JEMBER, RADARJEMBER.ID – Wacana tentang internasionalisasi bahasa Indonesia sudah lama tergaung. Cita-cita ini pun sudah bertengger pada salah satu pasal Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009. Dalam pasal 44 ayat pertama UU tersebut diatur bahwa pemerintah meningkatkan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan. Dan tampak sekali, usaha peningkatan fungsi bahasa Indonesia itu belum mencapai tujuannya hingga saat ini. Meski begitu, semangat internasionalisasi bahasa Indonesia belum sama sekali surut.
Semangat itu antara lain terlihat dari acara kuliah umum yang diselenggarakan oleh Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjamin Mutu Universitas Jember (LP3M Unej) pada 20 April 2021 lalu. Kuliah umum yang dilangsungkan secara virtual ini mengangkat topik Menggagas Peluang Bahasa Indonesia Menjadi Bahasa Internasional dan mengundang Prof Dr Koh Young Hun dari Hankuk University of Foreign Studies, Korea Selatan, sebagai narasumber. Luar biasanya, acara ini diikuti lebih dari 1000 peserta melalui aplikasi Zoom Cloud Meetings dan banyak peserta lainnya melalui siaran langsung pada kanal YouTube Unej Official.
Pada kuliah umum tersebut, Prof Koh memaparkan pandangannya mengenai gagasan internasionalisasi bahasa Indonesia. Beliau meyakinkan kepada seluruh peserta bahwa bahasa Indonesia sangat memungkinkan untuk menjadi bahasa Internasional. Hanya, perlu upaya yang lebih ekstra yang harus dilakukan.
Meskipun pada ujungnya adalah melalui jalan politik, tidak serta-merta sebuah bahasa bisa menjadi bahasa internasional. Terdapat banyak hal yang menjadi ukuran. Supriyanto Widodo dalam laman badanbahasa.kemdikbud.go.id, misalnya, mengatakan bahwa untuk menjadi bahasa Internasional, sebuah bahasa harus memenuhi faktor intrabahasa (bahasa itu sendiri) dan ekstrabahasa (hal-hal yang berada di luar bahasa).
Bahasa Indonesia dalam segi intrabahasa dikatakan sangat potensial untuk menjadi bahasa internasional. Sistem bahasanya jelas yang disajikan dalam buku panduan berupa Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI), penulisannya menggunakan huruf latin yang mana telah berlaku secara internasional, mudah beradaptasi yang proses penyempurnaan istilahnya tertuang dalam Pedoman Umum Pembentukan Istilah (PUPI), sistemnya sederhana, dan sebagainya.
Dalam segi ekstrabahasa, jumlah penutur bahasa Indonesia dan persebarannya adalah kunci. Tercatat dalam World Atlas, penutur bahasa Indonesia adalah 1,99 juta dan menduduki peringkat ke-10 dalam daftar bahasa yang paling banyak digunakan di dunia. Kepala Balai Bahasa Jawa Barat Umar Solihan dalam ayobandung.com (27/6/2019) mengatakan bahwa ada 56 negara dan 222 lembaga bahasa di dunia yang saat ini mempelajari bahasa Indonesia.
Baik dari segi intrabahasa maupun ekstrabahasa, tampaknya bahasa Indonesia memang potensial menjadi bahasa internasional. Akan tetapi, di samping itu, ada hal mendasar yang sering dilupakan, yakni pengertian bahwa bahasa sejatinya adalah alat. Dan, sebuah alat akan tergeletak begitu saja apabila tidak dibutuhkan. Bahkan, seseorang tidak akan membeli sebuah alat apabila orang tersebut tidak membutuhkannya. Seorang nelayan tidak akan membeli traktor karena alat transportasi yang ia perlukan adalah perahu/kapal. Seorang warga asing tidak akan menggunakan bahasa Indonesia, jika yang ia perlukan bukanlah bahasa Indonesia.
Dalam kuliah umum yang diselenggarakan LP3M Unej, Prof Koh mengatakan bahwa bangsa Indonesia harus mengenalkan Indonesia dahulu, baru bahasa Indonesia-nya. Hal ini logis. Melalui ungkapan profesor yang mendapat penghargaan Presidential Friends of Indonesia (2014) itu, dapat dikatakan bahwa Badan Bahasa tidak bisa bergerak sendirian dalam upaya internasionalisasi bahasa Indonesia. Perlu sinergi dengan berbagai sektor lain. Bahkan, berbagai sektor lain itu tampaknya harus berjalan terlebih dahulu daripada Badan Bahasa.
Saat ini, bahasa resmi PBB—bahasa resmi PBB menjadi salah satu tolok ukur sebuah bahasa untuk dikatakan sebagai bahasa internasional—ada enam, yaitu Inggris, Perancis, Spanyol, Rusia, Mandarin, dan Arab. Jika ditelusuri, enam bahasa tersebut dapat menjadi bahasa internasional karena keenamnya adalah alat yang dibutuhkan oleh masyarakat secara luas. Misalnya, bahasa Inggris. Kerajaan Inggris memiliki wilayah jajahan yang tersebar di seluruh penjuru dunia. Karena itu, mau tidak mau, wilayah jajahan harus menggunakan bahasa Inggris, bahkan menjadikannya bahasa resmi. Hal yang sama juga terjadi pada bahasa Spanyol dan Perancis. Selain itu, alasan lainnya ada pada dunia ilmu pengetahuan. Adanya boikot terhadap ilmuwan Jerman oleh ilmuwan Belgia, Perancis, dan Inggris setelah Perang Dunia I membuat ditinggalkannya bahasa Jerman yang sebelumnya banyak dipakai ilmuwan Eropa. Ditambah lagi, adanya gerakan anti-Jerman di Amerika Serikat membuat para ilmuwan terpaksa beralih ke bahasa Inggris. Hingga kini, bahasa Inggris semakin kokoh menjadi bahasa utama di bidang ilmu pengetahuan.
Berbeda dengan bahasa Inggris, perdagangan adalah alasan mengapa bahasa Mandarin menjadi bahasa Internasional. Dalam sejarahnya, etnis Tionghoa banyak melakukan perjalanan untuk berdagang ke berbagai negara, bahkan bermukim di berbagai negara tersebut. Hal ini tentu saja membuat bahasa Mandarin turut tersebar. Hal yang sama terjadi pada bahasa Arab—di samping karena tersebarnya umat muslim di seluruh dunia dan karena bahasa Arab adalah bahasa dalam kitab suci Alquran yang wajib dipelajari—perdagangan menjadi salah satu alasan mengapa bahasa Arab menjadi bahasa internasional.
Berkaca pada hal itu, upaya Badan Bahasa untuk bekerja sama dengan lembaga-lembaga pendidikan atau lembaga-lembaga bahasa di berbagai belahan dunia untuk menyelenggarakan pembelajaran bahasa Indonesia adalah tepat, tetapi tampaknya akan sia-sia jika para siswa hanya mempelajarinya dengan terpaksa (hanya untuk mendapatkan nilai baik dari guru dan karena tidak bemanfaat pada kehidupannya kelak saat lulus). Tentu saja kolonialisasi/penjajahan bukanlah pilihan. Banyak sekali sektor yang bisa dikembangkan yang nantinya berdampak pada diperlukannya bahasa Indonesia untuk dipelajari masyarakat internasional.
Belajar saja pada yang sudah terjadi: sektor pariwisata, misalnya. Pariwisata dapat dikatakan menjadi alasan terbesar warga Australia mempelajari bahasa Indonesia. Alannah MacTiernan, Anggota Parlemen Australia Barat (republika.co.id, 2/9/2015) mengatakan bahwa tidak ada tempat yang paling sering dikunjungi warga Australia selain Indonesia. Dengan demikian, warga Australia memiliki alasan yang cukup kuat untuk belajar bahasa Indonesia. Itu juga yang membuat Australia memiliki program pembelajaran bahasa Indonesia secara sistematis mulai dari tingkat sekolah dasar sampai universitas. Dengan adanya fenomena ini, sinergi antara Badan Bahasa dengan Kementerian Pariwisata harus terus terjalin untuk mempertahankan, bahkan meningkatkan, sikap positif warga Australia terhadap bahasa Indonesia.
Sektor lain yang sangat memungkinkan, contohnya, adalah ketenagakerjaan. Di samping dipermudahnya perizinan tenaga kerja asing (TKA), hendaknya Pemerintah menegaskan bahwa syarat untuk TKA dapat bekerja di Indonesia adalah mampu menggunakan bahasa Indonesia, misalnya, dibuktikan dengan sertifikat UKBI. Sebenarnya, aturan ini pernah gamblang tercantum dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor 12 Tahun 2013, akan tetapi dalam Perpres Nomor 20 Tahun 2018 Pasal 26 ayat(1) poin c hanya ada persyaratan berupa fasilitas pendidikan atau pelatihan bahasa Indonesia bagi TKA oleh pemberi kerja TKA, bukan lagi mewajibkan penguasaan bahasa Indonesia terhadap TKA. Dalam hal ini, ada ketidaksinergisan, yakni antara cita-cita internasionalisasi bahasa Indonesia dengan kemudahan bagi TKA untuk bekerja di Indonesia.
Semangat internasionalisasi bahasa Indonesia masih sangat besar. Terlebih lagi, baik secara intrabahasa maupun ekstrabahasa, bahasa Indonesia sangat potensial menjadi bahasa internasional. Namun demikian, modal itu saja ternyata tidak cukup. Modal yang lebih besar ternyata berasal dari kebutuhan atau sikap positif warga dunia terhadap bahasa Indonesia dan hal itu dapat diperoleh dari sinergi berbagai sektor. Semoga semangat internasionalisasi bahasa Indonesia selalu terjaga.
Â
*) Penulis adalah dosen pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Jember.