“Menangkap Maling Berhadiah. Malam Hari Rp 500.000, Siang Hari Rp 300.000. Wilayah Hukum Polsek Patrang”
Demikian narasi persuasif itu ditulis pada banner merah dominan berikut foto Kapolres Jember. Dilansir dari beragam media, sayembara tersebut digelar untuk membangun partisipasi. Menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat agar tidak main hakim sendiri. Inovatif melahirkan ide, kreatif mengampanyekan. Tidak tahu, sudah berapa orang telah menerima kompensasi. Berapa maling telah ditangkap dan diproses. Sejauh mana efek kesadaran hukum masyarakat. Hingga kini belum ada informasi resmi. Di balik gelar sayembara ini, tersimpan beragam pertanyaan sebagai kontrol. Pertama, menyangkut payung hukum. Kedua, teritorial penyelenggara sayembara. Ketiga, soal otoritas Polri. Keempat, efektivitas fungsi.
Tidak ada satu pun, pasal dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian (UUK) yang bisa dijadikan cantolan hukum atau bisa ditafsirkan memberikan alasan pembenar atas giat sayembara. Dalam perspektif berfikir normatif, program apa pun yang dicanangkan, adalah representasi institusi. Polsek Patrang sebagai bagian dari Polres Jember. Mengomunikasikan gelar sayembara semacam ini wajib hukumnya ada landasan aturan yang konkriet dan berkepastian. Bahkan tidak cukup sebatas satu teritorial polsek, namun seluruh polsek yang ada di wilayah Polres Jember seharusnya turut serta dilibatkan. Kebijakan, apa pun nama dan tujuannya, sepanjang menyangkut kepentingan publik harus diberlakukan serentak. Tidak parsial. Kepentingan pengamanan dan ketertiban masyarakat merupakan fungsi kepolisian secara nasional. Inovasi, apa pun substansinya dibutuhkan afiliasi peraturan perundang-undangan. Termasuk sayembara menangkap maling. Sayembara ini seyogianya menjadi program terintegrasi, jika memang memiliki legalitas sebagai program.
Tidak jelas pula, apakah sayembara ini merupakan program yang dilandasi sebuah keputusan otoritatif yang melahirkan kewenangan insidental dan mengikat. Penangkapan merupakan kewenangan yang dimiliki polisi dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum. Penangkapan adalah tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka untuk kepentingan penyidikan. Penangkapan dapat dilakukan jika terdapat alat bukti yang cukup. Tindakan ini merupakan bagian dari upaya paksa yang boleh dilakukan polisi demi penyelesaian kasus yang sedang ditangani. Tapi, bisakah orang atau masyarakat yang bukan polisi melakukan penangkapan. Apalagi penangkapan dimaksud dilakukan tanpa ditopang alat bukti. Lantas apa makna “menangkap maling” dalam sayembara di Polsek Patrang itu? Tidak pernah ada sosialisasi akan hal ini. Apalagi penjelasan resmi. Sehingga opini yang berkembang menjadi multitafsir. Tidak berkepastian. Pada gilirannya menanamkan persepsi berbeda sebagai dasar melangkah dari para pihak yang menindaklanjuti sayembara ini.
Lantas, siapa yang termasuk kategori maling? Berdasar Kamus Besar Bahasa Indonesia, “maling” diartikan sebagai orang yang mengambil milik orang lain tanpa izin atau dengan tidak sah, biasanya dengan sembunyi-sembunyi. Kalau sayembara Polsek Patrang tersebut dibatasi subjek pelakunya, maka pelaku kejahatan nonmaling yang secara faktual juga menyebabkan kerusuhan, ketidaknyamanan, dan membahayakan tentu tidak termasuk rule kompensasi sayembara.
Potensi multitafsir dan motivasi transaksional mendapatkan kompensasi sayembara justru membuka kemungkinan terjadinya aksi menghalalkan segala cara. Aksi masyarakat dilatarbelakangi motif transaksi. Meskipun besaran nominalnya tidak berarti. Bergerak dengan asumsi tanpa alat bukti. Akhirnya, main hakim sendiri tak bisa dibendung lagi. Bahkan bisa menggores hak asasi. Main hakim sendiri adalah istilah bagi tindakan untuk menghukum suatu pihak tanpa melewati proses hukum. Termasuk menangkap. Kalaupun pemburu maling berhasil menangkap objek buruan, terus diserahkan ke aparat Polsek Patrang dalam kondisi babak belur, apakah kompensasi itu diberlakukan.