Reformasi PSSI: Berbenah Menyelamatkan Timnas

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Meski bermain imbang 2-2 melawan Thailand pada Kamis (3/6) lalu, Timnas Indonesia begitu ramai mendapat respek dari warganet. Selain karena mendapat poin pertama di kualifikasi Piala Dunia 2020 setelah menjalani pertandingan keenam, warganet menilai penampilan Timnas Indonesia berubah drastis. Di bawah asuhan Shin Tae Yong, Timnas Indonesia mampu bermain ciamik melalui umpan pendek sebelum mencetak dua gol penyama kedudukan.

Perlu diketahui, sebelum Shin Tae Yong menjadi juru ‘racik’, timnas cenderung dan sangat monoton menggunakan strategi umpan panjang. Jelas membosankan. Di sisi lain, pemain yang diturunkan adalah pemain muda. Penggodokan pemain muda ini merupakan hal baik untuk masa depan sepak bola Indonesia. Strategi yang luar biasa, kata banyak pengamat sepak bola

Belum seminggu dari euforia kebahagiaan saat melawan Thailand, secara mengejutkan timnas Indonesia dibantai 4-0 melawan Vietnam, Selasa (8/6). Warganet berubah bak serigala yang menghantam pemain timnas melalui media sosial.

Indonesia kalah segalanya melawan Vietnam. Sepanjang pertandingan, Vietnam melepaskan 17 tembakan dengan enam di antaranya tepat sasaran. Sedangkan Indonesia, miris. Hanya bisa melakukan empat tendangan dan satu di antaranya tepat sasaran.

Belum sampai di situ, 4 hari kemudian, giliran UAE yang membantai timnas Indonesia dengan skor 5-0. Permainan yang kalah semua aspek dari UAE.

 

Siapa yang Salah?

Ini inti tulisan ini. Siapa yang salah? Siapa yang perlu berbenah dan siapa yang perlu sadar diri akan ambang kehancuran sepak bola kita.

Apakah Shin Tae Yong yang datang dengan visi permainan atraktif yang sarat pengalaman melatih Korea Selatan di Piala Dunia patut untuk disalahkan, kemudian layak untuk dipecat? Penulis rasa keliru. Shin Tae Yong begitu disiplin dalam memberikan arahan kepada timnas. Perlu diketahui, Shin Tae Yong tidak hanya memikirkan strategi permainan. Lebih dari itu, dia membentuk pemain timnas yang disiplin. Sudah banyak pemain yang dikeluarkan dari timnas karena tindakan indisipliner. Sebut saja Yudha Febrian yang dikeluarkan dari timnas karena telat datang latihan. Setelah diusut, Yudha didapati malam harinya datang ke kelab malam.

Sekali lagi, sangat tidak etis jika coach Shin Tae Yong disalahkan atas keburukan permainan timnas.

Apakah pemain yang dianggap bersalah? Juga tidak etis. Bagi penulis, skuad timnas yang bermain sudah melakukan kerja keras. Mereka adalah pemain disiplin yang dididik berbulan-bulan. Melakukan TC jangka panjang.

Hingga akhirnya, PSSI-lah yang harus bertanggung jawab. Carut-marut pengelolaan liga Indonesia menjadi hal yang memiriskan. Hal ini berdampak serius terhadap kinerja timnas. Selama pandemi, beberapa negara di asia tenggara bisa melakukan kompetisi liga. Kenapa Indonesia tidak? Malaysia, Thailand, Vietnam, sudah jauh-jauh hari liga diselenggarakan dengan protokol yang ketat. Kenapa liga Indonesia begitu rumit?

Penyelesaian carut-marut PSSI harus dilakukan dengan kolosal. PSSI bukanlah lembaga sembarangan yang seenaknya dianaktirikan. Dirjen bahkan Ketua PSSI haruslah yang paham tentang sepak bola. PSSI ada baiknya dipimpin oleh mantan pemain atau pegiat sepak bola yang paham tentang kondisi. Kalau kita lihat ke belakang, banyak sekali carut-marut lainnya yang bisa menjerumuskan sepak bola ke jurang bernama “mati prestasi”. Sebut saja korupsi di tubuh PSSI yang tak kunjung selesai. Varian korupsi yang paling sering kita jumpai adalah pengaturan skor atau sepak bola gajah yang sering melibatkan exco PSSI. Korupsi adalah akar dari terpuruknya timnas. Jangan lagi ada sentimen terhadap pemain dan pelatih atas keterpurukan ini. Lantangkan bahwa sistem dan manajemen PSSI sendiri yang harus berbenah dari secara kolosal. Satu solusi: reformasi PSSI!

 

*) Penulis adalah mahasiswa Teknologi Pertanian Universitas Jember. Bergiat sebagai jurnalis warg