Mobile_AP_Rectangle 1
Akhir-akhir ini kita dihadapkan dalam sebuah realitas bahwa terdapat fenomena adanya praktik beragama yang semakin menjauh dari kata damai. Kita beragama, namun tidak bahagia. Dalam berbagai pemberitaan dan media sosial yang nampak dan bahkan mendominasi adalah saling tuduh, saling memfitnah, saling bidah, dan bahkan saling mengkafirkan. Bila suasana kebatinan kita dipenuhi saling dengki, maka praktik beragama akan tidak saling mengasihi dan menyayangi. Akan berkembang rasa gelisah dan galau, karena masing-masing mengembangkan rasa saling curiga. Antar organisasi keagamaan memiliki pemahaman bahwa hanya kelompoknya saja yang benar, sedangkan kelompok yang lain dianggap salah, bahkan kelompok lain ada yang dihukumi sesat. Dampaknya sudah dapat ditebak bahwa antar umat beragama akan berada dalam situasi ketegangan, dan bahkan tidak jarang akan berujung pada terjadinya konflik. Agama yang sudah tersekat dalam sebuah institusi, akan membawa dampak munculnya saling sikat dan sikut antar pemeluknya. Institusi tersebut penting tapi jangan sampai kehilangan roh keberagamaan, yaitu beragama dengan spirit rahmatan lil’alamiin.
Puasa merupakan momentum untuk mengembalikan spirit hidup yang mencerahkan. Puasa harus dimaknai sebagai upaya untuk menata hidup yang saling mendamaikan. Diutusnya Nabi Muhammad bertujuan mencerahkan masyarakat. Risalah Nabi dimaksudkan agar umat hijrah dari alam kegelapan (jahiliah) menuju kehidupan yang dipenuhi petunjuk Tuhan. Tuhan telah membekali para Nabi berupa kitab suci yang berfungsi sebagai pedoman (guidance) dalam berperilaku dalam kehidupan. Agama itu nur, sehingga bersifat terbuka dan membebaskan. Orang beragama harusnya hidupnya bahagia dan gembira karena selalu memperoleh pencerahan. Orang yang beragama akan ditandai dengan keimanan, ibadah dan berbuat kebaikan pada sesama, dan hal ini merupakan sesuatu yang mencerahkan. Orang beriman itu hanya percaya pada Tuhan, sedangkan orang kafir itu menyembah pada thaghut (setan, berhala) sehingga kehidupannya menjadi buram.
Orang beragama akan senantiasa membela kebenaran dan posisinya berada pada pihak yang benar. Orang beriman mampu membedakan antara perkara yang haq dengan perkara yang bathil. Selanjutnya orang beragama diharapkan mampu menyentuh aspek rohani yang paling dalam. Mengamalkan ajaran agama itu idealnya sampai dengan wilayah hati nurani, karena hati nurani itu tidak pernah salah. Hal ini perlu dikemukakan karena cara beragama kita baik secara individu maupun kolektif sudah mulai meninggalkan atau bahkan kehilangan roh hati nurani. Pada saat ini ada kecenderungan hati nurani kita sedang sakit. Kita masih selalu disibukkan dengan mencari-cari perbedaan, bukan menemukan kesamaan. Padahal agama dengan tegas dan jelas mengajarkan tentang pentingnya perdamaian. Perdamaian akan bisa diwujudkan bila dikembangkan sikap kasih sayang.
- Advertisement -
Akhir-akhir ini kita dihadapkan dalam sebuah realitas bahwa terdapat fenomena adanya praktik beragama yang semakin menjauh dari kata damai. Kita beragama, namun tidak bahagia. Dalam berbagai pemberitaan dan media sosial yang nampak dan bahkan mendominasi adalah saling tuduh, saling memfitnah, saling bidah, dan bahkan saling mengkafirkan. Bila suasana kebatinan kita dipenuhi saling dengki, maka praktik beragama akan tidak saling mengasihi dan menyayangi. Akan berkembang rasa gelisah dan galau, karena masing-masing mengembangkan rasa saling curiga. Antar organisasi keagamaan memiliki pemahaman bahwa hanya kelompoknya saja yang benar, sedangkan kelompok yang lain dianggap salah, bahkan kelompok lain ada yang dihukumi sesat. Dampaknya sudah dapat ditebak bahwa antar umat beragama akan berada dalam situasi ketegangan, dan bahkan tidak jarang akan berujung pada terjadinya konflik. Agama yang sudah tersekat dalam sebuah institusi, akan membawa dampak munculnya saling sikat dan sikut antar pemeluknya. Institusi tersebut penting tapi jangan sampai kehilangan roh keberagamaan, yaitu beragama dengan spirit rahmatan lil’alamiin.
