30.5 C
Jember
Thursday, 1 June 2023

Menggagas Sekolah Peduli Sampah

Mobile_AP_Rectangle 1

Sekolah mestilah ikut berperan menyelesaikan persoalan di masyarakat. Seperti persoalan sampah yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi masyarakat Jember. Dari 1.700 ton sampah tiap harinya, yang berhasil dikelola Pemkab Jember hanya sekitar 350 ton sampah (merdeka.com, 16/12/2022). Maka dari itu, sekolah bisa terlibat riset kecil-kecilan dalam pengelolaan sampah. Tentunya dengan kolaborasi siswa, guru, orangtua, serta masyarakat. Lantas bagaimana mewujudkannya?

Kita tahu di negara kita masalah sampah belum tertangani dengan baik. Bila dicermati, ada beberapa sebabnya. Di antaranya, kurangnya kesadaran masyarakat ikut menjaga kebersihan dengan membuang sampah di tempat sampah. Banyak ditemukan masyarakat membuang sampah di sungai ataupun di lahan kosong. Ini kan tindakan yang tidak terpuji.  Ingin rumahnya bersih, tapi malah membuat kotor tempat lain.

Pengelolaan sampah masih menggunakan paradigma lama, yaitu kumpul, angkut, buang sehingga menyebabkan timbunan sampah di Tempat Pengolahan Akhir (TPA). Sedangkan TPA di Indonesia masih terbatas jumlahnya jika dibandingkan dengan rasio populasi manusia di Indonesia. Lalu, sebagian besar penanganan di TPA masih menggunakan metode open dumping dan landfill. Namun ada juga yang sudah menerapkan metode pembuatan kompos, pembakaran, daur ulang, dan pemilahan, tapi jumlahnya masih sedikit karena keterbatasan sumber daya dan dana.

Mobile_AP_Rectangle 2

Selan itu, kurangnya sosialisasi dan pendidikan tentang sampah di tingkat RT. Kalaupun ada sosialisasi, akan tetapi kurang maksimal jika tidak ada pendampingan. Ini yang kemudian masyarakat belum terampil untuk memilah sampah organik, anorganik, dan sampah B3. Masyarakat masih banyak yang mencampur sampah tersebut sehingga menyulitkan petugas lapangan yang ada di TPA untuk memilah sampah.

Pengelolaan sampah tidak berorientasi dari hulu atau lingkup rumah tangga. Sehingga reduksi volume sampah rumah tangga tidak berjalan optimal. Berdasarkan Grafik Komposisi Sampah Tahun 2022 yang telah dihimpun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sampah rumah tangga menyumbang persentase paling banyak yaitu sebesar 37,6 persen atau hampir dari setengah jumlah sampah di Indonesia.

Selama ini pemerintah belum mampu mengakomodasi proses pengelolaan sampah dari lingkup rumah tangga. Keterbatasan sarana prasarana pendukung dan sumberdaya manusia serta anggaran selalu menjadi hambatan. Selain itu, tidak ada roadmap yang jelas terkait pengelolaannya. Dokumen rencana persampahan pemerintah masih fokus pada aspek teknis. Belum menyentuh gerakan 3R (reuse, reduce dan recycle). Bank Sampah sempat menggema beberapa tahun tetapi kemudian meredup karena tidak ada tindak lanjut yang riil. Tanpa adanya roadmap maka dampak dari kegiatan 3R dan bank sampah hanya parsial.

- Advertisement -

Sekolah mestilah ikut berperan menyelesaikan persoalan di masyarakat. Seperti persoalan sampah yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi masyarakat Jember. Dari 1.700 ton sampah tiap harinya, yang berhasil dikelola Pemkab Jember hanya sekitar 350 ton sampah (merdeka.com, 16/12/2022). Maka dari itu, sekolah bisa terlibat riset kecil-kecilan dalam pengelolaan sampah. Tentunya dengan kolaborasi siswa, guru, orangtua, serta masyarakat. Lantas bagaimana mewujudkannya?

Kita tahu di negara kita masalah sampah belum tertangani dengan baik. Bila dicermati, ada beberapa sebabnya. Di antaranya, kurangnya kesadaran masyarakat ikut menjaga kebersihan dengan membuang sampah di tempat sampah. Banyak ditemukan masyarakat membuang sampah di sungai ataupun di lahan kosong. Ini kan tindakan yang tidak terpuji.  Ingin rumahnya bersih, tapi malah membuat kotor tempat lain.

Pengelolaan sampah masih menggunakan paradigma lama, yaitu kumpul, angkut, buang sehingga menyebabkan timbunan sampah di Tempat Pengolahan Akhir (TPA). Sedangkan TPA di Indonesia masih terbatas jumlahnya jika dibandingkan dengan rasio populasi manusia di Indonesia. Lalu, sebagian besar penanganan di TPA masih menggunakan metode open dumping dan landfill. Namun ada juga yang sudah menerapkan metode pembuatan kompos, pembakaran, daur ulang, dan pemilahan, tapi jumlahnya masih sedikit karena keterbatasan sumber daya dan dana.

