Antara Growth dan Happiness

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Salah satu fitrah dasar kehidupan manusia adalah mendapatkan kebahagiaan hidup. Untuk mendapatkan kebahagiaannya manusia menggunakan berbagai macam cara, baik yang berdimensi material bahkan juga spiritual. Dalam dimensi material biasanya kebahagiaan diukur melalui ukuran-ukuran yang sifatnya ekonomis, tetapi dalam perspektif yang lebih mendalam penggunaan indikator yang sifatnya ekonomis tidak dapat memuaskan manusia. Karena model kebahagiaan material hanya menyentuh aspek fisik, dan tidak mampu memuaskan sisi psikis dan spiritual.

Dasar-dasar ideologis dari kebahagiaan menurut negara modern adalah keyakinan bahwa seseorang dapat dibuat lebih bahagia dengan memberikan kondisi kehidupan yang lebih baik (Veenhoven R, 1994). Lebih lanjut salah satu tokoh filsafat abad pertengahan, yaitu Aristippus, 435-356 SM, menjelaskan bahwa tujuan hidup adalah untuk memaksimalkan totalitas kesenangan. Kebahagiaan juga dianggap oleh banyak orang sebagai tujuan akhir dalam hidup dan memang pada kenyataannya setiap orang menginginkan kebahagiaan. Pencapaian kebahagiaan merupakan determinan terpenting dalam perilaku manusia.

 

Pada dimensi ilmu ekonomi upaya mendapatkan kebahagiaan kemudian bergeser dan dikaitkan dengan pendapatan perkapita, aspek penting untuk mendapatkan pendapatan perkapita diturunkan dari Gross Domestic Product (GDP) di bagi dengan jumlah penduduk. Pendapatan perkapita yang tinggi dianggap akan memberikan tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi pula.

Harus diakui ahli ekonomi tidak terlalu detail untuk mendefinisikan kebahagiaan. Bagi ilmu ekonomi kebahagiaan adalah sesuatu yang sulit didefinisikan tetapi dapat diukur. Ng (1997) mendefinisikan kebahagiaan sebagai welfare. Clark dan Oswald (1994) mendefinisikan kebahagiaan sebagai pleasure atau satisfaction. Easterlin (1995) tidak membedakan definisi dan arti kebahagiaan dengan subjective well-being, satisfaction, utility, welfare. Frey dan Stutzer (2002) mendefinisikan kebahagiaan sebagai subjective well-being yang dapat digunakan sebagai proksi bagi utilitas. Maka dari itu, ilmu ekonomi harus berbicara banyak tentang kebahagiaan individu. Jika memaksimalkan kebahagiaan adalah poin penting dalam kehidupan seseorang, maka seharusnya proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi harus memaksimalkan kebahagiaan masyarakat secara agregat (Jeremy Bentham, 1748–1832).

Selama satu dekade terakhir, para ekonom telah mencoba untuk memfokuskan kajian pada Economics of Happiness, yang juga dikenal sebagai salah satu pendekatan terhadap kesejahteraan (Subjective Well-Being). Dengan mengukur tingkat kebahagiaan, negara dapat terhindar dari “happiness traps”, di mana produk nasional bruto terus meningkat namun tingkat kebahagiaan masyarakat stagnan bahkan menurun (Beseiso, 2016).

 

Kebahagiaan tidak memiliki definisi yang berlaku secara umum. Menurut sosiologi, kebahagiaan tidak berbeda dengan life satisfaction (Veenhoven 1988). Dalam Veenhoven dirumuskan definisi kebahagiaan sebagai “over all appreciation of one’s life as a whole.” Definisi ini sesuai dengan definisi Jeremy Bentham tentang kebahagiaan yaitu “the sum of pleasure and pains.” Dalam hal ini kebahagiaan bermakna sama dengan life satisfaction dan subjective well-being. Veenhoven menambahkan dua komponen kebahagiaan yaitu afektif dan kognitif. Life satisfaction adalah tingkat seseorang dalam menilai seluruh kualitas hidupnya sebagai suatu hal yang positif atau menyenangkan. Dalam Psikologi kebahagiaan menggunakan konsep subjective well-being yaitu suatu keadaan well-being secara umum dalam durasi yang panjang meliputi komponen afektif dan kognitif. Subjective well-being terdiri atas happiness dan life satisfaction. Subjective well-being memiliki sinonim dengan being happy sedangkan happiness memiliki sinonim dengan feeling happy.

Kahneman (1999) menyatakan bahwa well-being terdiri atas pleasure atau happiness. Well-being dan hedonisme adalah ekuivalen sehingga aliran yang menganut paham ini disebut sebagai aliran hedonis. Amerika Serikat secara nyata menyatakan, The Pursuit of Happiness‟ sebagai hak yang abadi sejalan dengan kehidupan dan kebebasan. Bhutan adalah negara pertama di dunia yang mengadopsi Gross National Happiness Indikator. Gross National Happiness meliputi 9 domain, yaitu kesehatan psikologis, kesehatan, pendidikan, penggunaan waktu, keanekaragaman dan ketahanan budaya, pemerintahan yang baik, vitalitas masyarakat, keanekaragaman dan ketahanan ekologis, dan standar hidup.

Pemerintah melalui Badan Pusat Statistik (BPS) juga mengukur indeks kebahagiaan di Indonesia melalui pendekatan terhadap 10 aspek yakni, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, pendapatan rumah tangga, keharmonisan keluarga, ketersediaan waktu luang, hubungan sosial, kondisi rumah dan aset, keadaan lingkungan, dan kondisi keamanan. Selain itu BPS pada tahun 2017 mulai menyajikan data publikasi terkait tingkat kebahagiaan masyarakat Indonesia. Di Indonesia, pengukuran indeks kebahagiaan mulai dilakukan sejak tahun 2013 dengan mengadopsi berbagai referensi yang berkembang di luar negeri.

Indeks kebahagiaan merupakan indeks komposit yang disusun oleh tingkat kepuasan terhadap 10 aspek kehidupan yang esensial. Kesepuluh aspek tersebut secara substansi dan bersama-sama merefleksikan tingkat kebahagiaan yang meliputi kepuasan terhadap: (1) kesehatan, (2) pendidikan, (3) pekerjaan, (4) pendapatan rumah tangga, (5) keharmonisan keluarga, (6) ketersediaan waktu luang, (7) hubungan sosial, (8) kondisi rumah dan aset, (9) keadaan lingkungan, dan (10) kondisi keamanan. Pada konteks Indonesia, pengukuran Indeks Kebahagiaan baru dilaksanakan dua kali, yaitu tahun 2013 dan 2014 (hasil tahun 2019 dan 2020 belum tersedia). Secara umum terjadi peningkatan tingkat kebahagiaan masyarakat yang terlihat dari peningkatan nilai Indeks Kebahagiaan dari 65,11 di tahun 2013 menjadi 68,28 di tahun 2014 atau meningkat sebesar 3,17 poin. Tingkat kepuasan masyarakat terhadap semua aspek kehidupan di tahun 2014 dibanding tahun 2013 mengalami peningkatan, paling tinggi pada pendapatan rumah tangga (5,06 poin) dan terendah pada aspek keharmonisan keluarga (hanya 0,78 poin).

Apabila dikaitkan dengan prioritas kebijakan, tentu pemerintah harus memiliki pilihan kebijakan yang akan diterapkan pada kondisi masyarakat yang berbeda. Pembangunan ekonomi di daerah perdesaan dan daerah tertinggal perlu difokuskan pada upaya peningkatan pendapatan masyarakat, seperti penyediaan infrastruktur yang memadai, lapangan pekerjaan yang mampu menyerap sumberdaya manusia lokal serta peningkatan potensi kewirausahaan daerah. Prioritas pembangunan ini bukan berarti mengabaikan aspek-aspek kenyamanan, keamanan, keharmonisan dan berbagai ukuran kualitatif lain yang lebih diprioritaskan pada masyarakat berpenghasilan menengah dan atas. Dalam konteks bernegara, maka peran pemerintah perlu lebih memprioritaskan pembangunan kepada masyarakat yang masih rendah kesejahteraannya. Meningkatnya kesejahteraan dari sisi materi dan pemenuhan berbagai kebutuhan pokok masyarakat diyakini akan meningkatkan kebahagiaan yang dirasakan, sebagai sebuah ukuran baru keberhasilan pembangunan ekonomi.

 

Ukuran yang memasukkan indikator psikologi adalah happiness indicators, Gallup- Healthways Well-being Index dan Happy Life Years Index. Ukuran pelengkap GDP adalah Millennium Development Goals (MDGs) dan Sustainable Development Indicators. Satu indeks kesejahteraan yang saat ini sedang menjadi perhatian pengambil kebijakan adalah ini adalah indeks kebahagiaan (happiness index). Pada tahun 2011, Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengawali penggunaan indeks ini dan kemudian meluas ke Inggris, Perancis, Australia, Malaysia dan Thailand. Berdasarkan laporan World Happiness Report diantara beberapa negara ASEAN posisi Indonesia berkisar pada posisi 73-75 dengan tren meningkat seperti halnya negara ASEAN lainnya kecuali Malaysia di antara 156 negara di dunia. New Economic Foundation (NEF) mempublikasikan Happy Planet Index atas 156 negara di dunia dengan menggunakan indikator harapan hidup, experienced well-being dan ecological footprint. Indeks ini menunjukkan efisiensi dalam penggunaan sumber daya dan tidak secara penuh menggambarkan kesejahteraan dalam suatu negara.

Tulisan ini ditutup dengan mengutip pendapat al-Ghazali yang menggambar secara terang bahwa kesejahteraan dan kebahagiaan akan tercapai apabila berbagai kebutuhan materi dan rohani terpenuhi secara seimbang. Oleh karena itulah kebijakan pembangunan nasional harus selalu diorientasikan tercapainya ekulibrium materi dan rohani atau keseimbangan antara material dan immaterial sehingga akan terwujud kebahagiaan hakiki manusia pada peradaban modern.

 

*) Penulis adalah Dosen Ekonomi Pembangunan FEB UNEJ dan Aktifis Kehutanan Sosial