Mewujudkan Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Keberadaan perpustakaan dipercaya sudah terdapat pada zaman peradaban Sumeria, di mana sebagian koleksinya berasal dari lempengan tanah liat. Kala itu keberadaan dan mengaksesnya hanya untuk orang-orang kerajaan saja dan para pejabat pemerintahan, adapun rakyat biasa tidak diperbolehkan untuk membaca koleksi yang ada di perpustakaan tersebut. Berbeda dengan kondisi saat ini di mana perpustakaan sudah menjadi bagian integral layanan publik pemerintah kepada masyarakatnya. Tujuannya agar sumber ilmu pengetahuan yang ada di perpustakaan dapat terus digali serta perpustakaan dapat berkontribusi bagi perkembangan kemajuan masyarakatnya.

Di samping itu, pelibatan perpustakaan dalam dinamika kehidupan masyarakat ialah dalam rangka membangun peradaban masyarakat. Pelibatan ini, bukanlah tanpa arah dan tujuan akan tetapi perpustakaan diharapkan mampu menjadi oase pengetahuan yang terus dapat berkontribusi secara signifikan dalam membangun martabat kemajuan bangsa. Maka tidaklah mengherankan kualitas suatu bangsa diukur dari tingkat kebermelekan terhadap sumber-sumber informasi yang ada terutama di perpustakaan.

Indonesia dalam urutan minat baca masyarakatnya masih sangat rendah bila dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, terlebih Singapura. Rendahnya minat baca masyarakat Indonesia disinyalir diakibatkan salah satunya adalah sulitnya akses masyarakat terhadap perpustakaan. Meskipun hal ini dapat dibantah dengan banyaknya layanan perpustakaan keliling yang diselenggarakan oleh berbagai perpustakaan daerah maupun penggiat komunitas literasi hingga dapat mendekatkan sumber informasi kepada khalayak pembacanya. Hal lainnya, yang dituding menjadi penyebab rendahnya minat baca adalah cepatnya lompatan perubahan budaya masyarakat Indonesia dari budaya oral ke visual lalu ke digital yang dengan mudah mengalihkan keberminatan dari membaca buku sehingga minat baca masyarakat menjadi rendah. Hal ini pun dapat dibantah juga dengan adanya beragam layanan perpustakaan berbasis audio visual bahkan digital seperti e-book yang dapat diakses secara mudah bahkan gratis di gawai sehingga jargon membaca buku dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja menjadi sangat lekat dengan akses e-book ini.

Lantas bagaimana peranan perpustakaan dewasa ini? perpustakaan nasional mencanangkan suatu program nasional yakni transformasi layanan perpustakaan berbasis inklusi sosial. Transformasi layanan ini tidak lain karena selama ini perpustakaan yang dianggap sebagai oase pengetahuan masih berada di ‘menara gading’ ilmu pengetahuan. Perpustakaan hanya diakses oleh orang ‘serius’ dan ‘terpelajar’ saja. Adapun masyarakat umum tidak memperoleh akses ke perpustakaan. Membangun inklusi sosial perpustakaan diartikan secara sederhana adalah bagaimana perpustakaan sebagai institusi yang mempunyai tupoksi mencerdaskan kehidupan bangsa dapat membangun kemandirian masyarakat lewat sumber informasi yang dimilikinya sehingga mampu meningkatkan kualitas hidup masyarakat pembacanya.

Lalu strategi apa yang perlu disiapkan perpustakaan dalam mewujudkan inklusi sosial perpustakaan. Dalam kaitan dengan tulisan ini, penulis mengadaptasi pendapat yang dikemukakan oleh UTTA (2019) menyampaikan lima hal yang bisa membangun kemandirian, di mana hal ini dapat diadaptasikan ke perpustakaan. Pertama; perpustakaan harus mampu mengidentifikasi kebutuhan belajar masyarakatnya, dengan mengetahui kebutuhan belajar masyarakat maka perpustakaan dapat mengetahui sumber-sumber informasi apa yang harus disiapkan kepada pembacanya misalnya perpustakaan yang berada di komunitas masyarakat nelayan maka sumber informasi yang dominan tersedia adalah tentang pengelolaan dan pengolahan hasil tangkapan ikan. Kedua; perpustakaan harus dapat menerapkan tujuan yang mengacu kepada kebutuhan belajar pembacanya, ini bermakna bahwa perpustakaan mempunyai tahapan rencana strategis dan operasional yang mengacu kepada kesesuaian kebutuhan informasi pembaca yang dilayaninya. Ketiga; perpustakaan mampu mengidentifikasi sumber belajar yang tepat bagi pembacanya ini dapat dilakukan perpustakaan dengan menyediakan informasi yang sesuai dengan latar belakang kebutuhan pembacanya maka alokasi pembiayaan yang dilakukan dapat tepat sasaran dan sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Keempat; perpustakaan dapat memberikan alternatif strategi pembelajaran yang sesuai dengan pembacanya ke sumber-sumber informasi yang tersedia di perpustakaan, karena setiap keragaman informasi yang ada di perpustakaan mempunyai pendekatan akses yang berbeda pula, dengan kata lain koleksi perpustakaan seyogianya beragam tidak terbatas koleksi teks saja akan tetapi digabungkan dengan koleksi audio-visual dan media informasi interaktif lainnya. Kelima; perpustakaan harus melakukan evaluasi terhadap beragam sumber informasi yang dimiliki apakah mempunyai dampak signifikan kepada peningkatan kemandirian bahkan kualitas hidup pembacanya.

Ringkasnya, peran perpustakaan dalam menyediakan sumber informasi harus dibarengi dengan membimbing pembacanya untuk dapat mengaplikasikan apa yang telah dibaca. Perpustakaan berbasis inklusi sosial yang digaungkan dapat berhasil dijalankan memerlukan konsistensi pemangku kepentingan serta menyadari bahwa perpustakaan merupakan organisasi yang harus bertumbuh sebagai organisasi pelayanan yang dapat membangun karakter manusia unggul. Dengan kata lain, peran perpustakaan bukan hanya menyediakan bahan bacaan semata akan tetapi bagaimana pembacanya dapat memahami konteks dari bahan bacaan. Harapannya, dengan memahami konteks bahan bacaan dapat melahirkan ide-ide yang membangun kemandirian serta inovasi pembacanya, hingga mampu memberikan manfaat bukan saja bagi dirinya akan tetapi juga bagi orang lain dan pada akhirnya dapat terbangun peradaban bangsa yang maju. Semoga.

 

*) Penulis adalah pustakawan Universitas Jember.