Selan itu, kurangnya sosialisasi dan pendidikan tentang sampah di tingkat RT. Kalaupun ada sosialisasi, akan tetapi kurang maksimal jika tidak ada pendampingan. Ini yang kemudian masyarakat belum terampil untuk memilah sampah organik, anorganik, dan sampah B3. Masyarakat masih banyak yang mencampur sampah tersebut sehingga menyulitkan petugas lapangan yang ada di TPA untuk memilah sampah.

Pengelolaan sampah tidak berorientasi dari hulu atau lingkup rumah tangga. Sehingga reduksi volume sampah rumah tangga tidak berjalan optimal. Berdasarkan Grafik Komposisi Sampah Tahun 2022 yang telah dihimpun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sampah rumah tangga menyumbang persentase paling banyak yaitu sebesar 37,6 persen atau hampir dari setengah jumlah sampah di Indonesia.

Selama ini pemerintah belum mampu mengakomodasi proses pengelolaan sampah dari lingkup rumah tangga. Keterbatasan sarana prasarana pendukung dan sumberdaya manusia serta anggaran selalu menjadi hambatan. Selain itu, tidak ada roadmap yang jelas terkait pengelolaannya. Dokumen rencana persampahan pemerintah masih fokus pada aspek teknis. Belum menyentuh gerakan 3R (reuse, reduce dan recycle). Bank Sampah sempat menggema beberapa tahun tetapi kemudian meredup karena tidak ada tindak lanjut yang riil. Tanpa adanya roadmap maka dampak dari kegiatan 3R dan bank sampah hanya parsial.

Sekolah mestilah ikut berperan menyelesaikan persoalan di masyarakat. Seperti persoalan sampah yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi masyarakat Jember. Dari 1.700 ton sampah tiap harinya, yang berhasil dikelola Pemkab Jember hanya sekitar 350 ton sampah (merdeka.com, 16/12/2022). Maka dari itu, sekolah bisa terlibat riset kecil-kecilan dalam pengelolaan sampah. Tentunya dengan kolaborasi siswa, guru, orangtua, serta masyarakat. Lantas bagaimana mewujudkannya?

Kita tahu di negara kita masalah sampah belum tertangani dengan baik. Bila dicermati, ada beberapa sebabnya. Di antaranya, kurangnya kesadaran masyarakat ikut menjaga kebersihan dengan membuang sampah di tempat sampah. Banyak ditemukan masyarakat membuang sampah di sungai ataupun di lahan kosong. Ini kan tindakan yang tidak terpuji.  Ingin rumahnya bersih, tapi malah membuat kotor tempat lain.

Pengelolaan sampah masih menggunakan paradigma lama, yaitu kumpul, angkut, buang sehingga menyebabkan timbunan sampah di Tempat Pengolahan Akhir (TPA). Sedangkan TPA di Indonesia masih terbatas jumlahnya jika dibandingkan dengan rasio populasi manusia di Indonesia. Lalu, sebagian besar penanganan di TPA masih menggunakan metode open dumping dan landfill. Namun ada juga yang sudah menerapkan metode pembuatan kompos, pembakaran, daur ulang, dan pemilahan, tapi jumlahnya masih sedikit karena keterbatasan sumber daya dan dana.

Selan itu, kurangnya sosialisasi dan pendidikan tentang sampah di tingkat RT. Kalaupun ada sosialisasi, akan tetapi kurang maksimal jika tidak ada pendampingan. Ini yang kemudian masyarakat belum terampil untuk memilah sampah organik, anorganik, dan sampah B3. Masyarakat masih banyak yang mencampur sampah tersebut sehingga menyulitkan petugas lapangan yang ada di TPA untuk memilah sampah.

Pengelolaan sampah tidak berorientasi dari hulu atau lingkup rumah tangga. Sehingga reduksi volume sampah rumah tangga tidak berjalan optimal. Berdasarkan Grafik Komposisi Sampah Tahun 2022 yang telah dihimpun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sampah rumah tangga menyumbang persentase paling banyak yaitu sebesar 37,6 persen atau hampir dari setengah jumlah sampah di Indonesia.

Selama ini pemerintah belum mampu mengakomodasi proses pengelolaan sampah dari lingkup rumah tangga. Keterbatasan sarana prasarana pendukung dan sumberdaya manusia serta anggaran selalu menjadi hambatan. Selain itu, tidak ada roadmap yang jelas terkait pengelolaannya. Dokumen rencana persampahan pemerintah masih fokus pada aspek teknis. Belum menyentuh gerakan 3R (reuse, reduce dan recycle). Bank Sampah sempat menggema beberapa tahun tetapi kemudian meredup karena tidak ada tindak lanjut yang riil. Tanpa adanya roadmap maka dampak dari kegiatan 3R dan bank sampah hanya parsial.

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca