Hiruk pikuk perayaan Idul Fitri belum juga usai. Bahkan, memasuki hari ketujuh bulan Syawal, perayaan Idul Fitri yang bagi lidah Jawa lebih populer dengan sebutan Lebaran, akan tampak kian marak. Pada hari ketujuh itulah salah satu tradisi khas masyarakat Islam-Jawa merayakan hari raya ketupat (riyoyo kecil, bodo kupat, atau kupatan). Kupat (ketupat) adalah makanan yang terbuat dari beras dibungkus anyaman (longsong) dari janur kuning. Baik longsong-nya saja maupun yang sudah masak, banyak dijumpai di pasar-pasar. Tetapi, umumnya masyarakat lebih memilih memasak sendiri lantaran merasa lebih afdal dalam memeriahkan tradisi kupatan.
Kupat sesungguhnya berperan sebagai pengganti nasi. Biasanya dihidangkan pada saat Lebaran dengan ugorampe (lauk pelengkapnya) berupa opor ayam atau sayur pedas. Namun, tradisi kupatan yang jatuh pada hari ketujuh Syawal itu kemudian menjadi khas dan sarat makna simbolisasi. Seribu satu cara masyarakat merayakan tradisi kupatan. Ada yang melarung kupat lepet ke laut seperti biasa dilakukan di Tanjung Kodok, Paciran (Lamongan). Ada yang mandi-mandi ke Laut Selatan seperti yang dilakukan masyarakat di beberapa daerah di Lumajang, Jember, dan Malang. Dan, masih ada beragam cara lain, yang unik-unik dalam merayakan tradisi kupatan. Intinya, acara kupatan menjadi meriah, wuuaah, ingar bingar, bercampur baur (sinkretis) antara esensi hari kemenangan (Idul Fitri) yang sakral dengan budaya ikutannya yang profan.
Sinkretisasi Idul Fitri dengan seluruh budaya ikutannya memang menemukan habitatnya di Indonesia, khususnya Jawa. Idul Fitri seperti dikutip Clifford Geert (Religion of Java), merefleksikan dimensi ritual-agamis, sosio-kultural serta kesatuan antara keislaman dan keindonesiaan (baca: Kejawaan). Jika tradisi maleman di malam-malam ganjil pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan diidentikkan dengan ritual menyongsong Lailatul Qadar, maka acara Syawalan dengan selamatan kupat lepet merupakan hasil identifikasi dari hadis Nabi tentang puasa Syawal, yakni enam hari setelah Idul Fitri (sittan syawalin). Anehnya, riyaya kecil (kupatan) yang jatuh pada hari ketujuh bulan Syawal justru paling ramai dirayakan.
Dalam tradisi Jawa, kupat lepet memang bukan sekadar makanan khas Lebaran, melainkan simbol yang sarat makna dan mistifikasi. Menurut pakar budaya Jawa, KRHT DR HC Kalinggo Honggopuro, konon ketupat telah ada sejak zaman Jawa kuno, yang kemudian diadopsi Wali Sanga dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa. Kupat dalam peradaban tersebut sebagai simbolisasi tulak balak (penangkal kesialan) dan lambang kemakmuran. Hal itu terlihat dari bahan baku pembuatannya. Yakni dari beras serta bungkus janur kuning yang mewakili Dewi Sri dan Sadono sebagai lambang Dewa Kemakmuran. Adapun empat sudut ketupat lambang arah mata angin sebagai simbol kiblat papat, limo pancer atau sudah lengkap lima, yang bermakna bahwa seseorang yang sudah mencapai derajat (maqam) tinggi/mulia dalam berperilaku.
Bentuk longsong ketupat juga beragam dan diberi nama sesuai dengan bentuknya. Ada kupat sintal, kupat luwar, kupat kodok, dan kupat logo. Sebagai metodologi dakwah, oleh para wali, tradisi itu kemudian dimasuki nuansa Islam. Dalam tradisi tersebut dihadirkan upacara kupatan yang perlengkapannya menggunakan ketan, kolak, dan apem yang diberi wadah daun pisang yang dibentuk sedemikian rupa menjadi takir. Ketan, diambil dari kata katam, takir dari kata zikir, dan apem dari kata afwan atau ampunan. Dari situ jelas, kupatan lebih akrab dalam konvensi adat Lebaran masyarakat Islam-Jawa.
Tetapi, sebagian masyarakat mengklaim adat kupat lepet berasal dari ajaran Islam. Dalihnya, dari makna lughawi leksikon Arab lewat naturalisasi bahasa. Jika bunyi “f” diucapkan “p” menurut lidah Jawa, maka kata kupat berasal dari kata kaaffah (totalitas) dan kifaata (tempat berkumpul). Sedang kata lepet berasal dari kata lafata dan lafada yang keduanya berarti mengeluarkan. Pendekatan lewat lughat Arab ini sebenarnya hanyalah othak athik mathuk.
Menurut leksikon Jawa, kata kupat berasal dari kupataya yang berarti wadah nasi. Sedang lepet merupakan metamorfosis dari kata luput, lepat, lepas yang berarti kealpaan. Dalam versi lain ada pula yang mengartikan, kupat (ketupat) berasal dari Jarwo Dhosok (makna kata) ngaku lepat (mengaku salah). Ngakoni sedoyo kalepatan (mengakui segala dosa dan kesalahan). Ada juga yang memaknai laku papat, mengku nefsu papat. Jika ditelaah, semua anasir kata hasil rekaan (othak athik mathuk) itu bermuara ke arah pengakuan dosa manusia. Pengakuan yang sekaligus peleburan dosa ini bisa dalam implementasi unjung-unjung (silaturahmi keluarga). Mereka saling membuka diri, berangkulan dan bersalaman untuk meminta maaf atas segala kesalahan.
Etimologi dari leksikon Jawa ini tampaknya lebih mengena dibanding leksikon Arab. Dilihat dari bahan bakunya. Pembungkus dari janur kelapa serta isinya beras dan ketan (padi), jelas ini nabati Jawa, bukan nabati Arab (kurma). Dan, dari mitologi Jawa tentang Dewi Sri Sadono (Dewi Padi), kisah ini sudah ada sejak zaman pemerintahan di Medang Kamulan, sekitar abad ke 5 Masehi, zaman prasejarah. Sebelum menuai padi (Dewi Sri), petani Jawa tempo dulu menandai dengan upacara sakral methik (mengambil penganten padi sebagai simbol awal memanen) dengan ritus selamatan kupat lepet. Melaksanakan nazar misalnya, juga selamatan dengan peranti kupat luwar. Bahkan menolak bala pun dengan menggunakan kupat yang dianggap bernilai magis. Kupat yang sudah diberi mantra (doa) biasanya digantungkan di atas pintu atau di depan kaca mobil. Malah, ada juga yang dikalungkan pada leher hewan-hewan peliharaan seperti kambing dan sapi.
Mitologi padi dan kepala dari segi teologis jelas berbau mistis. Tetapi perkembangannya sekarang selamatan kupat lepet tidak lagi sakral, metafisis, apalagi mistis. Kupat lepet kini lebih mengarah pada fungsi sebagai mediator antarmanusia saling berkunjung atau silaturahmi. Makna usul manusia juga mulai luntur. Kupat lepet, tidak lebih dianggap sekadar makanan biasa yang kebetulan berbentuk benda mirip yoni (kupat) dan bulat panjang berbentuk lingga (lepet). Kupat lepet kini lebih sebagai budaya jasmani ketimbang budaya rohani. Walaupun secara filosofis dan simbolis, kupat lepet sarat dengan budaya rohani.
Makanan jenis apa pun, juga kupat lepet, tiada pernah memiliki nilai magis. Kupat lepet juga berbagai makanan lainnya, sepenuhnya profan sebagaimana profannya buah kurma yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai makanan pembuka puasa. Prof Dr Suripan Sadi Hutomo (alm), pakar budaya dan sastra Jawa menulis, jika kupatan diartikan permohonan maaf tidaklah sepenuhnya tepat. Sebab, bagi manusia Jawa, adat meminta maaf bukan harus dilakukan hanya di hari Lebaran. Di saat berbuat salah, maka seketika harus meminta maaf atau meminta ampun, karena hubungannya akan berlanjut pada religinya.
Walhasil, selamatan kupat lepet boleh-boleh saja asal saja diniati sebagai wahana silaturahmi sekadar sebagai makanan pengisi perut. Mau mandi-mandi di laut silakan, asal tidak diracuni dengan mistik dan klenik. Anggap saja rekreasi, back to nature. Jangan lupa membawa kupat lepet agar tidak kelaparan dan kehabisan energi dalam memaknai kupatan. Kupat lepet, ora liwat andum slamet. Semoga.*)
*) Penulis adalah wartawan freelance & konsultan pemberdayaan umat.