29.4 C
Jember
Wednesday, 22 March 2023

Hukum Restorative Justice, Menghindari Tragedi Kemanusiaan

Mobile_AP_Rectangle 1

Tangis Comara pecah penuh haru ketika dia ditetapkan bebas dari semua tuntutan oleh Kejaksaan Garut menggunakan restorative justice demi alasan kemanusiaan. Lelaki tua itu adalah tersangka pencurian handphone di Kantor Desa Sakawayana, Garut. Dia terpaksa mencuri HP karena alasan ekonomi. Anaknya membutuhkan gawai untuk belajar daring, sedangkan dia tidak memiliki uang untuk membelinya.

Di Takalar, Sulawesi Selatan, Muhammad Arham nekat mencuri motor demi bisa membiayai persalinan istrinya. Pria tersebut telah ditahan selama 2 bulan. Kasus tersebut berakhir damai melalui pendekatan restorative justice. Korban memaafkan pelaku, dan Muhammad Arham pun dibebaskan.

Setahun belakangan (2021-2022), media kita diramaikan oleh pemberitaan tentang restorative justice kepada tersangka tindak pidana ringan (paling banyak adalah kasus pencurian).

Mobile_AP_Rectangle 2

Berita paling terbaru adalah Polisi Banyuwangi memberikan restorative justice kepada seorang wanita muda yang tepergok melalui CCTV mencuri baju di salah satu butik di Banyuwangi (4/4/2022). Wanita tersebut dibebaskan setelah diadakan mediasi antara pelaku dengan pemilik butik oleh polisi setempat.

Lalu, apa itu restorative justice? (kita singkat menjadi RICE)

Teori RICE pertama kali dikenal di Kanada pada tahun 1970-an dalam sebuah program penegak hukum setempat dalam penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan melalui mediasi pelaku dengan korban. Program tersebut awalnya disebut dengan VOM (victim offender mediation).

RICE sendiri memiliki pengertian di antaranya, menurut pakar hukum pidana, Mardjono Reksodiputro, adalah sebuah pendekatan yang bertujuan untuk membangun sistem peradilan pidana yang peka tentang masalah korban.

Pendekatan tersebut menurut Mardjono juga sekaligus menjadi kritik dan koreksi terhadap penerapan hukum di Indonesia yang selama ini cenderung untuk tujuan retributif atau hukum pembalasan, serta cenderung mengabaikan peran korban dalam menentukan perkaranya. Prinsip RICE sudah diterapkan di Indonesia sejak lama, namun masih terbatas pada kasus perdata. Sedangkan untuk pidana pada waktu itu masih terbatas pada sistem peradilan pidana anak (UU Nomor 11 SPPA Tahun 2012). Hal tersebut karena sebelumnya dalam hukum pidana, penyelesaian di luar pengadilan adalah “haram” dan tabu.

Masih lekat di ingatan publik, kejadian di Sidoarjo pada 19 November 2009, kasus Nenek Minah, 55 tahun, yang mencuri tiga buah kakao, kasusnya harus menjalani proses persidangan dan Nenek Minah mendapatkan hukuman 1 bulan 15 hari. Hakim membacakan putusan tersebut sambil menangis. Hal tersebut tentu saja sangat mencederai hati nurani siapa pun manusia yang masih waras. Tetapi, hukum tetap harus ditegakkan.

Tragedi tersebut terjadi karena memang pada waktu itu tidak ada perangkat hukum selain an sich hanya ada proses pengadilan. Tidak peduli seberapa mengenaskan alasan tindak pidana pencurian ringan, seperti misalnya tersangka dan keluarganya belum makan 2 hari, proses pengadilan harus tetap berjalan dan tersangka wajib mendapatkan hukuman.

Prinsip hak asasi manusia untuk mendapatkan pengadilan “secara holistik” atau menyeluruh belum terakomodasi sebelum RICE diterapkan, rasa Hukum kita masih “bar-bar” pada waktu itu, tidak peduli besar atau kecilnya sebuah kasus, hantam rata, karena memang sistem hukumnya “belum lengkap”.

