JEMBER, RADARJEMBER.ID – Sesuai data sensus penduduk tahun 2020 dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat total populasi Indonesia mencapai 270,2 juta jiwa, naik 32,6 juta jiwa dibandingkan dengan tahun 2010. Dari total tersebut, populasi Indonesia didominasi dengan generasi milenial dan generasi Z. itu artinya, dilihat dari tahun kelahirannya, ialah kurun waktu kelahiran tahun 1981-1996 disebut dengan generasi milenial, serta kelahiran dengan tahun 1997-2012 disebut dengan generasi Z.
Hal ini berhubungan dengan tidak asingnya kedua generasi tersebut ketika berbicara tentang kemajuan teknologi maupun internet. Sejak pertama masuknya internet ke Indonesia, sekitar tahun 1990-an hingga kuartal II 2020, terdapat 196,7 juta pengguna internet di Indonesia. Terbanyak ke-4, jika menilik dari data Statistics Traffic Internet (STI) per Januari 2021.
Tak heran jika hari ini kita memaknai dunia dengan Revolusi Industri 4.0. Kehidupan umat manusia di dunia sudah akrab dengan teknologi yang lebih canggih dari sebelumnya. Jika dulu dunia diselimuti oleh hal yang mekanis, sekarang semua itu berubah menjadi digitalisasi bahkan personalisasi. Perlu banyak lemari untuk menyimpan berkas, sekarang bisa disimpan pada cloud yang tidak memerlukan banyak space dalam menyimpan berkas. Sebuah kemajuan dalam penyimpanan dengan teknik komputasi awan.
Sinzo Abe, mantan Perdana Menteri Jepang, pada tahun 2019, di World Economic Forum mengatakan, Society 5.0 itu bukan cuma model. Tetapi, data yang menghubungkan semuanya. Ia membantu gap antara yang kaya dan yang kurang. Dari kedokteran sampai pendidikan. Memang sedikit polemik antara Revolusi Industri 4.0 dengan Society 5.0. Sederhananya, Revolusi Industri 4.0 membuat manusia lebih modern dengan memiliki akses terhadap teknologi.
Sedangkan Society 5.0 merupakan penggunaan teknologi yang telah menjadi bagian dari manusia itu sendiri. Kalau dulu kita pergi dan dirasa dompet tertinggal, kita akan kembali ke rumah. Sekarang, kita akan kembali ke rumah saat handphone kita tertinggal. Tidak punya uang karena dompet tertinggal masih bisa nebeng ke teman. Tapi, tidak dengan saat handphone kita tertinggal. Kita cenderung tidak mampu menjauh dari dunia nyata kedua kita.
Konsep Society 5.0 bisa jadi relevan, karena kita bukan hanya menggunakan internet untuk menjangkau aktivitas di media sosial kita. Tapi, hari ini sudah buram batasan antara dunia maya dengan dunia nyata. Hampir semua aktivitas kita tidak luput dari update stories di akun media sosial kita. Berlimpahnya media sosial dan tawaran kemudahan dalam penggunaannya, membuat garis pemisah antara dunia nyata dan dunia maya telah menjadi buram. Oleh karenanya, konsep Society 5.0 menawarkan masa depan yang memanusiakan manusia dengan teknologi.
Tantangan Zaman
Diuraikan di atas tadi bahwa kita telah memasuki masa Society 5.0 yang diisi oleh generasi milenial dan generasi Z. Dua generasi yang dirasa tidak gagap teknologi, walaupun bisa dibilang siap tidak siap dalam mengarungi Society 5.0. Kesiapan tersebut terlihat dari sejauh mana pemanfaatan teknologi di kehidupan keseharian. Memang tidak bisa kita menggeneralisasikan kecenderungan semua pihak. Buramnya pembatas dunia nyata dan maya berperan besar dalam perubahan tatanan sosial.
Terlebih kecenderungan menggunakan gawai, banyak dari kita yang masih nyaman menikmati shit post ketimbang memanfaatkan teknologi untuk berprogres, bermain game, ragam eksistensialis-nirsubstantif. Hasilnya apa? Kelahiran pragmatistik serta meningginya jumlah the death of expertise. User cenderung prematur menelan informasi yang masuk, sehingga membuat hilangnya kedalaman berpikir seseorang. Seharusnya penggunaan teknologi mampu membuat diri setiap individu mampu berkembang. Tidak ada yang salah dengan teknologi, bisa jadi pemanfaatannya saja yang tidak tepat.
Di sisi lain, perubahan tatanan sosial tersebut juga membuat lubang yang dalam. Data Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) mencatat adanya kesenjangan digital yang lebar di Indonesia. Bahwa kontribusi terbesar dimiliki oleh Provinsi Jawa Barat dengan 16,7 persen, dan kontribusi paling rendah ialah Provinsi Bengkulu, Sulawesi Barat, dan Papua Barat dengan kontribusi 0,3 persen.
Sekalipun kesenjangan itu nyata, bukan berarti semua tidak ingin menikmati kemajuan teknologi. Setiap individu cenderung memiliki achievement dalam upaya peningkatan diri, dan itu merupakan sesuatu yang wajar terjadi. Seperti dijelaskan Shalom H. Schwart, dalam Theory of Basic Human Value (2006), mengemukakan 10 nilai dasar manusia, salah satunya achievement, yaitu sebuah capaian kesuksesan pribadi dengan usaha secara optimal dengan menunjukkan kompetensi sesuai standar yang ditetapkan oleh lingkungan atau sesuai pasar.
Hal ini juga memperburuk citra teknologi yang harusnya memudahkan individu dalam mengembangkan diri mereka. Karena upaya membutuhkan penilaian dari orang lain, pemanfaatan teknologi semakin mengikis nilai falsafah bernegara. Akses teknologi bukan untuk memperdalam pengetahuan akan pentingnya gotong-royong dalam kehidupan keseharian. Melainkan menumbuhkan ciri masyarakat individualis-pragmatis yang lebih memikirkan diri sendiri ketimbang orang lain.
Memang Prof Yuval Noah Harari dalam bukunya Homo Deus memprediksi bahwa manusia masa depan tidak akan terlibat pada perang fisik, melainkan akan perang teknologi. Negara yang maju secara teknologi akan menguasai negara kecil yang lemah dalam bidang teknologi. Sekalipun teknologi masuk secara masif, tapi pemanfaatannya tidak bijak. Maka tetap saja negara tersebut dikuasai oleh negara lain.
Maka dari itu diperlukan deep thinking supaya individu yang masuk dalam kategori generasi milenial dan Z tidak terjebak dalam the death of expertise, pragmatisme. Dibutuhkan keseimbangan antara pengembangan teknologi dan pengembangan tradisi literasi. Teknologi memudahkan kita, bukan berarti merapuhkan kerangka berpikir kita.
Contoh konkretnya saat demo Omnibus Law kemarin, seseorang demonstran memelesetkan Pancasila dengan “pancasalah”. Terlepas ini sebuah kebebasan ekspresi di depan umum, pelesetan Pancasila merupakan kecacatan logika. Dari artinya sendiri dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tahun 1945, panca yang berarti lima dan sila yang berarti dasar. Pancasila merupakan lima dasar aturan dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari.
Lima dasar yang lahir dari perjalanan panjang dan sebuah representasi dari kebiasaan masyarakat yang ada di Indonesia pra-kemerdekaan. Ketika proses panjang kedalaman berpikir tersebut seolah tidak dihargai, maka apa yang pantas disematkan kepada demonstran yang dengan lantang dan sadar memelesetkan Pancasila? Atau mempertanyakan seberapa jauh dia memahami Pancasila? Langkah yang cukup persuasif.
Ketika manusia memiliki nilai dasar, maka dalam bermasyarakat juga memiliki nilai-nilai dasar. Pancasila contohnya, jangan kita memburu kemajuan teknologi dengan meminggirkan nilai yang telah tertanam sebagai dasar hidup bernegara. Bijaknya, teknologi menolong kita untuk memudahkan segala urusan.
Belum juga bumi terbebas dari pandemi yang melumpuhkan segala sendi kehidupan. Beberapa negara melakukan pembatasan ketat, walaupun beberapa ada yang lunak. Dengan kemajuan teknologi juga dapat mempererat persatuan kita dalam penanggulangan pandemi Covid-19 ini. Mengabarkan pesan positif menerapkan protokol kesehatan supaya pandemi ini dapat berangsur menghilang. Tidak mudah kita beradaptasi dengan hal yang baru, pandemi merupakan hal baru dalam kehidupan generasi milenial dan Z.
Pancasila harusnya mampu dijadikan dasar untuk menanggulangi pandemi ini. Semua masyarakat saling bergotong-royong menerapkan protokol kesehatan. Bukan malah tidak percaya serta abai dengan pandemi. Seluruh dunia sedang terdampak pandemi, tak terkecuali Indonesia. Kita harus percaya bahwa falsafah hidup bernegara kita masih akan relevan dengan berbagai zaman.
Jika Society 5.0 menawarkan konsep memanusiakan manusia dengan teknologi, maka hal ini sejalan dengan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab yang terdapat pada sila ke-2 Pancasila. Jadi, Pancasila masih relevan sampai hari ini. Memanusiakan manusia dengan teknologi, artinya bukan hanya kemajuan teknologi yang semakin mengaburkan batas realitas dan maya, tapi juga mengaburkan batas antara si kaya dan si miskin. Teknologi untuk semua, imortalitas Pancasila dalam genggaman digitalisasi-personalisasi.
*) Penulis adalah Ketua Komunitas Setretanan Dhibik (STD) Bondowoso.