24.9 C
Jember
Saturday, 25 March 2023

Permohonan Fiktif Positif dan Sertifikat Tanah

Mobile_AP_Rectangle 1

Sertifikat Tanah merupakan salah satu bentuk produk pelayanan publik administratif. Ditinjau dari kacamata pelayanan publik, sertifikat termasuk Keputusan Tata Usaha Negara. Pelaksanaan penerbitan sertifikat oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) wajib tunduk pada ketentuan standar pelayanan publik. Jangka waktu penyelesaian layanan, serta sistem, mekanisme, prosedur layanan, merupakan unsur standar pelayanan publik.

Seringkali keluhan masyarakat adalah lamanya proses penerbitan sertifikat tanah. Karena itulah pemerintah melalui Kementerian ATR/BPN telah meluncurkan Program Prioritas Nasional berupa Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Berbagai terobosan telah dilakukan oleh BPN Kabupaten/Kota, misalnya menyelenggarakan Mal Pelayanan Publik (MPP). Semua upaya itu ditujukan untuk menjawab keluh-kesah masyarakat atas masalah-pertanahan. Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara menganggap tidak dikeluarkannya keputusan oleh badan atau pejabat tata usaha negara merupakan bentuk penolakan (fiktif negatif). Kemudian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan pada Pasal 53 mengubah makna “fiktif negatif” menjadi ‘fiktif positif’ yakni dengan tidak ditetapkannya dan/atau keputusan, dan/atau tindakan oleh pejabat tata usaha negara terhadap permohonan maka dianggap keputusan dan/atau tindakan yang dimohonkan dikabulkan dengan disusul permohonan ke pengadilan untuk memperoleh putusan penerimaan permohonan. Konsep baru inilah yang disebut ‘keputusan fiktif positif’.

Tidak jarang pendaftaran sertifikat tanah diawali dengan sengketa tanah sehingga saling gugat-ginugat. Dalam hal pihak yang telah mengantongi putusan yang berkekuatan hukum tetap (Inkracht Van Gewijsde) belum diterbitkan sertifikatnya, maka  ‘Keputusan fiktif positif’ menjadi solusinya. Permohonan Keputusan Fiktif Positif ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dapat mengurai hambatan penerbitan sertifikat oleh pihak BPN. Apalagi jika mengacu pada norma yang terdapat dalam Undang-Undang Cipta Kerja, justru tidak perlu lagi bermohon ke pengadilan untuk memperoleh putusan penerimaan permohonan, serta durasi waktu yang juga lebih singkat jika dibandingkan dengan dua undang-undang sebelumnya.  Moral force-nya adalah konsep “fiktif” itu sendiri yang hadir sebagai akibat dari diamnya pelaksana pelayanan publik. Slow response penyelenggara pelayanan publik adalah sesuatu hal yang tidak boleh terjadi dan harus diberikan konsekuensi berupa sanksi.

Mobile_AP_Rectangle 2

Adakah unsur pidana dalam hal menghambat proses penerbitan sertifikat melalui PTSL? Pasal 421 KUH Pidana sering digunakan untuk dugaan penyalahgunaan wewenang. Namun dalam hal diamnya pelaksana pelayanan publik tanpa alasan hukum yang benar untuk tidak segera menerbitkan sertifikat akan lebih tepat menggunakan Pasal 216 KUH Pidana. Pasal ini akan lebih memiliki korelasi substansi hukum atas dugaan ‘tidak melaksanakan perintah putusan pengadilan yang telah Inkracht van Gewijsde. Bahkan dalam realitasnya akan lebih memenuhi unsur menghalangi dalam menjalankan sesuatu peraturan undang-undangan.

- Advertisement -

Sertifikat Tanah merupakan salah satu bentuk produk pelayanan publik administratif. Ditinjau dari kacamata pelayanan publik, sertifikat termasuk Keputusan Tata Usaha Negara. Pelaksanaan penerbitan sertifikat oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) wajib tunduk pada ketentuan standar pelayanan publik. Jangka waktu penyelesaian layanan, serta sistem, mekanisme, prosedur layanan, merupakan unsur standar pelayanan publik.

Seringkali keluhan masyarakat adalah lamanya proses penerbitan sertifikat tanah. Karena itulah pemerintah melalui Kementerian ATR/BPN telah meluncurkan Program Prioritas Nasional berupa Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Berbagai terobosan telah dilakukan oleh BPN Kabupaten/Kota, misalnya menyelenggarakan Mal Pelayanan Publik (MPP). Semua upaya itu ditujukan untuk menjawab keluh-kesah masyarakat atas masalah-pertanahan. Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara menganggap tidak dikeluarkannya keputusan oleh badan atau pejabat tata usaha negara merupakan bentuk penolakan (fiktif negatif). Kemudian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan pada Pasal 53 mengubah makna “fiktif negatif” menjadi ‘fiktif positif’ yakni dengan tidak ditetapkannya dan/atau keputusan, dan/atau tindakan oleh pejabat tata usaha negara terhadap permohonan maka dianggap keputusan dan/atau tindakan yang dimohonkan dikabulkan dengan disusul permohonan ke pengadilan untuk memperoleh putusan penerimaan permohonan. Konsep baru inilah yang disebut ‘keputusan fiktif positif’.