Hingga pada akhirnya Mahkamah Agung berkomitmen untuk mereformasi wajah hukum Indonesia lebih humanis dengan memberikan dukungan penuh terhadap RICE yang termanifestasi dalam Peraturan dan Surat Edaran MA tentang panduan pelaksanaan RICE dalam lingkungan peradilan umum pada 22 Desember tahun 2020.

Namun, bukan berarti setiap kasus kriminal dapat melenggang bebas begitu saja dengan adanya RICE. Penerapan RICE di Indonesia memiliki aturan tersendiri, yaitu pertama kali dilakukan oleh tersangka, kerugian korban di bawah Rp 2,5 juta, tindak pidana yang dilakukan hanya terancam oleh denda dan penjara di bawah lima tahun, tersangka mengembalikan barang pidana kepada korban, mengganti kerugian, biaya atau memperbaiki segala hal yang ditimbulkan akibat tindakan pidana tersangka kepada korban.

Tetapi, di antara semu syarat tersebut yang paling signifikan adalah syarat korban mau memaafkan tersangka. Tanpa adanya kata maaf dari korban, maka proses hukum pengadilan tetap harus berjalan hingga tersangka mendapatkan dakwaan hukuman dari hakim. Dan hal ini merupakan satu-satunya permasalahan dalam penerapan hukum RICE. Oleh karena itu, keberhasilan pendekatan mediasi oleh pihak berwajib dari kepolisian dan kejaksaan sangat mengambil peran.

Hukum RICE juga sama sekali tidak berlaku bagi tindak pidana terhadap keamanan negara, martabat Presiden dan Wapres, negara sahabat, kepala dan wakil negara sahabat, ketertiban umum, kesusilaan, tindakan pidana dengan ancaman pidana minimal, narkotika, lingkungan hidup dan bagi korporasi.

Maraknya fenomena pemberian restorative justice di media oleh penegak hukum patut diapresiasi oleh masyarakat. Hal tersebut adalah indikasi baik bahwa proses hukum di negara kita berjalan ke arah yang lebih baik, memastikan keadilan akan didapat baik bagi pelaku maupun korban, hak dan kewajiban semua pihak terakomodasi dengan memperhatikan hak-hak asasi manusia.

Di lain hal, dalam perspektif permasalahan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, pemerintah perlu lebih meningkatkan pemerataan ekonomi melalui 4 (empat) kebijakan ekonomi yang meliputi bantuan sosial, akses terhadap lahan, kualitas sumber daya manusia (SDM), dan kesempatan bekerja/berusaha sesuai amanat UUD 1945 demi kesejahteraan sosial yang merata.

Masih dalam permasalahan yang sama, masyarakat juga memiliki tanggung jawab sosial untuk lebih peka terhadap situasi dan kondisi di lingkungan sekitarnya, dengan bahu-membahu memberikan bantuan kepada saudara atau tetangga yang memilki kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Sehingga tragedi seperti cerita Nenek Minah tidak perlu terulang kembali.

 

*) Penulis saat ini bekerja di Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia (RRI) Jember. dapat ditemui di Instagram @tonikurni4w4n

 

- Advertisement -

Tangis Comara pecah penuh haru ketika dia ditetapkan bebas dari semua tuntutan oleh Kejaksaan Garut menggunakan restorative justice demi alasan kemanusiaan. Lelaki tua itu adalah tersangka pencurian handphone di Kantor Desa Sakawayana, Garut. Dia terpaksa mencuri HP karena alasan ekonomi. Anaknya membutuhkan gawai untuk belajar daring, sedangkan dia tidak memiliki uang untuk membelinya.

Di Takalar, Sulawesi Selatan, Muhammad Arham nekat mencuri motor demi bisa membiayai persalinan istrinya. Pria tersebut telah ditahan selama 2 bulan. Kasus tersebut berakhir damai melalui pendekatan restorative justice. Korban memaafkan pelaku, dan Muhammad Arham pun dibebaskan.

Setahun belakangan (2021-2022), media kita diramaikan oleh pemberitaan tentang restorative justice kepada tersangka tindak pidana ringan (paling banyak adalah kasus pencurian).

Berita paling terbaru adalah Polisi Banyuwangi memberikan restorative justice kepada seorang wanita muda yang tepergok melalui CCTV mencuri baju di salah satu butik di Banyuwangi (4/4/2022). Wanita tersebut dibebaskan setelah diadakan mediasi antara pelaku dengan pemilik butik oleh polisi setempat.

Lalu, apa itu restorative justice? (kita singkat menjadi RICE)

Teori RICE pertama kali dikenal di Kanada pada tahun 1970-an dalam sebuah program penegak hukum setempat dalam penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan melalui mediasi pelaku dengan korban. Program tersebut awalnya disebut dengan VOM (victim offender mediation).

RICE sendiri memiliki pengertian di antaranya, menurut pakar hukum pidana, Mardjono Reksodiputro, adalah sebuah pendekatan yang bertujuan untuk membangun sistem peradilan pidana yang peka tentang masalah korban.

Pendekatan tersebut menurut Mardjono juga sekaligus menjadi kritik dan koreksi terhadap penerapan hukum di Indonesia yang selama ini cenderung untuk tujuan retributif atau hukum pembalasan, serta cenderung mengabaikan peran korban dalam menentukan perkaranya. Prinsip RICE sudah diterapkan di Indonesia sejak lama, namun masih terbatas pada kasus perdata. Sedangkan untuk pidana pada waktu itu masih terbatas pada sistem peradilan pidana anak (UU Nomor 11 SPPA Tahun 2012). Hal tersebut karena sebelumnya dalam hukum pidana, penyelesaian di luar pengadilan adalah “haram” dan tabu.

Masih lekat di ingatan publik, kejadian di Sidoarjo pada 19 November 2009, kasus Nenek Minah, 55 tahun, yang mencuri tiga buah kakao, kasusnya harus menjalani proses persidangan dan Nenek Minah mendapatkan hukuman 1 bulan 15 hari. Hakim membacakan putusan tersebut sambil menangis. Hal tersebut tentu saja sangat mencederai hati nurani siapa pun manusia yang masih waras. Tetapi, hukum tetap harus ditegakkan.

Tragedi tersebut terjadi karena memang pada waktu itu tidak ada perangkat hukum selain an sich hanya ada proses pengadilan. Tidak peduli seberapa mengenaskan alasan tindak pidana pencurian ringan, seperti misalnya tersangka dan keluarganya belum makan 2 hari, proses pengadilan harus tetap berjalan dan tersangka wajib mendapatkan hukuman.

Prinsip hak asasi manusia untuk mendapatkan pengadilan “secara holistik” atau menyeluruh belum terakomodasi sebelum RICE diterapkan, rasa Hukum kita masih “bar-bar” pada waktu itu, tidak peduli besar atau kecilnya sebuah kasus, hantam rata, karena memang sistem hukumnya “belum lengkap”.

Hingga pada akhirnya Mahkamah Agung berkomitmen untuk mereformasi wajah hukum Indonesia lebih humanis dengan memberikan dukungan penuh terhadap RICE yang termanifestasi dalam Peraturan dan Surat Edaran MA tentang panduan pelaksanaan RICE dalam lingkungan peradilan umum pada 22 Desember tahun 2020.

Namun, bukan berarti setiap kasus kriminal dapat melenggang bebas begitu saja dengan adanya RICE. Penerapan RICE di Indonesia memiliki aturan tersendiri, yaitu pertama kali dilakukan oleh tersangka, kerugian korban di bawah Rp 2,5 juta, tindak pidana yang dilakukan hanya terancam oleh denda dan penjara di bawah lima tahun, tersangka mengembalikan barang pidana kepada korban, mengganti kerugian, biaya atau memperbaiki segala hal yang ditimbulkan akibat tindakan pidana tersangka kepada korban.

Tetapi, di antara semu syarat tersebut yang paling signifikan adalah syarat korban mau memaafkan tersangka. Tanpa adanya kata maaf dari korban, maka proses hukum pengadilan tetap harus berjalan hingga tersangka mendapatkan dakwaan hukuman dari hakim. Dan hal ini merupakan satu-satunya permasalahan dalam penerapan hukum RICE. Oleh karena itu, keberhasilan pendekatan mediasi oleh pihak berwajib dari kepolisian dan kejaksaan sangat mengambil peran.

Hukum RICE juga sama sekali tidak berlaku bagi tindak pidana terhadap keamanan negara, martabat Presiden dan Wapres, negara sahabat, kepala dan wakil negara sahabat, ketertiban umum, kesusilaan, tindakan pidana dengan ancaman pidana minimal, narkotika, lingkungan hidup dan bagi korporasi.

Maraknya fenomena pemberian restorative justice di media oleh penegak hukum patut diapresiasi oleh masyarakat. Hal tersebut adalah indikasi baik bahwa proses hukum di negara kita berjalan ke arah yang lebih baik, memastikan keadilan akan didapat baik bagi pelaku maupun korban, hak dan kewajiban semua pihak terakomodasi dengan memperhatikan hak-hak asasi manusia.

Di lain hal, dalam perspektif permasalahan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, pemerintah perlu lebih meningkatkan pemerataan ekonomi melalui 4 (empat) kebijakan ekonomi yang meliputi bantuan sosial, akses terhadap lahan, kualitas sumber daya manusia (SDM), dan kesempatan bekerja/berusaha sesuai amanat UUD 1945 demi kesejahteraan sosial yang merata.

Masih dalam permasalahan yang sama, masyarakat juga memiliki tanggung jawab sosial untuk lebih peka terhadap situasi dan kondisi di lingkungan sekitarnya, dengan bahu-membahu memberikan bantuan kepada saudara atau tetangga yang memilki kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Sehingga tragedi seperti cerita Nenek Minah tidak perlu terulang kembali.

 

*) Penulis saat ini bekerja di Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia (RRI) Jember. dapat ditemui di Instagram @tonikurni4w4n

 

Tangis Comara pecah penuh haru ketika dia ditetapkan bebas dari semua tuntutan oleh Kejaksaan Garut menggunakan restorative justice demi alasan kemanusiaan. Lelaki tua itu adalah tersangka pencurian handphone di Kantor Desa Sakawayana, Garut. Dia terpaksa mencuri HP karena alasan ekonomi. Anaknya membutuhkan gawai untuk belajar daring, sedangkan dia tidak memiliki uang untuk membelinya.

Di Takalar, Sulawesi Selatan, Muhammad Arham nekat mencuri motor demi bisa membiayai persalinan istrinya. Pria tersebut telah ditahan selama 2 bulan. Kasus tersebut berakhir damai melalui pendekatan restorative justice. Korban memaafkan pelaku, dan Muhammad Arham pun dibebaskan.

Setahun belakangan (2021-2022), media kita diramaikan oleh pemberitaan tentang restorative justice kepada tersangka tindak pidana ringan (paling banyak adalah kasus pencurian).

Berita paling terbaru adalah Polisi Banyuwangi memberikan restorative justice kepada seorang wanita muda yang tepergok melalui CCTV mencuri baju di salah satu butik di Banyuwangi (4/4/2022). Wanita tersebut dibebaskan setelah diadakan mediasi antara pelaku dengan pemilik butik oleh polisi setempat.

Lalu, apa itu restorative justice? (kita singkat menjadi RICE)

Teori RICE pertama kali dikenal di Kanada pada tahun 1970-an dalam sebuah program penegak hukum setempat dalam penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan melalui mediasi pelaku dengan korban. Program tersebut awalnya disebut dengan VOM (victim offender mediation).

RICE sendiri memiliki pengertian di antaranya, menurut pakar hukum pidana, Mardjono Reksodiputro, adalah sebuah pendekatan yang bertujuan untuk membangun sistem peradilan pidana yang peka tentang masalah korban.

Pendekatan tersebut menurut Mardjono juga sekaligus menjadi kritik dan koreksi terhadap penerapan hukum di Indonesia yang selama ini cenderung untuk tujuan retributif atau hukum pembalasan, serta cenderung mengabaikan peran korban dalam menentukan perkaranya. Prinsip RICE sudah diterapkan di Indonesia sejak lama, namun masih terbatas pada kasus perdata. Sedangkan untuk pidana pada waktu itu masih terbatas pada sistem peradilan pidana anak (UU Nomor 11 SPPA Tahun 2012). Hal tersebut karena sebelumnya dalam hukum pidana, penyelesaian di luar pengadilan adalah “haram” dan tabu.

Masih lekat di ingatan publik, kejadian di Sidoarjo pada 19 November 2009, kasus Nenek Minah, 55 tahun, yang mencuri tiga buah kakao, kasusnya harus menjalani proses persidangan dan Nenek Minah mendapatkan hukuman 1 bulan 15 hari. Hakim membacakan putusan tersebut sambil menangis. Hal tersebut tentu saja sangat mencederai hati nurani siapa pun manusia yang masih waras. Tetapi, hukum tetap harus ditegakkan.

Tragedi tersebut terjadi karena memang pada waktu itu tidak ada perangkat hukum selain an sich hanya ada proses pengadilan. Tidak peduli seberapa mengenaskan alasan tindak pidana pencurian ringan, seperti misalnya tersangka dan keluarganya belum makan 2 hari, proses pengadilan harus tetap berjalan dan tersangka wajib mendapatkan hukuman.

Prinsip hak asasi manusia untuk mendapatkan pengadilan “secara holistik” atau menyeluruh belum terakomodasi sebelum RICE diterapkan, rasa Hukum kita masih “bar-bar” pada waktu itu, tidak peduli besar atau kecilnya sebuah kasus, hantam rata, karena memang sistem hukumnya “belum lengkap”.

Hingga pada akhirnya Mahkamah Agung berkomitmen untuk mereformasi wajah hukum Indonesia lebih humanis dengan memberikan dukungan penuh terhadap RICE yang termanifestasi dalam Peraturan dan Surat Edaran MA tentang panduan pelaksanaan RICE dalam lingkungan peradilan umum pada 22 Desember tahun 2020.

Namun, bukan berarti setiap kasus kriminal dapat melenggang bebas begitu saja dengan adanya RICE. Penerapan RICE di Indonesia memiliki aturan tersendiri, yaitu pertama kali dilakukan oleh tersangka, kerugian korban di bawah Rp 2,5 juta, tindak pidana yang dilakukan hanya terancam oleh denda dan penjara di bawah lima tahun, tersangka mengembalikan barang pidana kepada korban, mengganti kerugian, biaya atau memperbaiki segala hal yang ditimbulkan akibat tindakan pidana tersangka kepada korban.

Tetapi, di antara semu syarat tersebut yang paling signifikan adalah syarat korban mau memaafkan tersangka. Tanpa adanya kata maaf dari korban, maka proses hukum pengadilan tetap harus berjalan hingga tersangka mendapatkan dakwaan hukuman dari hakim. Dan hal ini merupakan satu-satunya permasalahan dalam penerapan hukum RICE. Oleh karena itu, keberhasilan pendekatan mediasi oleh pihak berwajib dari kepolisian dan kejaksaan sangat mengambil peran.

Hukum RICE juga sama sekali tidak berlaku bagi tindak pidana terhadap keamanan negara, martabat Presiden dan Wapres, negara sahabat, kepala dan wakil negara sahabat, ketertiban umum, kesusilaan, tindakan pidana dengan ancaman pidana minimal, narkotika, lingkungan hidup dan bagi korporasi.

Maraknya fenomena pemberian restorative justice di media oleh penegak hukum patut diapresiasi oleh masyarakat. Hal tersebut adalah indikasi baik bahwa proses hukum di negara kita berjalan ke arah yang lebih baik, memastikan keadilan akan didapat baik bagi pelaku maupun korban, hak dan kewajiban semua pihak terakomodasi dengan memperhatikan hak-hak asasi manusia.

Di lain hal, dalam perspektif permasalahan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, pemerintah perlu lebih meningkatkan pemerataan ekonomi melalui 4 (empat) kebijakan ekonomi yang meliputi bantuan sosial, akses terhadap lahan, kualitas sumber daya manusia (SDM), dan kesempatan bekerja/berusaha sesuai amanat UUD 1945 demi kesejahteraan sosial yang merata.

Masih dalam permasalahan yang sama, masyarakat juga memiliki tanggung jawab sosial untuk lebih peka terhadap situasi dan kondisi di lingkungan sekitarnya, dengan bahu-membahu memberikan bantuan kepada saudara atau tetangga yang memilki kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Sehingga tragedi seperti cerita Nenek Minah tidak perlu terulang kembali.

 

*) Penulis saat ini bekerja di Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia (RRI) Jember. dapat ditemui di Instagram @tonikurni4w4n

 

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca