SWASEMBADA jagung di Indonesia mendapat ancaman serius dari hama yang belum pernah ada di Indonesia. Ulat Spodoptera frugiperda atau dikenal sebagai Ulat Grayak Jagung (UGJ) adalah hama yang sangat invasif dan destruktif. Kehadiran UGJ di Indonesia mulai terdeteksi sekitar bulan Maret 2019. Sampai pertengahan Juli 2019 hama ini dilaporkan sudah menyebar di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Kalimantan Barat. Beruntungnya, sampai saat ini belum ada laporan resmi tanaman jagung di Jawa Timur, khususnya di sekitar Jember yang terserang UGJ. Meskipun demikian seluruh pihak perlu waspada mengingat ngengat Spodoptera frugiperda mampu terbang sejauh 100 km hanya dalam satu malam.
Ulat grayak jagung berasal dari daerah tropis di sekitar Amerika Serikat sampai Argentina. Ulat ini dilaporkan dapat menyerang sekitar 80 spesies tanaman meliputi jagung, padi, tebu, kapas, kacang tanah, dan sayuran. Dari 80 inangnya, tanaman yang paling disukai ulat ini adalah jagung. Laporan dari Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat menyebutkan UGJ telah menyerang tanaman jagung di kabupaten tersebut dengan serangan yang berat. Berdasarkan pemantauan di Kabupaten Pasaman Barat, terdapat 2-10 ekor larva per tanaman jagung di daerah tersebut.
Serangan hama ini dapat menyebabkan kerugian yang besar bagi petani. Contoh, serangan UGJ di Afrika menyebabkan petani jagung di benua tersebut harus ikhlas kehilangan hasil panen antara 4 juta sampai 8 juta ton per tahun. Laporan dari Kementerian Pertanian bahkan menyebutkan kehilangan hasil akibat serangan UGJ pada tanaman jagung muda dapat mencapai 15-73 persen. Parahnya, jagung yang terserang akan menjadi lebih rentan terhadap kontaminasi aflatoksin. Aflatkosin merupakan racun yang diproduksi oleh jamur yang umumnya terdapat pada produk pasca-panen. Racun ini bersifat karsinogenik dan berbahaya bagi kesehatan manusia.
Fenomena ini perlu disikapi dengan serius. Daerah yang sudah terserang UGJ perlu melakukan pengendalian dengan cara-cara yang ekologis. Selanjutnya daerah yang masih steril perlu melakukan tindakan pencegahan dan pemantauan secara berkala. Bukan hanya soal produksi, serangan hama ini juga erat kaitannya dengan nilai tawar Indonesia sebagai salah satu negara pengekspor jagung. Ekspor jagung dari Indonesia ke negara-negara pengimpor yang belum terdampak UGJ akan lebih sulit dan diperketat.
Keganasan ulat ini sudah tidak diragukan lagi. Seluruh bagian jagung mulai dari akar, daun, bunga jantan, bunga betina, bahkan sampai tongkolnya dapat hancur karena serangan UGJ. Berdasarkan fase hidupnya, larva instar 1 UGJ dilaporkan dapat memakan jaringan daun hingga menyebabkan lapisan epidermis transparan. Pada tahap selanjutnya, larva instar 2-3 bahkan mampu membuat lubang gerekan pada daun dan memakan daun dari tepi hingga bagian belakang. Saat UGJ telah mencapai larva instar akhir, hama ini dapat memakan bagian daun dan batang hingga hanya menyisakan tulangnya saja.
Ulat grayak jagung cukup mudah dikenali di lapangan. Ciri khasnya adalah larvanya berkumpul secara massal. Larva instar akhir dicirikan dengan adanya tiga garis kuning di bagian belakang, diikuti dengan garis hitam dan kuning di samping. Selanjutnya, terdapat empat titik hitam membentuk persegi di segmen kedua dari segmen terakhir. Setiap titik hitam memiliki rambut pendek. Ciri khas selanjutnya adalah kepala ulat ini berwarna gelap dan terdapat bentuk Y terbalik berwarna terang di bagian depan kepala. Ciri-ciri ini perlu dipahami oleh petani, pemantau OPT, praktisi, serta akademisi.
Hama ini sangat susah dikendalikan dan dibatasi ruang geraknya, mengingat mereka adalah penerbang yang tangguh dan mampu bereproduksi dengan cepat dan banyak. Meskipun begitu, upaya-upaya untuk mengurangi resiko serangan UGJ dapat diterapkan oleh petani. Contoh upaya pencegahan yang dapat dilakukan adalah menanam secara serentak, melakukan rotasi tanam, melakukan pemupukan berimbang, dan melakukan pemantauan secara rutin. Menanam secara serentak dapat mencegah hama ini memperoleh makan sepanjang musim. Petani dan seluruh pelaku budidaya jagung dan tanaman lainnya yang merupakan inang UGJ perlu berkolaborasi, bukan berkompetisi. Pola tanam serentak dapat menekan populasi karena hama akan kesulitan memperoleh makanan setelah musim tanam selesai.
Melakukan rotasi tanam menggunakan tanaman yang bukan inang UGJ juga dipercaya mampu menekan populasi hama ini. Selain itu rotasi tanam juga sangat baik bagi kesuburan dan kesehatan tanah. Upaya lain yang dapat dilakukan adalah melakukan pemupukan secara berimbang. Tanaman perlu memperoleh unsur hara secara berimbang sepertihalnya manusia yang butuh makanan berimbang supaya kesehatanya terjaga. Kelebihan unsur nitrogen (N) pada saat pemupukan dapat menyebabkan jaringan tanaman mengandung lebih banyak air, menjadi lunak, dan akhirnya lebih disukai oleh hama. Setelah semua upaya pencegahan dilakukan, pemantauan perlu dilakukan.
Pemantauan dapat dilakukan dua kali dalam satu minggu jika usia tanaman masih muda, atau satu minggu sampai 15 hari sekali jika tanaman sudah cukup tua. Proses pemantauan dapat dilakukan dengan mengelilingi kebun membentuk pola huruf W. Tanaman pada jalan yang dilalui diperiksa, jika terdapat gejala serangan atau larva UGJ maka perlu dilakukan tindakan pengendalian.
Solusi praktis yang dapat dilakukan untuk mengendalikan ulat ini adalah menaburkan abu, pasir, atau serbuk gergaji pada tanaman. Bahan-bahan tersebut dapat menyebabkan larva UGJ menjadi kering dan tidak dapat berkembang. Bahan lainnya yang bersifat sangat basa seperti kapur, garam, dan sabun juga memungkinkan untuk dimanfaatkan, asal dalam dosis dan konsentrasi yang tepat. Solusi lainnya adalah mengumpulkan larva UGJ yang mati karena serangan entomopatogen seperti bakteri, jamur, virus, atau nematoda. Larva tersebut kemudian digerus dan dilarutkan ke dalam air untuk kemudian disaring. Air hasil saringannya dapat digunakan untuk menyemprot larva yang masih hidup. Selain langkah di atas, penggunaan biopestisida juga dapat dilakukan.
Swasembada jagung adalah pencapaian besar yang harus kita jaga bersama. Pencegahan, pemantauan, dan pengendalian organisme penganggu tanaman jagung perlu terus dilakukan. Hadirnya hama ulat grayak jagung di Indonesia perlu mendapat perhatian dari banyak kalangan supaya hama ini tidak menginvasi daerah yang masih steril seperti Jember dan daerah-daerah di sekitarnya.
*) Penulis adalah dosen Program Studi Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Jember.