti bahwa mereka—para penghafal Alquran itu—adalah kaum Islam garis keras.

Begitulah Alquran menuntut para penghafal Alquran untuk selalu setia dan memintanya berdialog sepanjang waktu tanpa terpengaruh oleh hal lain dan tidak sibuk melarang orang lain (baca: panitia memutar musik) mengikuti hasrat keyakinannya. Para penghafal Alquran itu berupaya mencoba berpikir positif dalam merespons sesuatu yang tidak baik baginya.

Sebagai kesimpulan mendudukkan masalah dengan jernih tanpa mengaitkan satu hal dengan hal lainnya adalah satu cara menjadi manusia beradab dan berbudi luhur. Tanpa membaca fenomena dengan baik dan bijak—tidak menggunakan akal sehat—sepertinya kita butuh belajar kembali menjadi manusia seutuhnya.

 

*) Penulis adalah mahasiswa Prodi Mazawa UIN Khas Jember dan Alumnus Markaz Tahfidz Nasional (MTN) Pesantren Madinah Munawwarah (PMM) Semarang.

 

 

Baru-baru ini marak diperdebatkan soal video puluhan santri yang tengah antre ketika hendak melakukan vaksinasi masal. Para santri ini adalah penghafal Alquran, yang menutup telinga ketika mendengar suara musik yang baginya dapat mengganggu konsentrasi ingatannnya. Atas kejadian, ini warganet saling berlawanan dalam membaca fenomena tersebut.

Sebagian kelompok warganet menganggap bahwa aksi menutup telinga para penghafal Alquran itu merupakan bentuk kelompok radikal, tidak toleran, dan label lain semacamnya. Banyak warganet yang mengkritik secara tidak sehat dan terlampau berlebihan, sebagaimana anggapannnya terlampau berlebihan melabeli sekelompok penghafal Alquran itu. Mereka ini cenderung menyamakan penghafal Alquran itu dengan kelompok lain yang lazimnya berwatak keras dan tidak toleran.

Sebagian kelompok lain mengatakan bahwa aksi menutup telinga para penghafal Alquran justru sebaliknya, yaitu bentuk toleransi santri terhadap apa yang diyakininya tidak baik, maka menutup telinga adalah satu-satunya jalan untuk tidak melarang orang lain mengikuti hasrat atau keyakinan yang menurutnya tidak baik. Apa yang dilakukan para penghafal Alquran itu merupakan langkah tepat. Begitulah kata warganet yang membaca fenomena penghafal Alquran menutup telinga itu dengan kacamata positif.

Dari dua kacamata yang saling berlawanan dalam membaca fenomena tersebut, dapat kita lihat bagaimana pikiran manusia bekerja. Data pada 1986, penelitian fakultas kedokteran di San Francisco menyebutkan bahwa lebih dari 80 persen pikiran manusia bersifat negatif. Dengan perhitungan sederhana, 80 persen dari 60 ribu pikiran, setiap hari manusia memiliki 48 ribu pikiran negatif. Hal ini turut memengaruhi perasaan, perilaku, serta penyakit yang mendera jiwa dan raga dan keyakinannya.

Oleh karena itu, apa yang kelompok pertama anggap bahwa aksi menutup telinga para penghafal Alquran itu bentuk kelompok radikal, tidak toleran, dan sebagainya, sebenarnya hal ini merupakan hasil pengarahan pikiran sendiri dalam membaca fenomena tersebut. Sehingga apa yang dipikirkan sesuatu yang menurutnya berlebihan, tidak toleran, dan label lain semacamnya, maka otak akan mengarahkan-menghubungkan data pikiran sebelumnya (baca: kelompok berwatak keras) untuk kemudian mendukung pikiran negatif tersebut.

Hal ini sejalan dengan buku Aladdin Factor karya Jack Canfield dan Mark Viktor Hansen—sebagaimana yang dikutip oleh Dr Ibrahim Elfiky dalam bukunya Terapi Berpikir Positif—bahwa setiap hari manusia menghadapi lebih dari 60 ribu pikiran. Satu di antaranya yang dibutuhkan sejumlah besar pikiran ini adalah pengarahan. Pikiran, sebagaimana kehendak kita, jika kita arahkan pada sesuatu yang bernilai negatif maka besar kemungkinan yang akan keluar 60 ribu adalah negatif. Sebaliknya, jika pikiran diarahkan pada sesuatu hal yang bernilai positif, maka ruang pikiran kita akan jauh lebih jernih dan lebih bijak dalam menanggapi dan merespons sebuah fenomena.

Berdasarkan data ini dapat kita membaca dengan gamblang sebuah fenomena dengan bijak tanpa kemudian gampang melabeli liyan dengan kacamata negatif. Mengatakan bahwa para penghafal Alquran yang menutup telinga ketika mendengar musik bagian dari kelompok tidak toleran, garis keras, dan label lain semacamnya, tidaklah tepat. Kita perlu mengetahui duduk perkara dengan jelas dan pikiran jernih untuk menilai dan memberi komentar pada orang lain. Akan jauh lebih bijak jika mengajak masyarakat turut saling memahami duduk persoalan dan mengerti satu sama lain tanpa harus melarang orang lain mengikuti hasrat kita. Sehingga potensi mencibir golongan yang berbeda dengan kita akan jauh lebih terkendali.

Bagi penulis, fenomena penghafal Alquran menutup telinga ketika mendengar musik ini merupakan bentuk toleransi santri terhadap apa yang diyakini santri itu “kurang baik”, maka menutup telinga adalah salah satu jalan untuk tidak melarang orang lain mengikuti keyakinannya bahwa musik itu tidak baik. Sekalipun misalnya mereka menganggap bahwa musik itu haram atau mengganggu konsentrasinya, pada saat yang bersamaan mereka lebih memilih diam menutup telinga dan tidak melarang panitia memutar musik.

Seharusnya para penghafal Alquran itu layak mendapat apresiasi. Sebagai bukti bahwa inilah contoh bagaimana toleransi telah menjiwai dan mendarah daging kawanan santri penghafal Alquran itu. Seharusnya para warganet menanggapi fenomena ini dengan bijak. Dengan tidak gampang memaki atau melontarkan perkataan tidak baik, membaca sebuah fenomena yang menurutnya tidak sejalan dengan akal pikirannya.

Menutup telinga ketika mendengar musik adalah langkah tepat bagi seorang penghafal Alquran dalam menjaga dan merawat hafalannya. Konsekuensi kebalikannya adalah, jika para penghafal Alquran itu tidak menutup telinga ketika mendengar musik, maka konsentrasi proses menghafal Alquran pun dapat terganggu. Apalagi para penghafal Alquran itu masih—umur hafalannya—berusia dini. Ini tidaklah berarti bahwa mereka—para penghafal Alquran itu—adalah kaum Islam garis keras.

Begitulah Alquran menuntut para penghafal Alquran untuk selalu setia dan memintanya berdialog sepanjang waktu tanpa terpengaruh oleh hal lain dan tidak sibuk melarang orang lain (baca: panitia memutar musik) mengikuti hasrat keyakinannya. Para penghafal Alquran itu berupaya mencoba berpikir positif dalam merespons sesuatu yang tidak baik baginya.

Sebagai kesimpulan mendudukkan masalah dengan jernih tanpa mengaitkan satu hal dengan hal lainnya adalah satu cara menjadi manusia beradab dan berbudi luhur. Tanpa membaca fenomena dengan baik dan bijak—tidak menggunakan akal sehat—sepertinya kita butuh belajar kembali menjadi manusia seutuhnya.

 

*) Penulis adalah mahasiswa Prodi Mazawa UIN Khas Jember dan Alumnus Markaz Tahfidz Nasional (MTN) Pesantren Madinah Munawwarah (PMM) Semarang.

 

 

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca