26 C
Jember
Thursday, 8 June 2023

Haruskah Pelajar Beralih Sekolah ke Aplikasi Tutor Belajar Online?

Mobile_AP_Rectangle 1

Saya yakin, ketika kali pertama Anda melihat dan membaca judul tulisan di atas, hal pertama yang Anda pikirkan bahwa tulisan ini merupakan selebaran promosi. Anda akan mengira bahwa penulis adalah salah satu pengguna aplikasi tutor belajar tersebut yang merasa puas dengan metode pembelajarannya. Lantas, tulisan ini adalah sarana berbagi pengalaman terhadap khalayak seperti yang umumnya ditayangkan di siaran televisi nasional. Nyatanya, sebuah buku tidak bisa dilihat dari cover-nya.

Pandemi berimbas total terhadap setiap lini kehidupan manusia. Dari yang paling umum seperti sektor ekonomi dan kesehatan, kesejahteraan kehidupan bermasyarakat, bahkan di sektor pendidikan. Agresi virus korona sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan semua sektor kehidupan manusia secara riil. Dalam keadaan sulit, pemerintah dan masyarakat harus berjibaku dan bersatu melakukan upaya-upaya efektif untuk memitigasi dampak pandemi. Sayangnya, upaya mitigasi yang dilakukan sering kali membawa perubahan signifikan.

Salah satu perubahan yang signifikan terdapat pada sektor pendidikan. Berdasarkan Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Mas Menteri Nadiem Makarim mencetuskan kebijakan pembelajaran jarak jauh (PJJ) untuk metode belajar di Indonesia pada semua tingkatan pendidikan. Tak terkecuali Jember. Kebijakan tersebut jelas membawa pro kontra di kalangan masyarakat. Perubahan ini adalah kabar baik bagi pelajar yang memiliki kemampuan untuk melaksanakannya, namun tidak bagi sebagian lainnya yang menanggung keterbatasan seperti perangkat, jaringan, kemampuan belajar, dan aspek-aspek lainnya. Mirisnya, golongan yang tidak mampu inilah yang jumlahnya lebih banyak.

Mobile_AP_Rectangle 2

Mengacu terhadap berbagai survei dan riset yang telah dilakukan terhadap para pelajar yang menggunakan metode PJJ, mayoritas pelajar tidak menyukai dan keberatan terhadap pemberlakuan metode ini. Dalam riset Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), 80 persen siswa merasa tidak senang dengan pemberlakuan metode anyar Kemendikbud. Faktornya beragam, mulai dari bosan sebab tidak bisa bertemu teman, hingga kelelahan sebab tugas yang begitu menumpuk. Secara lebih detail, survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat beberapa faktor kesenjangan pelajar dalam PJJ. Di antaranya adalah tugas yang menumpuk 77,8 persen, tidak adanya kuota internet 42.2 persen, ketidaktersediaan peralatan 15,6 persen, dan waktu yang sempit 37,1 persen.

Demikian, minat pelajar dalam belajar menggunakan metode PJJ akan berdampak buruk terhadap capaian hasil belajar. Pelajar akan malas belajar sebab pada dasarnya mereka tidak senang. Hal inilah yang akhirnya menimbulkan fenomena loss learning dalam pelaksanaan pendidikan di Indonesia. The Education and Development Forum (2020) mengartikan loss learning adalah situasi di mana peserta didik kehilangan pengetahuan dan keterampilan, baik umum ataupun khusus, atau kemunduran secara akademis, yang terjadi karena kesenjangan berkepanjangan atau ketidakberlangsungan proses pendidikan.

Selanjutnya, lantas apa upaya yang harus dipikirkan oleh Kemendikbud sebagai penyelenggara pendidikan dalam mengatasi problematika ini? Dilansir dari laman resmi Kemendikbud, Nadiem Makarim mengatakan telah sedang mempertimbangkan pemberlakuan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas sejak pertengahan maret lalu. Hasilnya, PTM memang sempat berjalan di beberapa sekolah, namun akhirnya sekolah harus tutup lagi sembari menunggu akhir masa PPKM yang tak kunjung usai.

Hemat saya, PTM terbatas bukanlah solusi efektif yang bisa diberlakukan saat ini. Menilik angka kasus Covid-19 yang terus menerus melonjak setiap harinya, usulan PTM bukanlah yang terbaik. Menanggapi protes siswa terhadap pemberlakuan PJJ, pemerintah seharusnya menyediakan kurikulum dan mekanisme belajar yang menyesuaikan dengan minat belajar siswa dan hasil evaluasi PJJ sebelumnya. Penyelarasan kebutuhan dan pemenuhan kebutuhan urgen dilakukan. Dengan kata lain, milenial lebih akrab dengan istilah apple to apple. Dalam konteks ini, pemerintah memang harus belajar ke penyedia aplikasi tutor belajar online itu, sebagai perusahaan start up yang berfokus di sektor pendidikan.

Sekali lagi sebagai disclaimer, saya tekankan bahwa tulisan ini bukan untuk promosi melainkan wadah pemikiran kreatif untuk menemukan metode belajar yang efektif bagi para penyelenggara pendidikan, khususnya guru dan pemerintah. Alasan pertama, pengajaran pada aplikasi tutor belajar online itu menggunakan video pembelajaran interaktif dan adaptif, tidak selalu memberi tugas. Menggunakan media aplikasi, ruang belajar didesain menyesuaikan dengan kemampuan belajar siswa. Siswa dengan kebutuhan penjelasan lebih dapat memperoleh penjelasan ulang apabila tidak memahami penjelasan terkait materi awal. Belajar akan lebih menyenangkan ditambah tugas yang diberikan juga terkesan menantang dan sesuai porsi.

Kedua, harga yang lebih ekonomis. Biaya pendidikan sekolah negeri dan swasta di masa pandemi tidak mengalami penurunan. Menurut pelbagai pihak, dana pendidikan sebagian disumbangkan untuk membantu negara membayar biaya kesehatan para pasien Covid-19. Sedangkan di aplikasi tutor belajar online itu, cukup membayar sekitar Rp 400 ribu-Rp 600 ribu/tahun para siswa sudah mendapatkan seluruh paket lengkapnya. Jika dikalkulasi, aplikasi pendidikan ini jelas lebih hemat dari sekolah konvensional.

Terakhir, visualisasi yang lebih menarik. Pentingnya membangun visualisasi kreatif sangat berpengaruh terhadap minat belajar siswa apalagi mereka yang malas belajar. Jika dikombinasikan dengan penyampaian serta fitur-fitur unggul maka pelajar tidak akan bosan dan justru betah berlama-lama belajar. Pastinya aspek psikis anak ketika belajar juga harus diperhatikan, dong. Demikian, bukankah beralih pendidikan ke aplikasi tutor belajar online merupakan langkah yang tepat?

Jujur, konteks yang dituju sebenarnya bukan terkait branding aplikasi namun sistem dan metode pembelajaran yang digunakan. Tidak ada sedikitpun maksud merendahkan pendidikan nasional, namun hanya sebagai kritik serta bahan evaluasi. Dalam PJJ, guru dan pemerintah harus pintar-pintar menyesuaikan metode pengajaran yang tepat untuk dipakai. Sebab jika kita hanya menggunakan cara lama untuk suatu kebiasaan baru maka bisa jadi upaya kita sia-sia. Ketika mengajar, guru perlu meningkatkan kepekaan terhadap tiga aspek pembelajaran yakni kognitif, afektif, dan psikomotorik dalam media yang digunakan. Agar roda pendidikan di Indonesia senantiasa terus berjalan dan berkembang, tidak stagnan seperti sekarang.

Terlepas dari segala hal di atas, pemerintah, guru, dan penyelenggara pendidikan lainnya saat ini harus berfokus terhadap pembangunan pendidikan dengan metode baru. Jika tidak, maka fenomena loss learning akan terus saja menghantui para pelajar kita. Pendidikan adalah wadah untuk mempersiapkan generasi unggul di masa depan. Jika pendidikan makin dilemahkan dan kita lengah olehnya, maka bagaimana masa depan negara pada akhirnya? (*)

 

*) Penulis adalah Ketua Umum Intellectual Movement Community

- Advertisement -

Saya yakin, ketika kali pertama Anda melihat dan membaca judul tulisan di atas, hal pertama yang Anda pikirkan bahwa tulisan ini merupakan selebaran promosi. Anda akan mengira bahwa penulis adalah salah satu pengguna aplikasi tutor belajar tersebut yang merasa puas dengan metode pembelajarannya. Lantas, tulisan ini adalah sarana berbagi pengalaman terhadap khalayak seperti yang umumnya ditayangkan di siaran televisi nasional. Nyatanya, sebuah buku tidak bisa dilihat dari cover-nya.

Pandemi berimbas total terhadap setiap lini kehidupan manusia. Dari yang paling umum seperti sektor ekonomi dan kesehatan, kesejahteraan kehidupan bermasyarakat, bahkan di sektor pendidikan. Agresi virus korona sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan semua sektor kehidupan manusia secara riil. Dalam keadaan sulit, pemerintah dan masyarakat harus berjibaku dan bersatu melakukan upaya-upaya efektif untuk memitigasi dampak pandemi. Sayangnya, upaya mitigasi yang dilakukan sering kali membawa perubahan signifikan.

Salah satu perubahan yang signifikan terdapat pada sektor pendidikan. Berdasarkan Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Mas Menteri Nadiem Makarim mencetuskan kebijakan pembelajaran jarak jauh (PJJ) untuk metode belajar di Indonesia pada semua tingkatan pendidikan. Tak terkecuali Jember. Kebijakan tersebut jelas membawa pro kontra di kalangan masyarakat. Perubahan ini adalah kabar baik bagi pelajar yang memiliki kemampuan untuk melaksanakannya, namun tidak bagi sebagian lainnya yang menanggung keterbatasan seperti perangkat, jaringan, kemampuan belajar, dan aspek-aspek lainnya. Mirisnya, golongan yang tidak mampu inilah yang jumlahnya lebih banyak.

Mengacu terhadap berbagai survei dan riset yang telah dilakukan terhadap para pelajar yang menggunakan metode PJJ, mayoritas pelajar tidak menyukai dan keberatan terhadap pemberlakuan metode ini. Dalam riset Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), 80 persen siswa merasa tidak senang dengan pemberlakuan metode anyar Kemendikbud. Faktornya beragam, mulai dari bosan sebab tidak bisa bertemu teman, hingga kelelahan sebab tugas yang begitu menumpuk. Secara lebih detail, survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat beberapa faktor kesenjangan pelajar dalam PJJ. Di antaranya adalah tugas yang menumpuk 77,8 persen, tidak adanya kuota internet 42.2 persen, ketidaktersediaan peralatan 15,6 persen, dan waktu yang sempit 37,1 persen.

Demikian, minat pelajar dalam belajar menggunakan metode PJJ akan berdampak buruk terhadap capaian hasil belajar. Pelajar akan malas belajar sebab pada dasarnya mereka tidak senang. Hal inilah yang akhirnya menimbulkan fenomena loss learning dalam pelaksanaan pendidikan di Indonesia. The Education and Development Forum (2020) mengartikan loss learning adalah situasi di mana peserta didik kehilangan pengetahuan dan keterampilan, baik umum ataupun khusus, atau kemunduran secara akademis, yang terjadi karena kesenjangan berkepanjangan atau ketidakberlangsungan proses pendidikan.

Selanjutnya, lantas apa upaya yang harus dipikirkan oleh Kemendikbud sebagai penyelenggara pendidikan dalam mengatasi problematika ini? Dilansir dari laman resmi Kemendikbud, Nadiem Makarim mengatakan telah sedang mempertimbangkan pemberlakuan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas sejak pertengahan maret lalu. Hasilnya, PTM memang sempat berjalan di beberapa sekolah, namun akhirnya sekolah harus tutup lagi sembari menunggu akhir masa PPKM yang tak kunjung usai.

Hemat saya, PTM terbatas bukanlah solusi efektif yang bisa diberlakukan saat ini. Menilik angka kasus Covid-19 yang terus menerus melonjak setiap harinya, usulan PTM bukanlah yang terbaik. Menanggapi protes siswa terhadap pemberlakuan PJJ, pemerintah seharusnya menyediakan kurikulum dan mekanisme belajar yang menyesuaikan dengan minat belajar siswa dan hasil evaluasi PJJ sebelumnya. Penyelarasan kebutuhan dan pemenuhan kebutuhan urgen dilakukan. Dengan kata lain, milenial lebih akrab dengan istilah apple to apple. Dalam konteks ini, pemerintah memang harus belajar ke penyedia aplikasi tutor belajar online itu, sebagai perusahaan start up yang berfokus di sektor pendidikan.

Sekali lagi sebagai disclaimer, saya tekankan bahwa tulisan ini bukan untuk promosi melainkan wadah pemikiran kreatif untuk menemukan metode belajar yang efektif bagi para penyelenggara pendidikan, khususnya guru dan pemerintah. Alasan pertama, pengajaran pada aplikasi tutor belajar online itu menggunakan video pembelajaran interaktif dan adaptif, tidak selalu memberi tugas. Menggunakan media aplikasi, ruang belajar didesain menyesuaikan dengan kemampuan belajar siswa. Siswa dengan kebutuhan penjelasan lebih dapat memperoleh penjelasan ulang apabila tidak memahami penjelasan terkait materi awal. Belajar akan lebih menyenangkan ditambah tugas yang diberikan juga terkesan menantang dan sesuai porsi.

Kedua, harga yang lebih ekonomis. Biaya pendidikan sekolah negeri dan swasta di masa pandemi tidak mengalami penurunan. Menurut pelbagai pihak, dana pendidikan sebagian disumbangkan untuk membantu negara membayar biaya kesehatan para pasien Covid-19. Sedangkan di aplikasi tutor belajar online itu, cukup membayar sekitar Rp 400 ribu-Rp 600 ribu/tahun para siswa sudah mendapatkan seluruh paket lengkapnya. Jika dikalkulasi, aplikasi pendidikan ini jelas lebih hemat dari sekolah konvensional.

Terakhir, visualisasi yang lebih menarik. Pentingnya membangun visualisasi kreatif sangat berpengaruh terhadap minat belajar siswa apalagi mereka yang malas belajar. Jika dikombinasikan dengan penyampaian serta fitur-fitur unggul maka pelajar tidak akan bosan dan justru betah berlama-lama belajar. Pastinya aspek psikis anak ketika belajar juga harus diperhatikan, dong. Demikian, bukankah beralih pendidikan ke aplikasi tutor belajar online merupakan langkah yang tepat?

Jujur, konteks yang dituju sebenarnya bukan terkait branding aplikasi namun sistem dan metode pembelajaran yang digunakan. Tidak ada sedikitpun maksud merendahkan pendidikan nasional, namun hanya sebagai kritik serta bahan evaluasi. Dalam PJJ, guru dan pemerintah harus pintar-pintar menyesuaikan metode pengajaran yang tepat untuk dipakai. Sebab jika kita hanya menggunakan cara lama untuk suatu kebiasaan baru maka bisa jadi upaya kita sia-sia. Ketika mengajar, guru perlu meningkatkan kepekaan terhadap tiga aspek pembelajaran yakni kognitif, afektif, dan psikomotorik dalam media yang digunakan. Agar roda pendidikan di Indonesia senantiasa terus berjalan dan berkembang, tidak stagnan seperti sekarang.

Terlepas dari segala hal di atas, pemerintah, guru, dan penyelenggara pendidikan lainnya saat ini harus berfokus terhadap pembangunan pendidikan dengan metode baru. Jika tidak, maka fenomena loss learning akan terus saja menghantui para pelajar kita. Pendidikan adalah wadah untuk mempersiapkan generasi unggul di masa depan. Jika pendidikan makin dilemahkan dan kita lengah olehnya, maka bagaimana masa depan negara pada akhirnya? (*)

 

*) Penulis adalah Ketua Umum Intellectual Movement Community

Saya yakin, ketika kali pertama Anda melihat dan membaca judul tulisan di atas, hal pertama yang Anda pikirkan bahwa tulisan ini merupakan selebaran promosi. Anda akan mengira bahwa penulis adalah salah satu pengguna aplikasi tutor belajar tersebut yang merasa puas dengan metode pembelajarannya. Lantas, tulisan ini adalah sarana berbagi pengalaman terhadap khalayak seperti yang umumnya ditayangkan di siaran televisi nasional. Nyatanya, sebuah buku tidak bisa dilihat dari cover-nya.

Pandemi berimbas total terhadap setiap lini kehidupan manusia. Dari yang paling umum seperti sektor ekonomi dan kesehatan, kesejahteraan kehidupan bermasyarakat, bahkan di sektor pendidikan. Agresi virus korona sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan semua sektor kehidupan manusia secara riil. Dalam keadaan sulit, pemerintah dan masyarakat harus berjibaku dan bersatu melakukan upaya-upaya efektif untuk memitigasi dampak pandemi. Sayangnya, upaya mitigasi yang dilakukan sering kali membawa perubahan signifikan.

Salah satu perubahan yang signifikan terdapat pada sektor pendidikan. Berdasarkan Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Mas Menteri Nadiem Makarim mencetuskan kebijakan pembelajaran jarak jauh (PJJ) untuk metode belajar di Indonesia pada semua tingkatan pendidikan. Tak terkecuali Jember. Kebijakan tersebut jelas membawa pro kontra di kalangan masyarakat. Perubahan ini adalah kabar baik bagi pelajar yang memiliki kemampuan untuk melaksanakannya, namun tidak bagi sebagian lainnya yang menanggung keterbatasan seperti perangkat, jaringan, kemampuan belajar, dan aspek-aspek lainnya. Mirisnya, golongan yang tidak mampu inilah yang jumlahnya lebih banyak.

Mengacu terhadap berbagai survei dan riset yang telah dilakukan terhadap para pelajar yang menggunakan metode PJJ, mayoritas pelajar tidak menyukai dan keberatan terhadap pemberlakuan metode ini. Dalam riset Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), 80 persen siswa merasa tidak senang dengan pemberlakuan metode anyar Kemendikbud. Faktornya beragam, mulai dari bosan sebab tidak bisa bertemu teman, hingga kelelahan sebab tugas yang begitu menumpuk. Secara lebih detail, survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat beberapa faktor kesenjangan pelajar dalam PJJ. Di antaranya adalah tugas yang menumpuk 77,8 persen, tidak adanya kuota internet 42.2 persen, ketidaktersediaan peralatan 15,6 persen, dan waktu yang sempit 37,1 persen.

Demikian, minat pelajar dalam belajar menggunakan metode PJJ akan berdampak buruk terhadap capaian hasil belajar. Pelajar akan malas belajar sebab pada dasarnya mereka tidak senang. Hal inilah yang akhirnya menimbulkan fenomena loss learning dalam pelaksanaan pendidikan di Indonesia. The Education and Development Forum (2020) mengartikan loss learning adalah situasi di mana peserta didik kehilangan pengetahuan dan keterampilan, baik umum ataupun khusus, atau kemunduran secara akademis, yang terjadi karena kesenjangan berkepanjangan atau ketidakberlangsungan proses pendidikan.

Selanjutnya, lantas apa upaya yang harus dipikirkan oleh Kemendikbud sebagai penyelenggara pendidikan dalam mengatasi problematika ini? Dilansir dari laman resmi Kemendikbud, Nadiem Makarim mengatakan telah sedang mempertimbangkan pemberlakuan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas sejak pertengahan maret lalu. Hasilnya, PTM memang sempat berjalan di beberapa sekolah, namun akhirnya sekolah harus tutup lagi sembari menunggu akhir masa PPKM yang tak kunjung usai.

Hemat saya, PTM terbatas bukanlah solusi efektif yang bisa diberlakukan saat ini. Menilik angka kasus Covid-19 yang terus menerus melonjak setiap harinya, usulan PTM bukanlah yang terbaik. Menanggapi protes siswa terhadap pemberlakuan PJJ, pemerintah seharusnya menyediakan kurikulum dan mekanisme belajar yang menyesuaikan dengan minat belajar siswa dan hasil evaluasi PJJ sebelumnya. Penyelarasan kebutuhan dan pemenuhan kebutuhan urgen dilakukan. Dengan kata lain, milenial lebih akrab dengan istilah apple to apple. Dalam konteks ini, pemerintah memang harus belajar ke penyedia aplikasi tutor belajar online itu, sebagai perusahaan start up yang berfokus di sektor pendidikan.

Sekali lagi sebagai disclaimer, saya tekankan bahwa tulisan ini bukan untuk promosi melainkan wadah pemikiran kreatif untuk menemukan metode belajar yang efektif bagi para penyelenggara pendidikan, khususnya guru dan pemerintah. Alasan pertama, pengajaran pada aplikasi tutor belajar online itu menggunakan video pembelajaran interaktif dan adaptif, tidak selalu memberi tugas. Menggunakan media aplikasi, ruang belajar didesain menyesuaikan dengan kemampuan belajar siswa. Siswa dengan kebutuhan penjelasan lebih dapat memperoleh penjelasan ulang apabila tidak memahami penjelasan terkait materi awal. Belajar akan lebih menyenangkan ditambah tugas yang diberikan juga terkesan menantang dan sesuai porsi.

Kedua, harga yang lebih ekonomis. Biaya pendidikan sekolah negeri dan swasta di masa pandemi tidak mengalami penurunan. Menurut pelbagai pihak, dana pendidikan sebagian disumbangkan untuk membantu negara membayar biaya kesehatan para pasien Covid-19. Sedangkan di aplikasi tutor belajar online itu, cukup membayar sekitar Rp 400 ribu-Rp 600 ribu/tahun para siswa sudah mendapatkan seluruh paket lengkapnya. Jika dikalkulasi, aplikasi pendidikan ini jelas lebih hemat dari sekolah konvensional.

Terakhir, visualisasi yang lebih menarik. Pentingnya membangun visualisasi kreatif sangat berpengaruh terhadap minat belajar siswa apalagi mereka yang malas belajar. Jika dikombinasikan dengan penyampaian serta fitur-fitur unggul maka pelajar tidak akan bosan dan justru betah berlama-lama belajar. Pastinya aspek psikis anak ketika belajar juga harus diperhatikan, dong. Demikian, bukankah beralih pendidikan ke aplikasi tutor belajar online merupakan langkah yang tepat?

Jujur, konteks yang dituju sebenarnya bukan terkait branding aplikasi namun sistem dan metode pembelajaran yang digunakan. Tidak ada sedikitpun maksud merendahkan pendidikan nasional, namun hanya sebagai kritik serta bahan evaluasi. Dalam PJJ, guru dan pemerintah harus pintar-pintar menyesuaikan metode pengajaran yang tepat untuk dipakai. Sebab jika kita hanya menggunakan cara lama untuk suatu kebiasaan baru maka bisa jadi upaya kita sia-sia. Ketika mengajar, guru perlu meningkatkan kepekaan terhadap tiga aspek pembelajaran yakni kognitif, afektif, dan psikomotorik dalam media yang digunakan. Agar roda pendidikan di Indonesia senantiasa terus berjalan dan berkembang, tidak stagnan seperti sekarang.

Terlepas dari segala hal di atas, pemerintah, guru, dan penyelenggara pendidikan lainnya saat ini harus berfokus terhadap pembangunan pendidikan dengan metode baru. Jika tidak, maka fenomena loss learning akan terus saja menghantui para pelajar kita. Pendidikan adalah wadah untuk mempersiapkan generasi unggul di masa depan. Jika pendidikan makin dilemahkan dan kita lengah olehnya, maka bagaimana masa depan negara pada akhirnya? (*)

 

*) Penulis adalah Ketua Umum Intellectual Movement Community

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca