Hari itu, 1 Maret 2023, di Jawa Pos tersiar kabar mengenai seorang anak kelas 4 SD di daerah Banyuwangi yang melakukan bunuh diri di rumahnya karena terindikasi di-bully teman-temannya karena statusnya sebagai anak yatim. Sebagai insan pendidik, saya tergerak untuk membahas berita ini di kelas. Tepat pula dengan materi heterogenitas sosial yang minggu ini hendak saya sampaikan. Saat saya memulai menceritakan berita ini, banyak respons dari siswa. Ada yang langsung berusaha menyambung menceritakan yang ia baca, ada yang terbengong-bengong karena sama sekali tidak mengetahui.
Kesempatan saya berikan kepada siswa yang tahu untuk menyampaikan yang sudah ia ketahui dari media massa. Apresiasi tinggi untuk siswa yang masih menyimak berita, di tengah gencarnya gempuran game online dan demam K-pop saat ini.
Dari yang disampaikan siswa, sebagai guru saya menyisipkan empati untuk korban dan memberikan nasihat kepada siswa untuk tidak melakukan tindakan bullying kepada teman. Saya meminta siswa saya untuk menjaga lisan, jangan sampai karena lisan kita yang tajam, mengakibatkan hal buruk untuk orang lain.
Melihat korban sebagai anak yatim, seharusnya kita menyayangi, bukan malah mengejek atau menghina. Jika boleh memilih, tentu tidak seorangpun yang ingin kehilangan orang tua. Tentu semuanya memilih keluarga yang utuh, harmonis dan bahagia. Namun tentu, Tuhan Yang Maha Esa punya garis takdir yang berbeda untuk tiap individu.
Dalam hadits Nabi, “Aku dan orang yang menanggung anak yatim (kedudukannya) di surga seperti ini”, kemudian beliau mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengah beliau, serta agak merenggangkan keduanya. (HR. Bukhari). Dalam hadis ini menandakan betapa dekatnya Baginda Nabi dengan penyantun anak yatim. Manusia hendaknya menyayangi anak yatim, tidak malah menghardik atau menyia-nyiakannya.
Beberapa anak terlihat berkaca-kaca menahan tangis dan pilu. Bisa jadi, apa yang saya sampaikan relate dengan cerita hidup mereka. Padahal siswa saya anak SMA, yang sudah lebih dewasa dari si anak dalam berita.
Bullying apa pun bentuknya tidak boleh terjadi di lingkungan sekolah. Peran guru sangat penting untuk membina siswa. Guru harus turut responsif dengan curahan hati siswa. Tidak lagi menganggap curahan hati siswa sebagai guyonan belaka. Guru dituntut untuk bijak dalam menanganinya. Ada guru Bimbingan Konseling yang bisa menjadi mitra dalam mengatasi jika menemui kendala.
Apalagi di tingkatan SMA interaksi satu kelas dengan satu guru yang terbatas. Waktunya berkisar mulai dari 45 hingga 90 menit saja. Siswa di kelas harus diberi pengertian untuk melaporkan jika ada kasus pem-bully-an. Tidak perlu takut dan ragu. Karena rekan sekelaslah yang paling mengetahui keseharian dan pola interaksi kelas tersebut.
Di sekolah pun, dibentuk tim satgas antiperundungan dan bullying. Di mana bullying pun sudah menjadi isu nasional dan dibahas pula dalam aplikasi PMM (Platform Merdeka Mengajar). Semua pihak bekerja sama untuk memberantas perundungan.
Berita kedua yang saya jadikan pembuka materi adalah kasus penganiayaan David Ozora (17). Dari kasus itu, ajakan refleksi disampaikan untuk menyayangi teman. Jika ada masalah hendaknya diselesaikan dengan mediasi, klarifikasi dan tidak main hakim sendiri.
Selain itu, penekanan kepada karakter untuk tidak perlu sombong mengglorifikasi atas pencapaian orang tua. Karir orang tua tentu dibangun atas usaha keras dan kegigihan. Tidak sepatutnya sebagai anak kita melempar kotoran dan membuat citra buruk untuk keluarga karena perilaku tidak terpuji seperti pelaku penganiayaan David Ozora. Saya sebagai guru mengajak mereka selalu rencah hati, memperbanyak syukur dan tidak flexing.
Kita harus mencoba merefleksikan setiap tutur kata dan tindakan. Bayangkan kita berada di posisi orang lain sebelum kita bertindak. Dipukul itu sakit, maka tidak usah kita sok jagoan dan menganiaya orang.
Masyarakat Jember adalah masyarakat yang heterogen. Terdiri dari unsur yang bermacam-macam baik susunan keluarganya, ras, suku, agama, ciri-ciri fisik maupun tingkat sosial ekonominya. Kebetulan lokasi mengajar saya di pusat kota di mana heterogenitas ini sangat terasa.
Heterogenitas ini pun bisa kita jumpai dalam lingkup sekolah yang mana siswa jumlahnya ratusan. Di mana sekolah adalah miniatur masyarakat. Apa yang ada dalam masyarakat dicontohteladankan dalam sekolah. Dari adanya keberagaman ini, hendaknya kita saling mengasihi.
Siswa kita kelak nantinya akan menjadi orang-orang hebat di zamannya. Pendidikan karakter dan moral amatlah penting supaya kelak dewasa nanti mereka bisa arif bijaksana. Menyadari manusia tidak bisa hidup sendiri dan tidak boleh berlaku sewenang-wenang saat dilimpahi kekuasaan. Maka di sekolah siswa perlu dibekali untuk belajar bertanggung jawab dan berwirausaha supaya bisa menjadi generasi yang tangguh secara ekonomi dan tahu sulitnya memulai usaha dari nol.
Dengan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) yang menjadi salah satu program dalam Kurikulum Merdeka, diharapkan karakter baik bisa terbentuk. Siswa SMA yang merupakan generasi muda perlu diberikan kegiatan positif supaya mereka tidak terbawa dalam arus depresi, bullying dan kekerasan.
Tema P5 yang saat ini dijalankan yaitu tema kewirausahaan. Siswa diminta untuk membuat proposal business plan, membuat demo produk untuk sampel dan nantinya akan ada bazaar yang rencananya akan dilaksanakan menjelang akhir semester 2.
Kegiatan saat ini sudah memasuki demo produk yaitu proses pengolahan pembuatan barang dan jasa yang akan mereka tampilkan saat bazaar nanti. Bapak ibu guru dan teman sebaya memberikan kritikan dan masukan untuk produk yang siswa buat. Siswa belajar untuk terbuka menerima kritik dan saran. Kegiatan yang baik ini semoga bisa menghindarkan siswa dari kenakalan remaja apa pun bentuknya.
*) Penulis adalah Guru Sosiologi di SMA Negeri 1 Jember