BEBERAPA tahun terakhir Negara Kesatuan Republik Indonesia sedang mengalami gangguan dari para oknum yang tidak bertanggung jawab yang mengatasnamakan agama sebagai aksi teror yang dilakukan di beberapa daerah yang ada di Indonesia. Tercatat pada Mei 2018, terjadi peristiwa pengeboman di beberapa tempat yang berbeda di Surabaya. Rata-rata para pelaku bom bunuh diri masih berusia muda. Misalnya, pengeboman yang terjadi di Gereja Katolik Santa Maria Surabaya. Pengeboman di Gereja itu dilakukan dua anak yang masih remaja, YF yang masih berusia 18 tahun dan FA yang dua tahun lebih muda.
Tiga tahun setelah kejadian teror di Surabaya, aksi teror kembali terjadi pada Maret 2021. Terjadi dua aksi teror selama kurang dari satu minggu. Aksi pertama terjadi peristiwa bom bunuh diri di Makassar yang dilakukan oleh pasutri muda yang baru menikah selama enam bulan. Pasutri itu sama-sama masih berumur 25 tahun. Mereka melakukan aksinya dengan menargetkan Gereja Katedral Makassar. Untungnya dari kejadian itu tidak ada masyarakat yang menjadi korban meninggal.
Tiga hari kemudian, pada tanggal 31 Maret 2021, terjadi aksi teror kembali yang dilakukan oleh seorang wanita berisial ZA (25). Kali ini bukan bom bunuh diri dari aksi wanita tersebut. Melainkan menggunakan senjata api. Dia nekat menerobos masuk ke dalam Mabes Polri dan menembakkan ke arah para polisi yang ada di dalam. Dia langsung meninggal karena terkena tembakan dari polisi yang mencoba mempertahankan diri.
Sungguh ironis kejadian yang menimpa negeri ini. Terlihat dari banyaknya para pelaku yang melakukan aksi terorisme yang masih tergolong usia muda. Entah apa yang membuat mereka bisa menjadi tertutup akal sehatnya. Sehingga nekat melakukan hal bodoh semacam itu.
Jika dilihat dari profil para pelaku teror yang melakukan aksinya di Makassar dan Mabes Polri, mereka ini menganut ideologi yang serupa. Pasutri yang melakukan bom bunuh diri di Makassar merupakan jaringan JAD (Jamaah Ansharut Daulah). Sedangkan pelaku penembakan di Mabes Polri sebelum melakukan aksinya, ia sempat memposting foto logo ISIS di akun Instagram milikinya.
Kesamaan berikutnya yaitu, mereka sama-sama menulis surat wasiat yang isinya pun hampir mirip. Bahkan salah satu surat wasiat dari pelaku teror di Mabes Polri dalam suratnya menyinggung nama mantan Gubernur DKI. Ini menggambarkan kalau para pelaku teror tersebut dalam diri mereka terdapat sebuah paham radikal dan kecendurungan untuk membenci orang yang berbeda paham atau keyakinan dari dirinya.
Presiden Joko Widodo dalam keterangan persnya pada tanggal 28 Maret 2021 menegaskan kalau terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan tidak memiliki kaitan dengan ajaran agama apa pun.
Sebagian orang justru menganggap para teroris ini melibatkan agama dalam aksinya. Terbukti dalam isi surat wasiat yang mereka buat. Mereka menulis kata “Surga, dosa, dan akhirat” di dalamnya. Dan juga para teroris ini meyakini bahwa aksi mereka itu akan mendapat balasan surga nantinya.
Bisa dilihat dalam sejarah bahwa kelompok ekstrimis Islam pertama yang melakukan aksi teror adalah Khawarij. Kelompok ini menilai bahwa kelompoknyalah yang paling Islami, dan tidak segan-segan mengkafirkan orang-orang yang berbeda paham dari mereka, meskipun orang itu juga beragama Islam.
Saat itu kelompok Khawarij ini berbeda paham dengan Ali bin Abi Thalib. Karena perbedaan paham itu mereka memutuskan untuk keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib dan membentuk aliran sendiri. Kemudian, pada tanggal 25 bulan Ramadan tahun 40 Hijriah, Ali bin Abi Thalib saat hendak menjadi imam salat Shubuh, dibunuh oleh anggota kelompok Khawarij yang bernama Abdurrahman bin Muljam.
Bisa dibilang kalau kelompok yang mengatasnamakan diri sebagai Khawarij ini sudah tidak ada lagi. Akan tetapi ajaran ekstremis yang mereka pakai rupanya masih ada hingga saat ini. Tak terkecuali juga terdapat di Indonesia.
Tentu ini menjadi sebuah renungan bagi bangsa Indonesia. Kok bisa banyak para anak muda ini sangat mudah sekali untuk dicuci otaknya oleh paham-paham radikalisme dan kebencian yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang mencoba merongrong NKRI.
Peran pemerintah dalam upaya deradikalisasi ini harus terus digencarkan. Jangan sampai ada lagi para pemuka agama yang dalam dakwahnya selalu saja mengkafir-kafirkan orang yang berbeda keyakinan dengannya. Secara langsung maupun tidak langsung, para pemuka agama yang suka mengkafir-kafirkan saudara sebangsanya inilah yang menjadi pemicu atau pendorong untuk orang menjadi membenci saudaranya sendiri, membenci orang yang tidak sepaham dengan dirinya, bahkan sampai rela membunuh orang lain.
Peran masyarakat dan orang tua juga diharapkan turut andil dalam menjaga para anak-anak muda ini supaya mereka terhindar dari ajaran radikalisme dan kebencian. Terutama dalam penggunaan media sosial. Media sosial ini ternyata juga menjadi media propaganda para pelaku ajaran ekstremis ini dalam usaha untuk merekrut para jihadis-jihadis ini untuk melancarkan aksinya. Mencari sosok guru atau panutan juga tidak kalah pentingnya. Carilah guru yang mengajarkan cinta kasih antar sesama tanpa membeda-bedakan suku, ras, dan agamanya.
Tidak hanya pemerintah dan keluarga saja yang harus berperan dalam mencegah berkembangnya radikalisme. Semua lapisan masyarakat, terutama para influencer yang memiliki pengikut dengan jumlah banyak dan memiliki suara yang berpengaruh juga harus ikut menyebarkan tentang pentingnya melawan paham radikilasme dan kebencian ini.
Peran generasi muda juga sangat penting. Janganlah jadi generasi muda yang berpikiran sempit dan mudah menerima ajaran atau ajakan untuk membenci saudara sebangsa dan setanah air. Bagaimanapun juga dalam 20-50 tahun ke depan, tanggung jawab negara ini akan berada di tangan anak muda. Kalau paham-paham radikalisme ini tidak dihilangkan dari pikiran generasi muda kita, maka negara ini pasti akan mengalami kehancuran.
*) Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Sejarah di Universitas Jember.