JEMBER, RADARJEMBER.ID – SMK Membangun Desa merupakan program Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai pendorong kuat kebijakan Revitalisasi SMK. Pada dasarnya, kebijakan SMK Membangun Desa tersebut diharapkan sebagai wadah implementasi kebijakan dua program utama sebelumnya yang dicanangkan oleh Direktorat SMK, yaitu link and match antara SMK dengan dunia industri, serta pengembangan sumber daya manusia (SDM) SMK. Langkah cerdas tersebut tentu saja sebagai strategi untuk memutus narasi bahwa SMK sebagai penyumbang pengangguran terbesar di Indonesia.
Konsep link and match sesuai dengan pendapat Schelten (1998) bahwa pendidikan kejuruan diselenggarakan di dua tempat, yaitu sekolah dan industri. Teori tersebut dapat diwujudkan dalam kegiatan-kegiatan seperti: (1) sinkronisasi kurikulum secara terus menerus antara SMK dengan iduka, (2) penguatan kompetensi guru, (3) komitmen mendatangkan guru tamu (guest lecture) dari iduka untuk mengajar dan mendidik di SMK, (4) pelaksanaan Praktik Kerja Lapangan (PKL) dengan pemilihan iduka yang sangat selektif, (4) pelaksanaan Uji Kompetensi Keahlian siswa sebagai parameter ketuntasan belajar (kenaikan kelas); dan (5) kepastian penempatan lulusan sesuai dengan kompetensi keahlian peserta didik.
Teori Schelten di atas sebenarnya telah diperkuat dengan begitu detail dalam sebuah rambu-rambu pelaksanaan kegiatan sekolah dalam rangka penjaminan mutu melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Adapun standar-standar yang menjadi dasar bagi penyelenggaraan pendidikan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tersebut yaitu: 1) standar isi, 2) standar proses, 3) standar kompetensi lulusan, 4) standar pendidik dan tenaga kependidikan, 5) standar sarana dan prasarana, 6) standar pengelolaan, 7) standar pembiayaan dan, 8) standar penilaian pendidikan. Dari masing-masing standar tersebut sebenarnya juga sudah dijelaskan secara detail indikator-indikator pencapaian mutu sekolah. Namun, sayangnya kebijakan tersebut pada implementasinya di sekolah masih banyak terabaikan dengan alasan klasik keterbatasan anggaran.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa sebenarnya merupakan pondasi dasar dalam upaya membangun desa secara otonom. Ditinjau dari perspektif politik lokal, desa termasuk daerah otonomi ketiga dari birokrasi pemerintah daerah, yakni pemerintah kabupaten, kecamatan, dan tingkah pemerintahan desa. Lahirnya UU Desa tersebut menjadi penanda adanya kemajuan demokrasi yang sudah sampai pada sistem pemerintahan terendah, yakni pemerintahan desa.
Menariknya, regulasi yang tertuang dalam UU Desa tersebut memiliki dua asas yakni, asas rekognisi dan asa subsidaritas. Kedua asas ini menjelaskan bahwa bagaimana proses pengelolaan Dana Desa (DD) dan bagaimana membangun desa tanpa ada intervensi dari pemerintah daerah, pemerintah provinsi, maupun pemerintah pusat. Dengan melihat peluang pengelolaan dana desa, maka sejatinya pembangunan desa tidak terlepas peran maupun partisipasi masyarakat setempat dan pemuda desa. Lantas siapakah pemuda desa tersebut? Pemuda desa tersebut tentu saja adalah anak-anak SMK dari desa tersebut dengan berbagai macam kompetensi keahlian yang dimilikinya.
Program SMK Membangun Desa jika dilihat dari perspektif implementasi kebijakan publik, lembaga pendidikan SMK merupakan subsistem kebijakan nasional pendidikan menengah dalam hal ini, sebagai pelaksana operasional terbawah. Selaras dengan apa yang dikemukakan Bromley (1989) bahwa hirarki kebijakan itu dari urutan teratas dimulai level kebijakan (policy level), level organisasional (organizational level) dan level operasional (operational level). Berdasarkan teori Bromley tersebut, lembaga pendidikan SMK untuk dapat mengimplementasikan kebijakan SMK Membangun Desa dengan baik. Pada tahapan implementasinya akan memengaruhi pola-pola interaksi (pattern of interactions) yang akan memengaruhi outcomes, yaitu hasil yang diinginkan dari kebijakan tersebut.