Tidak jarang pendaftaran sertifikat tanah diawali dengan sengketa tanah sehingga saling gugat-ginugat. Dalam hal pihak yang telah mengantongi putusan yang berkekuatan hukum tetap (Inkracht Van Gewijsde) belum diterbitkan sertifikatnya, maka  ‘Keputusan fiktif positif’ menjadi solusinya. Permohonan Keputusan Fiktif Positif ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dapat mengurai hambatan penerbitan sertifikat oleh pihak BPN. Apalagi jika mengacu pada norma yang terdapat dalam Undang-Undang Cipta Kerja, justru tidak perlu lagi bermohon ke pengadilan untuk memperoleh putusan penerimaan permohonan, serta durasi waktu yang juga lebih singkat jika dibandingkan dengan dua undang-undang sebelumnya.  Moral force-nya adalah konsep “fiktif” itu sendiri yang hadir sebagai akibat dari diamnya pelaksana pelayanan publik. Slow response penyelenggara pelayanan publik adalah sesuatu hal yang tidak boleh terjadi dan harus diberikan konsekuensi berupa sanksi.

Adakah unsur pidana dalam hal menghambat proses penerbitan sertifikat melalui PTSL? Pasal 421 KUH Pidana sering digunakan untuk dugaan penyalahgunaan wewenang. Namun dalam hal diamnya pelaksana pelayanan publik tanpa alasan hukum yang benar untuk tidak segera menerbitkan sertifikat akan lebih tepat menggunakan Pasal 216 KUH Pidana. Pasal ini akan lebih memiliki korelasi substansi hukum atas dugaan ‘tidak melaksanakan perintah putusan pengadilan yang telah Inkracht van Gewijsde. Bahkan dalam realitasnya akan lebih memenuhi unsur menghalangi dalam menjalankan sesuatu peraturan undang-undangan.

Sertifikat Tanah merupakan salah satu bentuk produk pelayanan publik administratif. Ditinjau dari kacamata pelayanan publik, sertifikat termasuk Keputusan Tata Usaha Negara. Pelaksanaan penerbitan sertifikat oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) wajib tunduk pada ketentuan standar pelayanan publik. Jangka waktu penyelesaian layanan, serta sistem, mekanisme, prosedur layanan, merupakan unsur standar pelayanan publik.

Seringkali keluhan masyarakat adalah lamanya proses penerbitan sertifikat tanah. Karena itulah pemerintah melalui Kementerian ATR/BPN telah meluncurkan Program Prioritas Nasional berupa Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Berbagai terobosan telah dilakukan oleh BPN Kabupaten/Kota, misalnya menyelenggarakan Mal Pelayanan Publik (MPP). Semua upaya itu ditujukan untuk menjawab keluh-kesah masyarakat atas masalah-pertanahan. Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara menganggap tidak dikeluarkannya keputusan oleh badan atau pejabat tata usaha negara merupakan bentuk penolakan (fiktif negatif). Kemudian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan pada Pasal 53 mengubah makna “fiktif negatif” menjadi ‘fiktif positif’ yakni dengan tidak ditetapkannya dan/atau keputusan, dan/atau tindakan oleh pejabat tata usaha negara terhadap permohonan maka dianggap keputusan dan/atau tindakan yang dimohonkan dikabulkan dengan disusul permohonan ke pengadilan untuk memperoleh putusan penerimaan permohonan. Konsep baru inilah yang disebut ‘keputusan fiktif positif’.

Tidak jarang pendaftaran sertifikat tanah diawali dengan sengketa tanah sehingga saling gugat-ginugat. Dalam hal pihak yang telah mengantongi putusan yang berkekuatan hukum tetap (Inkracht Van Gewijsde) belum diterbitkan sertifikatnya, maka  ‘Keputusan fiktif positif’ menjadi solusinya. Permohonan Keputusan Fiktif Positif ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dapat mengurai hambatan penerbitan sertifikat oleh pihak BPN. Apalagi jika mengacu pada norma yang terdapat dalam Undang-Undang Cipta Kerja, justru tidak perlu lagi bermohon ke pengadilan untuk memperoleh putusan penerimaan permohonan, serta durasi waktu yang juga lebih singkat jika dibandingkan dengan dua undang-undang sebelumnya.  Moral force-nya adalah konsep “fiktif” itu sendiri yang hadir sebagai akibat dari diamnya pelaksana pelayanan publik. Slow response penyelenggara pelayanan publik adalah sesuatu hal yang tidak boleh terjadi dan harus diberikan konsekuensi berupa sanksi.

Adakah unsur pidana dalam hal menghambat proses penerbitan sertifikat melalui PTSL? Pasal 421 KUH Pidana sering digunakan untuk dugaan penyalahgunaan wewenang. Namun dalam hal diamnya pelaksana pelayanan publik tanpa alasan hukum yang benar untuk tidak segera menerbitkan sertifikat akan lebih tepat menggunakan Pasal 216 KUH Pidana. Pasal ini akan lebih memiliki korelasi substansi hukum atas dugaan ‘tidak melaksanakan perintah putusan pengadilan yang telah Inkracht van Gewijsde. Bahkan dalam realitasnya akan lebih memenuhi unsur menghalangi dalam menjalankan sesuatu peraturan undang-undangan.

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca