21.2 C
Jember
Wednesday, 31 May 2023

Alun-Alun Lumajang Masa Belanda hingga Jepang

Mobile_AP_Rectangle 1

BONDOWOSO, RADARJEMBER.ID – Pada awal abad ke-19, Lumajang masih merupakan desa kecil yang kemudian menjadi ibu kota daerah administratif afdeeling (bagian keresidenan yang dipimpin oleh seorang asisten residen). Kediaman asisten residen dibangun di sisi utara (kini gedung Pemda), masjid di sisi barat, dan di sisi selatan terdapat kediaman kepala pribumi (sejak 1882 seorang wedana, sejak tahun 1886 seorang patih, dan sejak 1928 seorang bupati). Pohon beringin tidak hanya tumbuh di tengah, tetapi juga di bagian tepinya. Dari ukurannya, pohon beringin terlihat lebih tua daripada semua gedung di sekeliling alun-alun.

Karena keindahan pohon beringin tersebut, sehingga di abadikan menjadi kartu pos. Pada sisi belakang kartu pos dicetak penjelasan bahasa Belanda yang informatif, yang terjemahannya dalam bahasa Indonesia berbunyi: “Pohon Beringin tampak sangat menarik karena memberi kesan seakan-akan sekumpulan pohon menyatu menjadi satu batang yang sama. Pohon tumbuh ke atas dan ke bawah bolak balik, semakin besar hingga menjadi kubah dengan warna hijau yang sangat indah. Kemudian ranting-rantingnya menghujamkan tangkai-tangkainya ke dalam tanah, yang akan menjadi batang baru dan akhirnya menumbuhkan akar sulur sendiri. Pada akhirnya pohon beringin mencapai ukuran raksasa. (Raap, O.J, 2017).

Kedatangan belanda di Lumajang sekitar akhir abad XIX, yang ditandai dengan adanya bangunan-bangunan bercorak Belanda di sekitar alun-alun Lumajang yang menunjukkan adanya pergeseran kekuasaan dari penguasa tradisional ke penguasa kolonial (Balai Arkeologi Yogyakarta, 1995). Penguasa Belanda meng-kavel (membagi atas petak-petak) alun-alun untuk kepentingan pemerintahan ke depannya. Pada petak (kapling) bagian selatan, berupa “tennishaan” (lapangan tenis) untuk sarana rekreasi para pejabat Belanda dan tuan-tuan besar pemilik pabrik-pabrik seluruh wilayah Lumajang.

Mobile_AP_Rectangle 2

Lalu terdapat sepetak kapling yang digunakan untuk gedung “landraad” (kini ditempati oleh TK Dharma Wanita).Gedung itu berseberangan dengan “sccieteit” (gedung pertemuan) orang Belanda untuk menikmati malam minggu atau acara besar dengan berdansa berpasangan di ruang tengah dan di belakang diputar bioskop (sekarang menjadi gedung pertemuan dan kesenian).

Bagian timur alun-alun Lumajang, dimanfaatkan untuk lapangan sepak bola yang digunakan oleh klub-klub sepak bola (PS), antara lain: PS-Semeru, PS-Hizbul wathan, PS-RAS (Rukun Agama Sentose), PS-YOFA (Young Chinese Football Association). Para pelajar memanfaatkan tempat yang terluang untuk bermain kasti atau main korfbal (bola keranjang ala Belanda).Sedangkan di musim kemarau, banyak anak-anak bermain layang-layang di alun-alun ini.

Bagian utara sampai barat alun-alun Lumajang (kini menjadi lapangan upacara) digunakan sebagai tempat pertunjukan umum seperti pasar malam atau sirkus. Pernah juga diadakan pertunjukan Dewi Dja primadona dari sandiwara Dardanelle di Lumajang dan sekaligus kedatangan tersebut memberikan sumbangan mesin cetak kepada M. Sastrodikoro, “Untuk Suara Desa” yang mereka terbitkan.

Pada siang hari yang panas, pohon beringin di tengah-tengah alun-alun memberi naungan yang cukup sejuk. Di sore hari, anak-anak bermain gebag sodor, bermain lempar batu pipih, bermain adu gangsing, atau bermain kelereng di alun-alun. Terkadang juga para anggota P.O. (Pencak Organisasi) yang dipimpin Moh. Imam Sudja’i yang berlatih di bawah pohon beringin. Pada saat istirahat, diisi dengan gemblang rohani antara lain menebalkan rasa cinta kepada Tanah Air dan Bangsa yang saat itu mengalami penjajahan Belanda. Banyak masyarakat yang tertarik dengan kegiatan P.O. ini. Namun, apabila dirasa terdapat PID (Dinas Intel Polisi Belanda) diantara para penonton, maka Imam Sudja’i dengan segera membubarkan pelatihan itu dan dilanjutkan di tempat lain yang tidak bisa segera diketahui oleh petugas PID.

Pada periode 1942-1945 kedatangan bangsa Jepang menggantikan kekuasaan kolonial Belanda. Pada masa itu Jepang menanamkan pengaruh di berbagai bidang seperti pada bidang ekonomi, sosial, pendidikan, dan politik. Di bidang politik, Jepang secara intensif mengumpulkan dan mendidik kaum muda pribumi serta meresmikan berdirinya gerakan barisan pemuda (Seinendan) pada tahun 1943 (Balai Arkeologi Yogyakarta, 1995).

Sebelum perang dunia II pecah, di wilayah Hindia Belanda banyak warga Jepang bergerak di bidang bisnis sebagai tokowan atau pengusaha .Dalam menyambut perayaan hari ulang tahun Ratu Belanda Wilhelmina, warga Jepang di wilayah Lumajang mendirikan gapura tinggi khas Jepang dari beton bertulang. Gapura itu didirikan di pojok alun-alun sebelah barat laut. Karena mulai nampak adanya tanda-tanda perang Pasifik akan pecah, gapura buatan Jepang dirobohkan oleh Belanda. Dan semua orang Jepang di Hindia Belanda termasuk di “regentschop” Lumajang diusir pulang ke negaranya. Ternyata mereka telah menjadi spion/intel pemerintahan Jepang yang nantinya akan menyerang dan menduduki Hindia Belanda.

Setelah berkuasanya Dai Nippon Teikoku seitu (Pemerintahan Kekaisaran Jepang) bendera Hinomaru dikibarkan pada tiang di halaman Pendopo regent Lumajang. Aparat pemerintahan ada yang terus dimanfaatkan Jepang, Regeni Abubakar Kartowinoto yang semula mengungsi ke luar kota, diangkat kembali menjadi Bupati dengan sebutan Keneho, patih Pratalykrama menjadi Semu Bucho (Urusan Pemerintahan Umum) sebutan Wedana-asisten Wedana-Petinggi diganti Guneho-Seneho-Kucho. Ada tambahan dua jabatan non formal sebagai Verlengtuk Petinggi (Lurah) yaitu Azzacho dan Tonan Kumicha yaitu ketua RW dan RT yang sampai kini dilestarikan.

Sekolah sebagai lembaga pendidikan sistem Hindia Belanda oleh Jepang dijungkirbalikkan, yaitu RIS 7 Tahun, Fervelgscool 6 tahun ajaran. Sekolah EIS, HCS dan Schaischool di bubarkan ambach techool diubah namanya menjadi Semmong-Gakko (Sekolah Teknik). Sekolah-sekolah swasta yang lain untuk sementara boleh dibuka untuk menamatkan pelajaran bagi murid-murid kelas 6 atau kelas 7 yang diturunkan ke kelas 6. Setelah itu para guru dan murid-muridnya ditampung di kokuming-gakko, kecuali sekolah swasta Noeroel Islam (di sebelah utara masjid).

Penguasa Jepang telah menerima informasi dari para intelnya pada zaman kolonial Hindia Belanda, bahwa para ustad, para murid, maupun para kiai dan santri-santrinya bersikap non kooperatif terhadap pemerintah kolonial. Sikap itu nampak pada gaya mereka berpakaian berkopiah, mengenakan sarung, sandal dan kelompen. Bahasa Belanda sangat tabu untuk diajarkan kepada murid dan santri.

Dalam rangka Nippon-isasi rakyat Indonesia, penguasa Jepang memasukkan pengaruh budaya dengan terlebih dahulu menghapuskan segala sesuatu yang berbau Belanda. Di Alun-alun Lumajang semua buku-buku pelajaran, arsip surat yang tercetak dan tertulis pada zaman Hindia Belanda dikumpulkan dan dibakar bersama-sama. Nama-nama jalan, sekolah, kantor, perusahaan atau toko-toko tak boleh menggunakan bahasa Belanda lagi, dan harus diganti bahasa Jepang atau bahasa Indonesia. Bahasa Jepang wajib diajarkan di Kokumin-Gakko dan para karyawan Pemda dan instansi lain wajib mengikuti kursus bahasa di sore hari.

Di Alun-Alun Luamajang hampir setiap hari diadakan latihan baris berbaris dengan gorai (aba-aba) Jepang. Upacara penaikan bendera (kokki) Jepang dan menyanyikan lagu nasional (kokka) Kimigayo dilakukan sebagai pengganti lagu Wilhelmus waktu zaman Hindia Belanda.

Pada acara puncak ialah dengan melakukan saikeeree (membungkukkan badan) ke arah istana di Tokyo dengan diakhiri teriakan bersama Tenno Heika, Banzai (hidup Sang Baginda Maharaja!). Kemudian disusul senam bersama dengan aba-aba lewat radio yang disebut kokuming rajio taiso. Pada siang hari, alun-alun penuh dengan kegiatan semi militer (baris-berbaris, dsb). Oleh Sainendan (barisan pemuda), kaibodan (barisan ibu-ibu/wanita remaja), maka pada malam hari seluruh kota dan alun-alun menjadi sunyi sepi dan samar-samar gelap karena cahaya lampu baik di jalan maupun di rumah tidak boleh nampak keluar (ditutup dengan kertas warna merah), setiap malam adalah saat yang menegangkan, karena sewaktu para anggota Keibodang berkeliling lari untuk mengawasi apakah warga Lumajang betul-betul sudah memasuki lubang perlindungan (bokugo) atau belum. Setiap warga siap menggigit sepotong karet mentah untuk menjaga paru-paru, apabila ada goncangan bom yang jatuh di dekatnya.

Menjelang tahun 1945, perang Pasifik semakin hebat dan berkali-kali terdengar gaung sirine dan teriakan kusyukeiho dari mulut keibodang baik malam maupun siang hari. Pada saat itu kereta api dan truck-truck Jepang mengangkut atau mencuri bahan makanan pokok (beras, jagung, gula, dll) yang semuanya diangkut ke pelabuhan Probolinggo terus dikirim ke medan perang Pasifik. Seperti itulah Jepang menakut-nakuti atau menipu orang-orang Indonesia yang benar-benar ketakutan sehingga berlindung di bokugo.

Heitaisang dinyatakan kalah dalam peperangan, dan bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, semua warga Lumajang bernapas lega dengan hilangnya malam gelap gulita menjadi terang benderang, bahan makanan tidak dirampok lagi, kerja paksa romusha juga dihapus, begitu pula sandang dan pangan mulai nampak ada perbaikan, tidak ada lagi mereka yang memakan karet mentah dan berpakaian goni lagi.

Banyaknya dokumen atau arsip-arsip Hindia Belanda di Lumajang yang dimusnahkan oleh pemerintahan Jepang, membuat minimnya arsip mengenai zaman Hindia Belanda yang ada di Lumajang. Namun, peninggalan-peninggalan zaman kolonial tersebut masih ada dan masih kokoh dengan adanya bangunan-bangunan bercorak kolonial terutama pada daerah di sekitar alun-alun Lumajang yang menjadi saksi bisu eksistensi alun-alun Lumajang pada saat itu.

Dengan adanya tulisan mengenai “Eksistensi Alun-alun Lumajang pada Masa Kolonial Belanda Hingga Masa Kedudukan Jepang” dapat menambah wawasan bagi masyarakat Lumajang mengenai sejarah dari alun-alun Lumajang yang masih sedikit diketahui oleh banyak orang. Selain itu, dapat menambah wawasan bagi penulis untuk meningkatkan kualitas dari tulisannya dengan adanya kritik dan saran dari pembaca.

 

*) Penulis adalah mahasiswa Universitas Jember

 

- Advertisement -

BONDOWOSO, RADARJEMBER.ID – Pada awal abad ke-19, Lumajang masih merupakan desa kecil yang kemudian menjadi ibu kota daerah administratif afdeeling (bagian keresidenan yang dipimpin oleh seorang asisten residen). Kediaman asisten residen dibangun di sisi utara (kini gedung Pemda), masjid di sisi barat, dan di sisi selatan terdapat kediaman kepala pribumi (sejak 1882 seorang wedana, sejak tahun 1886 seorang patih, dan sejak 1928 seorang bupati). Pohon beringin tidak hanya tumbuh di tengah, tetapi juga di bagian tepinya. Dari ukurannya, pohon beringin terlihat lebih tua daripada semua gedung di sekeliling alun-alun.

Karena keindahan pohon beringin tersebut, sehingga di abadikan menjadi kartu pos. Pada sisi belakang kartu pos dicetak penjelasan bahasa Belanda yang informatif, yang terjemahannya dalam bahasa Indonesia berbunyi: “Pohon Beringin tampak sangat menarik karena memberi kesan seakan-akan sekumpulan pohon menyatu menjadi satu batang yang sama. Pohon tumbuh ke atas dan ke bawah bolak balik, semakin besar hingga menjadi kubah dengan warna hijau yang sangat indah. Kemudian ranting-rantingnya menghujamkan tangkai-tangkainya ke dalam tanah, yang akan menjadi batang baru dan akhirnya menumbuhkan akar sulur sendiri. Pada akhirnya pohon beringin mencapai ukuran raksasa. (Raap, O.J, 2017).

Kedatangan belanda di Lumajang sekitar akhir abad XIX, yang ditandai dengan adanya bangunan-bangunan bercorak Belanda di sekitar alun-alun Lumajang yang menunjukkan adanya pergeseran kekuasaan dari penguasa tradisional ke penguasa kolonial (Balai Arkeologi Yogyakarta, 1995). Penguasa Belanda meng-kavel (membagi atas petak-petak) alun-alun untuk kepentingan pemerintahan ke depannya. Pada petak (kapling) bagian selatan, berupa “tennishaan” (lapangan tenis) untuk sarana rekreasi para pejabat Belanda dan tuan-tuan besar pemilik pabrik-pabrik seluruh wilayah Lumajang.

Lalu terdapat sepetak kapling yang digunakan untuk gedung “landraad” (kini ditempati oleh TK Dharma Wanita).Gedung itu berseberangan dengan “sccieteit” (gedung pertemuan) orang Belanda untuk menikmati malam minggu atau acara besar dengan berdansa berpasangan di ruang tengah dan di belakang diputar bioskop (sekarang menjadi gedung pertemuan dan kesenian).

Bagian timur alun-alun Lumajang, dimanfaatkan untuk lapangan sepak bola yang digunakan oleh klub-klub sepak bola (PS), antara lain: PS-Semeru, PS-Hizbul wathan, PS-RAS (Rukun Agama Sentose), PS-YOFA (Young Chinese Football Association). Para pelajar memanfaatkan tempat yang terluang untuk bermain kasti atau main korfbal (bola keranjang ala Belanda).Sedangkan di musim kemarau, banyak anak-anak bermain layang-layang di alun-alun ini.

Bagian utara sampai barat alun-alun Lumajang (kini menjadi lapangan upacara) digunakan sebagai tempat pertunjukan umum seperti pasar malam atau sirkus. Pernah juga diadakan pertunjukan Dewi Dja primadona dari sandiwara Dardanelle di Lumajang dan sekaligus kedatangan tersebut memberikan sumbangan mesin cetak kepada M. Sastrodikoro, “Untuk Suara Desa” yang mereka terbitkan.

Pada siang hari yang panas, pohon beringin di tengah-tengah alun-alun memberi naungan yang cukup sejuk. Di sore hari, anak-anak bermain gebag sodor, bermain lempar batu pipih, bermain adu gangsing, atau bermain kelereng di alun-alun. Terkadang juga para anggota P.O. (Pencak Organisasi) yang dipimpin Moh. Imam Sudja’i yang berlatih di bawah pohon beringin. Pada saat istirahat, diisi dengan gemblang rohani antara lain menebalkan rasa cinta kepada Tanah Air dan Bangsa yang saat itu mengalami penjajahan Belanda. Banyak masyarakat yang tertarik dengan kegiatan P.O. ini. Namun, apabila dirasa terdapat PID (Dinas Intel Polisi Belanda) diantara para penonton, maka Imam Sudja’i dengan segera membubarkan pelatihan itu dan dilanjutkan di tempat lain yang tidak bisa segera diketahui oleh petugas PID.

Pada periode 1942-1945 kedatangan bangsa Jepang menggantikan kekuasaan kolonial Belanda. Pada masa itu Jepang menanamkan pengaruh di berbagai bidang seperti pada bidang ekonomi, sosial, pendidikan, dan politik. Di bidang politik, Jepang secara intensif mengumpulkan dan mendidik kaum muda pribumi serta meresmikan berdirinya gerakan barisan pemuda (Seinendan) pada tahun 1943 (Balai Arkeologi Yogyakarta, 1995).

Sebelum perang dunia II pecah, di wilayah Hindia Belanda banyak warga Jepang bergerak di bidang bisnis sebagai tokowan atau pengusaha .Dalam menyambut perayaan hari ulang tahun Ratu Belanda Wilhelmina, warga Jepang di wilayah Lumajang mendirikan gapura tinggi khas Jepang dari beton bertulang. Gapura itu didirikan di pojok alun-alun sebelah barat laut. Karena mulai nampak adanya tanda-tanda perang Pasifik akan pecah, gapura buatan Jepang dirobohkan oleh Belanda. Dan semua orang Jepang di Hindia Belanda termasuk di “regentschop” Lumajang diusir pulang ke negaranya. Ternyata mereka telah menjadi spion/intel pemerintahan Jepang yang nantinya akan menyerang dan menduduki Hindia Belanda.

Setelah berkuasanya Dai Nippon Teikoku seitu (Pemerintahan Kekaisaran Jepang) bendera Hinomaru dikibarkan pada tiang di halaman Pendopo regent Lumajang. Aparat pemerintahan ada yang terus dimanfaatkan Jepang, Regeni Abubakar Kartowinoto yang semula mengungsi ke luar kota, diangkat kembali menjadi Bupati dengan sebutan Keneho, patih Pratalykrama menjadi Semu Bucho (Urusan Pemerintahan Umum) sebutan Wedana-asisten Wedana-Petinggi diganti Guneho-Seneho-Kucho. Ada tambahan dua jabatan non formal sebagai Verlengtuk Petinggi (Lurah) yaitu Azzacho dan Tonan Kumicha yaitu ketua RW dan RT yang sampai kini dilestarikan.

Sekolah sebagai lembaga pendidikan sistem Hindia Belanda oleh Jepang dijungkirbalikkan, yaitu RIS 7 Tahun, Fervelgscool 6 tahun ajaran. Sekolah EIS, HCS dan Schaischool di bubarkan ambach techool diubah namanya menjadi Semmong-Gakko (Sekolah Teknik). Sekolah-sekolah swasta yang lain untuk sementara boleh dibuka untuk menamatkan pelajaran bagi murid-murid kelas 6 atau kelas 7 yang diturunkan ke kelas 6. Setelah itu para guru dan murid-muridnya ditampung di kokuming-gakko, kecuali sekolah swasta Noeroel Islam (di sebelah utara masjid).

Penguasa Jepang telah menerima informasi dari para intelnya pada zaman kolonial Hindia Belanda, bahwa para ustad, para murid, maupun para kiai dan santri-santrinya bersikap non kooperatif terhadap pemerintah kolonial. Sikap itu nampak pada gaya mereka berpakaian berkopiah, mengenakan sarung, sandal dan kelompen. Bahasa Belanda sangat tabu untuk diajarkan kepada murid dan santri.

Dalam rangka Nippon-isasi rakyat Indonesia, penguasa Jepang memasukkan pengaruh budaya dengan terlebih dahulu menghapuskan segala sesuatu yang berbau Belanda. Di Alun-alun Lumajang semua buku-buku pelajaran, arsip surat yang tercetak dan tertulis pada zaman Hindia Belanda dikumpulkan dan dibakar bersama-sama. Nama-nama jalan, sekolah, kantor, perusahaan atau toko-toko tak boleh menggunakan bahasa Belanda lagi, dan harus diganti bahasa Jepang atau bahasa Indonesia. Bahasa Jepang wajib diajarkan di Kokumin-Gakko dan para karyawan Pemda dan instansi lain wajib mengikuti kursus bahasa di sore hari.

Di Alun-Alun Luamajang hampir setiap hari diadakan latihan baris berbaris dengan gorai (aba-aba) Jepang. Upacara penaikan bendera (kokki) Jepang dan menyanyikan lagu nasional (kokka) Kimigayo dilakukan sebagai pengganti lagu Wilhelmus waktu zaman Hindia Belanda.

Pada acara puncak ialah dengan melakukan saikeeree (membungkukkan badan) ke arah istana di Tokyo dengan diakhiri teriakan bersama Tenno Heika, Banzai (hidup Sang Baginda Maharaja!). Kemudian disusul senam bersama dengan aba-aba lewat radio yang disebut kokuming rajio taiso. Pada siang hari, alun-alun penuh dengan kegiatan semi militer (baris-berbaris, dsb). Oleh Sainendan (barisan pemuda), kaibodan (barisan ibu-ibu/wanita remaja), maka pada malam hari seluruh kota dan alun-alun menjadi sunyi sepi dan samar-samar gelap karena cahaya lampu baik di jalan maupun di rumah tidak boleh nampak keluar (ditutup dengan kertas warna merah), setiap malam adalah saat yang menegangkan, karena sewaktu para anggota Keibodang berkeliling lari untuk mengawasi apakah warga Lumajang betul-betul sudah memasuki lubang perlindungan (bokugo) atau belum. Setiap warga siap menggigit sepotong karet mentah untuk menjaga paru-paru, apabila ada goncangan bom yang jatuh di dekatnya.

Menjelang tahun 1945, perang Pasifik semakin hebat dan berkali-kali terdengar gaung sirine dan teriakan kusyukeiho dari mulut keibodang baik malam maupun siang hari. Pada saat itu kereta api dan truck-truck Jepang mengangkut atau mencuri bahan makanan pokok (beras, jagung, gula, dll) yang semuanya diangkut ke pelabuhan Probolinggo terus dikirim ke medan perang Pasifik. Seperti itulah Jepang menakut-nakuti atau menipu orang-orang Indonesia yang benar-benar ketakutan sehingga berlindung di bokugo.

Heitaisang dinyatakan kalah dalam peperangan, dan bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, semua warga Lumajang bernapas lega dengan hilangnya malam gelap gulita menjadi terang benderang, bahan makanan tidak dirampok lagi, kerja paksa romusha juga dihapus, begitu pula sandang dan pangan mulai nampak ada perbaikan, tidak ada lagi mereka yang memakan karet mentah dan berpakaian goni lagi.

Banyaknya dokumen atau arsip-arsip Hindia Belanda di Lumajang yang dimusnahkan oleh pemerintahan Jepang, membuat minimnya arsip mengenai zaman Hindia Belanda yang ada di Lumajang. Namun, peninggalan-peninggalan zaman kolonial tersebut masih ada dan masih kokoh dengan adanya bangunan-bangunan bercorak kolonial terutama pada daerah di sekitar alun-alun Lumajang yang menjadi saksi bisu eksistensi alun-alun Lumajang pada saat itu.

Dengan adanya tulisan mengenai “Eksistensi Alun-alun Lumajang pada Masa Kolonial Belanda Hingga Masa Kedudukan Jepang” dapat menambah wawasan bagi masyarakat Lumajang mengenai sejarah dari alun-alun Lumajang yang masih sedikit diketahui oleh banyak orang. Selain itu, dapat menambah wawasan bagi penulis untuk meningkatkan kualitas dari tulisannya dengan adanya kritik dan saran dari pembaca.

 

*) Penulis adalah mahasiswa Universitas Jember

 

BONDOWOSO, RADARJEMBER.ID – Pada awal abad ke-19, Lumajang masih merupakan desa kecil yang kemudian menjadi ibu kota daerah administratif afdeeling (bagian keresidenan yang dipimpin oleh seorang asisten residen). Kediaman asisten residen dibangun di sisi utara (kini gedung Pemda), masjid di sisi barat, dan di sisi selatan terdapat kediaman kepala pribumi (sejak 1882 seorang wedana, sejak tahun 1886 seorang patih, dan sejak 1928 seorang bupati). Pohon beringin tidak hanya tumbuh di tengah, tetapi juga di bagian tepinya. Dari ukurannya, pohon beringin terlihat lebih tua daripada semua gedung di sekeliling alun-alun.

Karena keindahan pohon beringin tersebut, sehingga di abadikan menjadi kartu pos. Pada sisi belakang kartu pos dicetak penjelasan bahasa Belanda yang informatif, yang terjemahannya dalam bahasa Indonesia berbunyi: “Pohon Beringin tampak sangat menarik karena memberi kesan seakan-akan sekumpulan pohon menyatu menjadi satu batang yang sama. Pohon tumbuh ke atas dan ke bawah bolak balik, semakin besar hingga menjadi kubah dengan warna hijau yang sangat indah. Kemudian ranting-rantingnya menghujamkan tangkai-tangkainya ke dalam tanah, yang akan menjadi batang baru dan akhirnya menumbuhkan akar sulur sendiri. Pada akhirnya pohon beringin mencapai ukuran raksasa. (Raap, O.J, 2017).

Kedatangan belanda di Lumajang sekitar akhir abad XIX, yang ditandai dengan adanya bangunan-bangunan bercorak Belanda di sekitar alun-alun Lumajang yang menunjukkan adanya pergeseran kekuasaan dari penguasa tradisional ke penguasa kolonial (Balai Arkeologi Yogyakarta, 1995). Penguasa Belanda meng-kavel (membagi atas petak-petak) alun-alun untuk kepentingan pemerintahan ke depannya. Pada petak (kapling) bagian selatan, berupa “tennishaan” (lapangan tenis) untuk sarana rekreasi para pejabat Belanda dan tuan-tuan besar pemilik pabrik-pabrik seluruh wilayah Lumajang.

Lalu terdapat sepetak kapling yang digunakan untuk gedung “landraad” (kini ditempati oleh TK Dharma Wanita).Gedung itu berseberangan dengan “sccieteit” (gedung pertemuan) orang Belanda untuk menikmati malam minggu atau acara besar dengan berdansa berpasangan di ruang tengah dan di belakang diputar bioskop (sekarang menjadi gedung pertemuan dan kesenian).

Bagian timur alun-alun Lumajang, dimanfaatkan untuk lapangan sepak bola yang digunakan oleh klub-klub sepak bola (PS), antara lain: PS-Semeru, PS-Hizbul wathan, PS-RAS (Rukun Agama Sentose), PS-YOFA (Young Chinese Football Association). Para pelajar memanfaatkan tempat yang terluang untuk bermain kasti atau main korfbal (bola keranjang ala Belanda).Sedangkan di musim kemarau, banyak anak-anak bermain layang-layang di alun-alun ini.

Bagian utara sampai barat alun-alun Lumajang (kini menjadi lapangan upacara) digunakan sebagai tempat pertunjukan umum seperti pasar malam atau sirkus. Pernah juga diadakan pertunjukan Dewi Dja primadona dari sandiwara Dardanelle di Lumajang dan sekaligus kedatangan tersebut memberikan sumbangan mesin cetak kepada M. Sastrodikoro, “Untuk Suara Desa” yang mereka terbitkan.

Pada siang hari yang panas, pohon beringin di tengah-tengah alun-alun memberi naungan yang cukup sejuk. Di sore hari, anak-anak bermain gebag sodor, bermain lempar batu pipih, bermain adu gangsing, atau bermain kelereng di alun-alun. Terkadang juga para anggota P.O. (Pencak Organisasi) yang dipimpin Moh. Imam Sudja’i yang berlatih di bawah pohon beringin. Pada saat istirahat, diisi dengan gemblang rohani antara lain menebalkan rasa cinta kepada Tanah Air dan Bangsa yang saat itu mengalami penjajahan Belanda. Banyak masyarakat yang tertarik dengan kegiatan P.O. ini. Namun, apabila dirasa terdapat PID (Dinas Intel Polisi Belanda) diantara para penonton, maka Imam Sudja’i dengan segera membubarkan pelatihan itu dan dilanjutkan di tempat lain yang tidak bisa segera diketahui oleh petugas PID.

Pada periode 1942-1945 kedatangan bangsa Jepang menggantikan kekuasaan kolonial Belanda. Pada masa itu Jepang menanamkan pengaruh di berbagai bidang seperti pada bidang ekonomi, sosial, pendidikan, dan politik. Di bidang politik, Jepang secara intensif mengumpulkan dan mendidik kaum muda pribumi serta meresmikan berdirinya gerakan barisan pemuda (Seinendan) pada tahun 1943 (Balai Arkeologi Yogyakarta, 1995).

Sebelum perang dunia II pecah, di wilayah Hindia Belanda banyak warga Jepang bergerak di bidang bisnis sebagai tokowan atau pengusaha .Dalam menyambut perayaan hari ulang tahun Ratu Belanda Wilhelmina, warga Jepang di wilayah Lumajang mendirikan gapura tinggi khas Jepang dari beton bertulang. Gapura itu didirikan di pojok alun-alun sebelah barat laut. Karena mulai nampak adanya tanda-tanda perang Pasifik akan pecah, gapura buatan Jepang dirobohkan oleh Belanda. Dan semua orang Jepang di Hindia Belanda termasuk di “regentschop” Lumajang diusir pulang ke negaranya. Ternyata mereka telah menjadi spion/intel pemerintahan Jepang yang nantinya akan menyerang dan menduduki Hindia Belanda.

Setelah berkuasanya Dai Nippon Teikoku seitu (Pemerintahan Kekaisaran Jepang) bendera Hinomaru dikibarkan pada tiang di halaman Pendopo regent Lumajang. Aparat pemerintahan ada yang terus dimanfaatkan Jepang, Regeni Abubakar Kartowinoto yang semula mengungsi ke luar kota, diangkat kembali menjadi Bupati dengan sebutan Keneho, patih Pratalykrama menjadi Semu Bucho (Urusan Pemerintahan Umum) sebutan Wedana-asisten Wedana-Petinggi diganti Guneho-Seneho-Kucho. Ada tambahan dua jabatan non formal sebagai Verlengtuk Petinggi (Lurah) yaitu Azzacho dan Tonan Kumicha yaitu ketua RW dan RT yang sampai kini dilestarikan.

Sekolah sebagai lembaga pendidikan sistem Hindia Belanda oleh Jepang dijungkirbalikkan, yaitu RIS 7 Tahun, Fervelgscool 6 tahun ajaran. Sekolah EIS, HCS dan Schaischool di bubarkan ambach techool diubah namanya menjadi Semmong-Gakko (Sekolah Teknik). Sekolah-sekolah swasta yang lain untuk sementara boleh dibuka untuk menamatkan pelajaran bagi murid-murid kelas 6 atau kelas 7 yang diturunkan ke kelas 6. Setelah itu para guru dan murid-muridnya ditampung di kokuming-gakko, kecuali sekolah swasta Noeroel Islam (di sebelah utara masjid).

Penguasa Jepang telah menerima informasi dari para intelnya pada zaman kolonial Hindia Belanda, bahwa para ustad, para murid, maupun para kiai dan santri-santrinya bersikap non kooperatif terhadap pemerintah kolonial. Sikap itu nampak pada gaya mereka berpakaian berkopiah, mengenakan sarung, sandal dan kelompen. Bahasa Belanda sangat tabu untuk diajarkan kepada murid dan santri.

Dalam rangka Nippon-isasi rakyat Indonesia, penguasa Jepang memasukkan pengaruh budaya dengan terlebih dahulu menghapuskan segala sesuatu yang berbau Belanda. Di Alun-alun Lumajang semua buku-buku pelajaran, arsip surat yang tercetak dan tertulis pada zaman Hindia Belanda dikumpulkan dan dibakar bersama-sama. Nama-nama jalan, sekolah, kantor, perusahaan atau toko-toko tak boleh menggunakan bahasa Belanda lagi, dan harus diganti bahasa Jepang atau bahasa Indonesia. Bahasa Jepang wajib diajarkan di Kokumin-Gakko dan para karyawan Pemda dan instansi lain wajib mengikuti kursus bahasa di sore hari.

Di Alun-Alun Luamajang hampir setiap hari diadakan latihan baris berbaris dengan gorai (aba-aba) Jepang. Upacara penaikan bendera (kokki) Jepang dan menyanyikan lagu nasional (kokka) Kimigayo dilakukan sebagai pengganti lagu Wilhelmus waktu zaman Hindia Belanda.

Pada acara puncak ialah dengan melakukan saikeeree (membungkukkan badan) ke arah istana di Tokyo dengan diakhiri teriakan bersama Tenno Heika, Banzai (hidup Sang Baginda Maharaja!). Kemudian disusul senam bersama dengan aba-aba lewat radio yang disebut kokuming rajio taiso. Pada siang hari, alun-alun penuh dengan kegiatan semi militer (baris-berbaris, dsb). Oleh Sainendan (barisan pemuda), kaibodan (barisan ibu-ibu/wanita remaja), maka pada malam hari seluruh kota dan alun-alun menjadi sunyi sepi dan samar-samar gelap karena cahaya lampu baik di jalan maupun di rumah tidak boleh nampak keluar (ditutup dengan kertas warna merah), setiap malam adalah saat yang menegangkan, karena sewaktu para anggota Keibodang berkeliling lari untuk mengawasi apakah warga Lumajang betul-betul sudah memasuki lubang perlindungan (bokugo) atau belum. Setiap warga siap menggigit sepotong karet mentah untuk menjaga paru-paru, apabila ada goncangan bom yang jatuh di dekatnya.

Menjelang tahun 1945, perang Pasifik semakin hebat dan berkali-kali terdengar gaung sirine dan teriakan kusyukeiho dari mulut keibodang baik malam maupun siang hari. Pada saat itu kereta api dan truck-truck Jepang mengangkut atau mencuri bahan makanan pokok (beras, jagung, gula, dll) yang semuanya diangkut ke pelabuhan Probolinggo terus dikirim ke medan perang Pasifik. Seperti itulah Jepang menakut-nakuti atau menipu orang-orang Indonesia yang benar-benar ketakutan sehingga berlindung di bokugo.

Heitaisang dinyatakan kalah dalam peperangan, dan bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, semua warga Lumajang bernapas lega dengan hilangnya malam gelap gulita menjadi terang benderang, bahan makanan tidak dirampok lagi, kerja paksa romusha juga dihapus, begitu pula sandang dan pangan mulai nampak ada perbaikan, tidak ada lagi mereka yang memakan karet mentah dan berpakaian goni lagi.

Banyaknya dokumen atau arsip-arsip Hindia Belanda di Lumajang yang dimusnahkan oleh pemerintahan Jepang, membuat minimnya arsip mengenai zaman Hindia Belanda yang ada di Lumajang. Namun, peninggalan-peninggalan zaman kolonial tersebut masih ada dan masih kokoh dengan adanya bangunan-bangunan bercorak kolonial terutama pada daerah di sekitar alun-alun Lumajang yang menjadi saksi bisu eksistensi alun-alun Lumajang pada saat itu.

Dengan adanya tulisan mengenai “Eksistensi Alun-alun Lumajang pada Masa Kolonial Belanda Hingga Masa Kedudukan Jepang” dapat menambah wawasan bagi masyarakat Lumajang mengenai sejarah dari alun-alun Lumajang yang masih sedikit diketahui oleh banyak orang. Selain itu, dapat menambah wawasan bagi penulis untuk meningkatkan kualitas dari tulisannya dengan adanya kritik dan saran dari pembaca.

 

*) Penulis adalah mahasiswa Universitas Jember

 

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca

/