Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak seluruh gugatan tim hukum Badan Pemenangan Hukum Nasional Prabowo-Sandi terkait adanya dugaan kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif terhadap perselisihan hasil pemilihan umum mengakhiri serangkaian kontestasi Pilpres 2019 dengan kemenangan untuk pihak kubu Jokowi-Ma’ruf Amin.
Realitasnya, polemik seputar Pilpres tidak berhenti sampai di situ. Kini publik kembali disuguhkan dengan perbincangan hangat berupa rekonsiliasi dan isu perebutan kursi kekuasaan para elit politik. Bahkan salah satu acara siaran stasiun televisi, seperti forum Indonesia Lawyers Club (ILC) yang selalu eksis dan intens dalam menyikapi perkembangan isu-isu menarik di publik ini tak henti-hentinya menganalisis, membahas, dan mendiskusikan problem tersebut dengan menghadirkan aktor-aktor yang turut terlibat dan berpengaruh di dalamnya. Sungguh pertunjukan menarik yang menyedot animo publik untuk terus mengikutinya.
Yang menjadi titik permasalahannya adalah, bagaimana seharusnya pihak publik memposisikan diri untuk menyikapi fenomena berkepanjangan ini? Haruskah pihak publik (yang saya maksud adalah rakyat) turut terbelalak mata berpijak pada polemik semacam ini atau justru membiarkan saja, acuh tak acuh alias bersikap bodoh amat. Rasanya, pilihan kedua atau bersikap tidak peduli kurang tepat untuk dijadikan sebagai solusi jalan keluarnya. Oleh karenanya dalam hal ini, saya mencoba untuk menawarkan beberapa inisiatif terkait di mana dan bagaimana seharusnya kita mempijakkan kaki dan memposisikan diri.
Pertama, sebagai warga negara yang baik, tentunya kita harus turut berpartisipasi aktif dan ikut andil dalam menyukseskan semua agenda ataupun kegiatan kenegaraan sampai dengan tuntas, yang termasuk pada agenda di dalamnya ialah ajang kontestasi pemilihan Pilpres. Sebab tujuan utama ataupun prospek awal yang menjadi latar belakang diadakannya acara tersebut (khususnya Pilpres) adalah untuk memilih wakil rakyat yang paling berkompeten untuk bisa memimpin sekaligus menerima segala bentuk aspirasi dan keluhan dari rakyat selama lima tahun kepemimpinannya. Oleh sebab itu, sangat keliru kiranya bila ada seseorang yang enggan menggunakan hak privasinya untuk memilih dan dipilih dalam ajang yang sangat menentukan keprogresifan dan nasib bangsa Indonesia kedepannya.
Alur sistem kepemimpinan di negara Indonesia ini sangat butuh terhadap peran dan sokongan rakyat di balik layar kaca. Lebih bersifat preskriptif lagi, kritik dan saran dari rakyat juga berpengaruh signifikan terhadap polarisasi kepemimpin para wakil rakyat (baik badan eksekutif, legislatif, ataupun yudikatif) yang duduk di meja parlementer. Dengan perihal itulah asas atau sistem demokrasi yang dianut oleh bangsa Indonesia ini akan berjalan secara sistematis sesuai alur dan aturan dari sistem yang berlaku.
Kedua, negara-negara yang menganut sistem demokrasi secara konkret dan gamblang memberikan ruang gerak yang bebas bagi warga negaranya untuk mengkritik kepemimpinan yang keluar dari lajur atau zona yang telah ditetapkan, seperti misalnya kepemimpinan yang dijalankan dengan sistem autokrasi, tiranis, ataupun despotis. Salah satu langkah antisipatif yang diambil untuk menseparasi praktek-praktek tersebut adalah dengan melegalkan demonstrasi. Sistem demokrasi ini juga mengajarkan kepada para penganutnya bahwa rakyat adalah prioritas di atas segala-galanya yang harus konsisten untuk diutamakan dari kepentingan-kepentingan lain. Akan tetapi ada satu hal penting yang harus digaris bawahi oleh kita bersama: jika sistem kepemimpinan yang dijalankan oleh pemimpin kita sesuai dan tidak menyalahi kaidah yang berlaku, maka sudah menjadi kewajiban bagi kita bersama untuk mentaati semua kegiatan, aturan, dan visi-misinya.
Ketiga, berbeda pilihan dalam dunia perpolitikan merupakan suatu hal lumrah yang tak perlu untuk dilebih-lebihkan apalagi sampai menjurus ke ranah perselisihan, pertentangan dan permusuhan antar pihak, tentu hal itu sangat tidak diperkenankan. Tak jarang kita temukan pihak yang berbeda pilihan calon dengan pihak yang lain terlibat adu argumentasi (kalau tidak mau disebut adu cekcok mulut, alias bacot) yang pada akhirnya berujung pada praktek persekusi dan kriminalisasi seperti pembunuhan. Sungguh tragis melihat realitas yang begitu sengkarut dan acak-acakan seperti ini, entah apa yang melatar belakangi mereka sampai harus terjangkit oleh virus penyakit kanker kronis stadium empat yang bernama politik ini.
Sebagai langkah akhir yang harus diambil oleh kita sebagai warga negara adalah menerima realitas yang terjadi, mau terpilih atau tidak, mau menang atau kalah, kita harus bersikap sportif untuk menyikapi hasil akhir dari serangkaian spektrum kontentasi perpolitikan. Bersikap sportif yang dimaksud di sini adalah merujuk pada persepsi yang diungkapkan oleh Agus Hadi Sudjiwo alias Sujiwo Tejo di forum ILC tvOne (2/7) bahwa sportif itu adalah menerima realitas atau kekalahan yang terjadi pada pihaknya, serta mengakui kemenangan atau keterpilihan pihak lawannya. Lebih lanjut Presiden Jancukers itu menginterpretasikan bahwa sportif merupakan sikap terbaik daripada legowo yang kita kenal pada umumnya, sebab logowo itu sendiri hanya mengakui kekalahan pihaknya tanpa disertai oleh pengakuan kemenangan pihak lawannya, dengan perihal itulah marilah kita bersama-sama sportif untuk menuju Indonesia yang adil dan makmur ke depannya.
Terlepas dari diskursus permasalahan di atas, sebagai rakyat kita juga menuntut pimpinan terpilih agar bisa merealisasikan segala janji-janji kampanyenya, jangan sampai janji yang telah dilontarkan tersebut hanya bertengger pada tataran idea saja, rakyat butuh bukti bukan janji, target dan prospek kerja harus nyata jangan sampai hanya bersemangat untuk mengkoarkan term kerja, kerja, dan kerja, rakyat butuh pemimpin yang tegas dan tangkas bukan malah bisa disetir dan diekspoitasi ke sana-sini, hukum harus ditegakkan secara egaliter dalam artian tidak tajam kebawah dan tumpul ke atas, begitupun dengan jabatan kabinet kerja jangan sampai dalam proses seleksinya malah condong pada sifat nepotisme. Mengutip argumentasi yang dilontarkan oleh Fadli Zon bahwa untuk apa orang berkuasa jika kekuasaannya itu justru semakin membuat rakyat menderita. Jangan sampai itu terjadi, kami percaya bahwa pemimpin kita yang baru akan bekerja semaksimal mungkin.
Oleh karenanya jika pemimpin dan rakyat sudah sinkron untuk mewujudkan cita-cita pendiri bangsa bukan hal yang nisbi kita bisa mewujudkan negara yang berkeadaban ke depannya, walhasil sebagai konklusi akhir dari problem-problem tersebut, marilah kita tanamkan dalam sanubari kita bahwa Nusantara ini bukan milik Presiden, atau para kaum elit politik, Indonesia ini adalah milik kita yang harus dirawat dan dijaga keutuhannya secara bersama-sama.
*) Penulis adalah mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan mahasantri Ma’had Darus-sunnah.