Sejarah mencatat, beberapa orang, terlepas itu rakyat jelata, tokoh, artis, pejabat rendahan, hingga pejabat kelas berat, dengan pede-nya pernah menyebarkan sebuah kebohongan di media (alternatif maupun maisntream) dengan level kebohongan paling kecil hingga paling “barbar“. Biasanya kebohongan dikenali sebagai sebuah kebenaran pada awalnya oleh penerima informasi (pembaca, pendengar, dan penonton) hingga pada akhirnya semua kepalsuan terbongkar.
Baca Juga : WhatsApp Ketua MUI Bondowoso Diretas, Digunakan untuk Menipu
Tentu saja contoh dari kebohongan yang disebarkan di media tidak akan bisa kita sebutkan satu per satu. Akan membutuhkan ratusan bahkan ribuan jilid buku jika kita ingin mendokumentasikan berbagai kebohongan yang pernah menghebohkan publik. Belum lagi yang disebutkan di naskah-naskah kuno.
Jangankan rakyat biasa, presiden sekalipun tidak luput menjadi korban kebohongan (yang disebarkan melalui media). Pada tahun 1950-an, Presiden RI pertama, Ir Sukarno, pernah mengundang ke istana negara, dua orang pasangan yang disebut media pada saat itu sebagai raja dan ratu suku pedalaman Jambi, yang belakangan terbongkar, identitas kedua orang tersebut ternyata tukang becak danāmaafāpelacur. Salah satu penyebabnya mereka ada yang keceplosan berbahasa Jawa Tegal, bukannya berbahasa Jambi pedalaman. Beruntung, belum ada media sosial seperti Twitter pada waktu itu. Setidaknya masalah tidak tambah runyam dan berkepanjangan, meskipun terdokumentasi dengan baik.
Efek sementara bagi yang “berhasil lolos” berbohong di media, pada awalnya akan memberikan efek famous (tergantung seberapa heboh). Namanya akan melambung dikenal banyak orang. Bahkan bualannya terkadang menjadi inspirasi dan motivasi bagi orang banyak. Tetapi dapat ditebak, karena struktur “bangunan” kebohongan yang didirikan selalu di atas fondasi rapuh kepalsuan, sesuatu yang tidak ada faktanya, maka tinggal menunggu waktu “bangunan” itu akan ambruk dan menjadi bancana bagi pelakunya dan bahkan berimbas kepada orang lain.
Pada tahun 2003, George W. Bush, Presiden Amerika ke-43, di depan media seluruh dunia menuduh Irak memiliki senjata pemusnah masal yang dapat membahayakan dunia. Semua orang pada waktu itu yang mengikuti berita manggut-manggut berjamaah sambil berharap USA segera menghajar Saddam Hussein dan mengembalikan “keamanan” dunia. Singkat cerita, setelah Irak hancur lebur oleh serangan militer Amerika, tidak berselang lama borok dari operasi militer itu terungkap di media. Intelijen “salah” memberi informasi. Ternyata Irak tidak memiliki senjata pemusnah masal, dan peristiwa itu dinobatkan sebagai salah satu skandal terbesar yang dilakukan oleh negara Paman Sam. Namun, Irak kadung hancur gara-gara berita bohong dan Amerika yang awalnya didukung malah berbalik dikutuk berjamaah.
Bencana bagi individu yang berbohong di media massa paling ringan berupa “kemaluan” (baca: mendapat malu) yang dapat menghancurkan nama baik, karir, dan harga diri di mata masyarakat dan dikucilkan, hingga efek paling berat dapat berakibat berurusan dengan hukum. Untuk tokoh dan pejabat publik efeknya bisa berkali lipat. Bahkan dalam level tertentu kebohongan dapat mengakibatkan kerusakan kehidupan sosial masyarakat.
Masih segar di ingatan publik skandal Hibah Bodong Akidi Tio pada tahun 2021. Konon pengusaha dari Palembang itu akan memberikan sumbangan kepada negara sebesar Rp 2 triliun. Nominal yang hampir mendekati besaran APBD salah satu kabupaten di Indonesia. Tak pelak lagi semua tertegun dan terpesona. Ya, semua. Dari tukang gorengan, jurnalis, menteri, bahkan mungkin Bapak Presiden. Tapi, sayangnya cerita ini berakhir dengan anak Akidi Tio digelandang polisi karena penipuan dan Kapolda Sumsel dicopot, satu negara malu.
Motif atau maksud dari “oknum” yang berbohong itu pun bermacam-macam. Ada yang sengaja dan berniat untuk berbohong agar (siapa tahu) bisa mengambil keuntungan dari situ. Untuk sebuah sensasi atau hanya gabut karena nganggur. Namun, ada pula yang tidak sengaja karena dia tidak paham dengan apa yang disampaikan atau karena terpaksa melakukannya di bawah tekanan atau semacamnya.
Yang paling terbaru tentang skandal penelitian Covid-19 pada medio 2020, empat dokter ternama dunia melakukan penelitian yang menyatakan obat malaria jenis Chloroquine dan Hydroxychloroquine dapat dijadikan obat Covid-19. Tanpa basa-basi, dunia yang sedang panik dan hampir collapse karena pandemi virus Covid-19 pada waktu itu seperti mendapat angin segar. Bahkan sampai Presiden Amerika Donald Trump bisa dibilang terlalu bersemangat mengampanyekan obat penyakit malaria itu untuk digunakan sebagai obat Covid-19. Bisa ditebak, efeknya adalah permintaan obat malaria di dunia meningkat drastis.
Setelah paper penelitian keempat dokter disebarluaskan, ternyata sangat bertolak belakang dengan penelitian pihak lain yang menyebutkan tidak ada hubungannya obat malaria dengan kesembuhan pasien Covid-19. Setelah mendapat sorotan dunia, akhirnya penelitian itu dicabut karena dianggap melakukan manipulasi untuk mendapat keuntungan. Dan masih banyak lagi peristiwa kebohongan publik yang lainnya. Sampai-sampai Wikipedia memiliki pembahasan khusus tentang daftar skandal kebohongan.
Seperti halnya hukum alam, dialektika kebenaran akan selalu menemukan jalannya. Kerapuhan logika kebohongan yang disebarkan melalui media akan selalu menjadi sebuah hipotesa informasi di masyarakat. Dan pasti, kebohongan akan selalu berbenturan dengan antitesisnya, yaitu logika kebenaran yang berujung kepada sintesis-penciptaan situasi dan kondisi baru setelah kebohongan terbongkar, sesuatu yang pasti, sebuah proses equlibrium, keseimbangan.
Dengan kata lain, para pembohong yang mencoba menyebarkan kebohongannya melalui media untuk memengaruhi orang lain demi kepentingan dirinya dan kelompok, cepat atau lambat akan terbongkar juga. Sebab, media memiliki paradoxical power. Kekuatan pedang bermata dua, yaitu tempat yang bagus untuk berbohong sekaligus tempat yang bagus untuk membongkar kebohongan. Media itu netral.
Jadi, masih berani berbohong di media?
Penulis adalah Toni Rida Kurniawan dan saat ini bekerja di Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia (RRI) Jember.