Sekitar 3 bulan ini kita dibuat kalang kabut oleh yang namanya minyak goreng. Siapa yang tidak kenal dengan minyak goreng? Masyarakat lapisan bawah hingga lapisan atas pasti kenal atau tahu dengan minyak goreng. Minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi masyarakat dari sisi pangan. Minyak goreng bagi sektor rumah tangga konsumen adalah untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari. Minyak goreng bagi sektor produsen atau industri adalah menyediakan produk minyak goreng di pasar setiap saat untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Bagi pemerintah, ketersediaan minyak goreng setiap waktu adalah untuk menjamin stabilitas perekonomian di sektor pangan dengan harga yang wajar sekarang maupun masa datang. Maka ketika terjadi kelangkaan minyak goreng di masyarakat, semua menjadi ribut, semua resah dan gelisah. Ibu-ibu rumah tangga khususnya, khawatir tidak bisa menggoreng tempe, tahu, telor, ikan, dan lainnya untuk dihidangkan sebagai lauk pauk pada saat makan bersama keluarga akibat tidak memiliki minyak goreng.
Oleh sebab itu, saya bisa memahami ketika banyak ibu-ibu rumah tangga di sejumlah daerah mengantre untuk membeli/mendapatkan minyak goreng di super market, toko-toko, ataupun di pasar tradisional. Meskipun antre berjam-jam tidak menyurutkan tekad ibu-ibu untuk mendapatkan minyak goreng bahkan sampai berdesakan sehingga melupakan protokol kesehatan. Diberitakan di TV, ada seorang ibu sampai pingsan karena tidak kuat lagi mengantre demi minyak goreng, ada seorang ibu meninggal dunia ketika antre untuk mendapatkan minyak goreng, ada sebagian kecil masyarakat di Nusa Tenggara Barat menggunakan bahan mentah buah kelapa untuk membuat minyak goreng (umumnya bahan baku minyak goreng adalah kelapa sawit). Antrean–terutama dari ibu-ibu rumah tangga–akan terus terjadi selama minyak goreng langka. Kelangkaan minyak goreng di pasar akan memicu perilaku baru dari sektor rumah tangga konsumen. Ibu-ibu rumah tangga bisa saja berupaya menstok minyak goreng melebih kebutuhan riil sehari-hari seperti di masa normal untuk menghindari kemungkinan kelangkaan minyak goreng di pasar di hari-hari mendatang.
Sektor rumah tangga konsumen bisa juga berpikir bulan depan adalah bulan puasa (Ramadan) sehingga perlu persediaan bahan pangan (minyak goreng) yang lebih banyak. Jika dua hal tersebut terlintas di pikiran sektor rumah tangga konsumen maka sektor tersebut akan
menumpuk persediaan minyak goreng lebih banyak lagi. Itulah perilaku baru yang saya maksudkan. Maka patut diduga berapa pun minyak goreng yang digelontorkan di pasar akan cepat terserap habis oleh sektor rumah tangga konsumen meskipun harganya naik.
Dalam perspektif bisnis, dapat dikatakan masyarakat (baca: rumah tangga konsumen) telah terperangkap ke dalam strategi bisnis para “aktor bisnis” minyak goreng atas fenomena kelangkaan minyak goreng. Esensi bisnis sesungguhnya adalah menciptakan nilai tambah (value added). Nilai tambah tersebut bisa berupa keuntungan finansial maupun nonfinansial (misal citra atau reputasi positif). Apa pun aktivitas yang dapat menciptakan nilai tambah disebut bisnis.
Oleh sebab itu, cakupan bisnis sangat luas, misalnya kegiatan mengolah bahan baku menjadi barang jadi, beli barang dari satu tempat lalu di jual di tempat lainnya, aktivitas-aktivitas jasa (konsultan hukum, konsultan bisnis, konsultan kesehatan, konsultan pajak, dll), menimbun barang untuk kemudian dilepas di pasar dengan harapan harga naik. Meskipun demikian, yang namanya etika bisnis harus tetap diperhatikan di dalam menjalani aktivitas bisnis, termasuk bisnis minyak goreng. Menahan atau menimbun minyak goreng yang telah menyebabkan kelangkaan minyak goreng di pasar, jelas tujuannya meraih keuntungan finansial tinggi, namun itu bertentangan dengan etika bisnis. Prinsip etika bisnis sejatinya yang harus diterapkan oleh aktor atau pelaku bisnis adalah tidak merugikan, tidak membuat derita atau sengsara masyarakat serta menjaga kelestarian lingkungan alam.
Kelangkaan minyak goreng telah secara nyata mengoyak hati nurani, sengsara masyarakat, bahkan tidak berlebihan bila dikatakan membuat panik pemerintah. Maka sudah semestinya pemerintah bertindak cepat mengurai rantai nilai bisnis minyak goreng untuk mengetahui aktor atau spekulan yang bertanggung jawab atas kelangkaan minyak goreng. Penyelidikan bisa dilakukan pada semua aktor di rantai nilai bisnis minyak goreng yakni perusahaan perkebunan kelapa sawit, perusahaan minyak goreng, pedagang besar, pedagang kecil atau eceran. Salah satu tujuan penyelidikan tersebut adalah memastikan jangan sampai ada persekutuan jahat dalam bisnis. Kasus kelangkaan minyak goreng harus menjadi pelajaran yang bermakna bagi pelaku bisnis apa pun bahwa etika bisnis harus dijalankan. Siapa pun yang melanggar etika bisnis harus dimintai pertanggungjawaban tidak terkecuali pelaku bisnis minyak goreng yang telah membuat kepanikan semua pihak.
Penulis adalah Dosen Prodi Administrasi Bisnis dan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Jember