Membangun desa merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, sehingga peran SMK sangat dibutuhkan dalam pembangunan perdesaan, selain berdasarkan landasan keunggulan dan kearifan lokal, juga tidak bisa dilepaskan dari kaidah-kaidah dan teknologi global. Produk-produk perdesaan harus memiliki standar internasional, sehingga proses produksi yang dilakukan di perdesaan juga harus memenuhi standar global. Di sinilah salah satu peran SMK dalam pembangunan perdesaan, untuk turut serta melakukan percepatan perubahan pola pikir, penerapan teknologi modern dan tepat guna, dan prosedur kerja warga perdesaan.
Peran SMK dalam membangun desa menjadi penting untuk saat ini maupun di masa depan, mengingat sebagian besar SMK berada di kawasan pedesaan. SMK dapat berperan menjadi penggerak pembangunan pedesaan, dengan melakukan inovasi dan edukasi masyarakat desa menjadi masyarakat modern dan berkemajuan. Selain itu, lulusan SMK dapat menjadi angkatan kerja baru perdesaan yang mengusai kecakapan teknologi modern dan tepat guna, keterampilan kreativitas dan inovasi, pemikiran kritis dan pemecahan masalah kompleks, komunikasi, kolaborasi, dan kewirausahaan, sehingga lulusan SMK akan menjadi generasi baru perdesaan dalam mewujudkan pembangunan Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera.
Kebijakan SMK Membangun Desa yang diluncurkan oleh Direktorat SMK pada penghujung tahun 2020 tersebut tampaknya belum banyak dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan SMK di daerah. Pandemi Covid-19 yang berdampak langsung pada pembatasan pembelajaran tatap muka juga berdampak pada perubahan anggaran dana desa. Realitas tersebut tentunya menjadi kendala utama bagi lembaga pendidikan untuk melaksanakan implementasi kebijakan SMK Membangun Desa. Lantas bagaimana strategi sebuah lembaga pendidikan SMK Membangun Desa?
Pertama, Kolaborasi Pembelajaran SMK Dengan Desa, salah satu wujudnya adalah dengan siasat penyelenggaraan PKL dari iduka ke lokasi pedesaan. PKL di pedesaan antara lain dapat dilakukan di kantor desa, UMKM, atau di masyarakat dengan menggunakan model Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning), Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning), dan Pembelajaran Industri (Teaching Factory) atau Laboratorium Edukasi Tani (LARETA).
Kedua, Pengembangan kewirausahaan. Dalam penguatan peran SMK, pengembangan kewirausahaan dalam pembangunan pedesaan diperuntukkan bagi peserta didik, lulusan SMK, dan warga masyarakat. Tujuan pelatihan kewirausahaan bagi peserta didik dan lulusan adalah menyiapkan mereka untuk menjadi pengusaha pemula (start up), sedangkan kewirausahaan bagi warga desa, selain untuk menyiapkan mereka menjadi pengusaha pemula, dapat juga untuk peningkatan kualitas usaha yang telah berkembang di masyarakat. Pengembangan kewirausahaan dapat dilakukan melalui pendidikan, pelatihan, dan pendampingan oleh guru sesuai dengan kompetensi keahlian sekolah.
Ketiga, Inovasi tepat guna. SMK dituntut berperan aktif dalam melakukan modernisasi teknologi sesuai dengan kebutuhan masyarakat, sehingga kualitas produk yang dihasilkan sesuai dengan standar. Inovasi teknologi tepat guna berdasarkan kepada permasalahan nyata yang dihadapi masyarakat pedesaan. Tujuannya adalah untuk mempercepat pengembangan kegiatan usaha ekonomi produktif masyarakat, memperluas lapangan kerja, lapangan usaha, peningkatan produktivitas, dan mutu produksi. Inovasi teknologi tepat guna digunakan untuk kepentingan berbagai bidang di desa tersebut seperti; pengembangan olahan hasil pertanian dan perikanan, kuliner, mekanisasi pertanian, seni, dan pariwisata.
Keempat, Pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat adalah optimalisasi peran SMK terhadap pembangunan masyarakat dan sebaliknya optimalisasi peran masyarakat terhadap pengembangan pendidikan. Pemberdayaan masyarakat dalam SMK Membangun Desa lebih dititik beratkan pada peran SMK dalam pembangunan masyarakat. Bentuk pemberdayaan masyarakat desa yaitu: optimalisasi potensi desa dengan pemberdayaan masyarakat melalui pelatihan, pemanfaatan aset SMK untuk kegiatan masyarakat, pemberdayaan Karang Taruna, pengelolaan limbah rumah tangga, sosialisasi bahaya narkoba, pemberian bibit tanaman untuk masyarakat, pelatihan dan simulasi penanggulangan bencana.
*) Penulis adalah Guru SMK Negeri 1 Grujugan