Puasa merupakan momentum untuk mengembalikan spirit hidup yang mencerahkan. Puasa harus dimaknai sebagai upaya untuk menata hidup yang saling mendamaikan. Diutusnya Nabi Muhammad bertujuan mencerahkan masyarakat. Risalah Nabi dimaksudkan agar umat hijrah dari alam kegelapan (jahiliah) menuju kehidupan yang dipenuhi petunjuk Tuhan. Tuhan telah membekali para Nabi berupa kitab suci yang berfungsi sebagai pedoman (guidance) dalam berperilaku dalam kehidupan. Agama itu nur, sehingga bersifat terbuka dan membebaskan. Orang beragama harusnya hidupnya bahagia dan gembira karena selalu memperoleh pencerahan. Orang yang beragama akan ditandai dengan keimanan, ibadah dan berbuat kebaikan pada sesama, dan hal ini merupakan sesuatu yang mencerahkan. Orang beriman itu hanya percaya pada Tuhan, sedangkan orang kafir itu menyembah pada thaghut (setan, berhala) sehingga kehidupannya menjadi buram.
Orang beragama akan senantiasa membela kebenaran dan posisinya berada pada pihak yang benar. Orang beriman mampu membedakan antara perkara yang haq dengan perkara yang bathil. Selanjutnya orang beragama diharapkan mampu menyentuh aspek rohani yang paling dalam. Mengamalkan ajaran agama itu idealnya sampai dengan wilayah hati nurani, karena hati nurani itu tidak pernah salah. Hal ini perlu dikemukakan karena cara beragama kita baik secara individu maupun kolektif sudah mulai meninggalkan atau bahkan kehilangan roh hati nurani. Pada saat ini ada kecenderungan hati nurani kita sedang sakit. Kita masih selalu disibukkan dengan mencari-cari perbedaan, bukan menemukan kesamaan. Padahal agama dengan tegas dan jelas mengajarkan tentang pentingnya perdamaian. Perdamaian akan bisa diwujudkan bila dikembangkan sikap kasih sayang.
Akhir-akhir ini kita dihadapkan dalam sebuah realitas bahwa terdapat fenomena adanya praktik beragama yang semakin menjauh dari kata damai. Kita beragama, namun tidak bahagia. Dalam berbagai pemberitaan dan media sosial yang nampak dan bahkan mendominasi adalah saling tuduh, saling memfitnah, saling bidah, dan bahkan saling mengkafirkan. Bila suasana kebatinan kita dipenuhi saling dengki, maka praktik beragama akan tidak saling mengasihi dan menyayangi. Akan berkembang rasa gelisah dan galau, karena masing-masing mengembangkan rasa saling curiga. Antar organisasi keagamaan memiliki pemahaman bahwa hanya kelompoknya saja yang benar, sedangkan kelompok yang lain dianggap salah, bahkan kelompok lain ada yang dihukumi sesat. Dampaknya sudah dapat ditebak bahwa antar umat beragama akan berada dalam situasi ketegangan, dan bahkan tidak jarang akan berujung pada terjadinya konflik. Agama yang sudah tersekat dalam sebuah institusi, akan membawa dampak munculnya saling sikat dan sikut antar pemeluknya. Institusi tersebut penting tapi jangan sampai kehilangan roh keberagamaan, yaitu beragama dengan spirit rahmatan lil’alamiin.
Puasa merupakan momentum untuk mengembalikan spirit hidup yang mencerahkan. Puasa harus dimaknai sebagai upaya untuk menata hidup yang saling mendamaikan. Diutusnya Nabi Muhammad bertujuan mencerahkan masyarakat. Risalah Nabi dimaksudkan agar umat hijrah dari alam kegelapan (jahiliah) menuju kehidupan yang dipenuhi petunjuk Tuhan. Tuhan telah membekali para Nabi berupa kitab suci yang berfungsi sebagai pedoman (guidance) dalam berperilaku dalam kehidupan. Agama itu nur, sehingga bersifat terbuka dan membebaskan. Orang beragama harusnya hidupnya bahagia dan gembira karena selalu memperoleh pencerahan. Orang yang beragama akan ditandai dengan keimanan, ibadah dan berbuat kebaikan pada sesama, dan hal ini merupakan sesuatu yang mencerahkan. Orang beriman itu hanya percaya pada Tuhan, sedangkan orang kafir itu menyembah pada thaghut (setan, berhala) sehingga kehidupannya menjadi buram.
Orang beragama akan senantiasa membela kebenaran dan posisinya berada pada pihak yang benar. Orang beriman mampu membedakan antara perkara yang haq dengan perkara yang bathil. Selanjutnya orang beragama diharapkan mampu menyentuh aspek rohani yang paling dalam. Mengamalkan ajaran agama itu idealnya sampai dengan wilayah hati nurani, karena hati nurani itu tidak pernah salah. Hal ini perlu dikemukakan karena cara beragama kita baik secara individu maupun kolektif sudah mulai meninggalkan atau bahkan kehilangan roh hati nurani. Pada saat ini ada kecenderungan hati nurani kita sedang sakit. Kita masih selalu disibukkan dengan mencari-cari perbedaan, bukan menemukan kesamaan. Padahal agama dengan tegas dan jelas mengajarkan tentang pentingnya perdamaian. Perdamaian akan bisa diwujudkan bila dikembangkan sikap kasih sayang.