32 C
Jember
Wednesday, 31 May 2023

Tragedi Kemanusiaan di Ambang Pintu

Mobile_AP_Rectangle 1

Apa yang saya khawatirkan terjadi. Perang Rusia vs Ukraina meletus sejak 24 Februari 2022, hingga kini terus berlanjut. Perang ini menurut saya tidak datang dengan tiba-tiba, melainkan ada sejarah panjang yang banyak aspek berkelindan di dalamnya. Mereka dulunya adalah dua sahabat ketika Rusia dan Ukraina masih bergabung di Uni Soviet di tahun 1922, namun kemudian bubar pada tahun 1991. Puluhan tahun mereka seiring sejalan, beragam suka dan duka mereka lewati bersama, termasuk pada saat perang dunia kedua, bersama menggempur Nazi Jerman. Suku Rusia menikah dengan suku Ukraina. Percampuran budaya antara suku Rusia dan Ukraina terjadi.

Baca Juga : Dua Bacalon Berebut Kursi Kades Gedangmas

Generasi berikutnya yang lahir adalah campuran darah Rusia dan Ukraina. Orang Rusia ada yang bekerja di Ukraina. Orang Ukraina ada yang bekerja di Rusia. Anak-anak Ukraina ada yang sekolah di Rusia dan demikian sebaliknya. Di desa, di tempat tinggal mereka, orang Ukraina bertetangga dengan orang Rusia. Silaturahmi pasti terjadi dalam kehidupan sehari-hari mereka. Singkatnya terjadi interaksi yang cukup lama pada konteks ekonomi, social, budaya, pendidikan, dan lain-lainnya. Ikatan batiniah antar mereka pasti sangat kuat.

Mobile_AP_Rectangle 2

Ketika Uni Soviet bubar, bermunculan negara-negara baru pecahannya yang merdeka dan berdaulat termasuk Ukraina. Ini tentu sangat mengejutkan bagi Rusia yang selama di Uni Soviet cukup dominan. Negara-negara baru tersebut misalnya Uzbekistan, Tajikistan, Kirgistan, dan lainnya, selain Ukraina. Negara-negara tersebut terbilang kecil dibanding Rusia. Rusia relatif lebih unggul dalam hal jumlah penduduk, jumlah tentaranya, peralatan militernya, dan kekuatan ekonominya. Oleh sebab itu, meskipun telah menjadi negara-negara baru yang merdeka, Rusia tetap ingin melanjutkan dominasinya secara politik maupun ekonomi seperti semasa di Uni Soviet dulu. Kemarahan Rusia memuncak ketika Ukraina berhasrat bergabung dengan Nato, menjauh dari Rusia. Menurut saya perang ini dipicu oleh kombinasi aspek politik, psikologis (merasa sebagai negara besar), ekonomi, dan militer (keunggulan tentara dan alat persenjataan) dari Rusia.

Perang Rusia vs Ukraina telah memasuki hari-hari yang semakin mendebarkan. Rudal-rudal Rusia selain menyasar instalasi militer Ukraina juga diberitakan menyasar ke infrastruktur transportasi, rumah sakit, permukiman warga serta sumber-sumber social ekonomi seperti listrik dan pasar. Reaksi dunia khususnya Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat maupun PBB mengecam serangan tersebut serta mengancam memberi sanksi ekonomi kepada Rusia, dan Indonesia pun setuju. Sanksi tersebut diharapkan membuat ekonomi Rusia guncang lalu bersedia membuka dialog dengan Ukraina untuk membahas perdamaian. Tampaknya perjalanan ke arah dialog perdamaian sangat sulit terwujud selama sanksi ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat tidak memberikan efek yang berarti bagi perekonomian Rusia. Serangan militer Rusia dengan persenjataan yang sangat canggih akan terus terjadi yang menyebabkan infrastruktur sosial ekonomi Ukraina semakin luluh lantak.

Perang di mana pun, dahulu ataupun sekarang sama saja, yang menderita adalah masyarakat. Ribuan bahkan jutaan penduduk Ukraina mengungsi ke sejumlah negara lain. Sebagian besar dari mereka adalah perempuan dan anak-anak, sebab yang laki-laki diminta oleh presiden Ukraina untuk tetap tinggal di Ukraina mempertahankan negara dari invasi Rusia. Sekitar seratusan orang warga negara Indonesia pun harus meninggalkan Ukraina, pulang kampung yang difasilitasi oleh kedutaan Republik Indonesia di Ukraina. Diberitakan di running text Kompas TV pagi tadi, bahwa Amerika Serikat akan mempercepat ekspor senjata ke Ukraina. Perang tampaknya masih terus berlanjut dan besar kemungkinan penggunaan senjata super canggih semakin besar. Korban jiwa pun akan bertambah banyak. Eksodus warna negara Ukraina tidak akan berhenti. Mereka akan kehilangan tempat tinggal, pekerjaan, penghasilan, asset-aset lainnya yang dikumpulkan bertahun-tahun, dan masa depan mereka tidak pasti. Yang sangat mengenaskan lagi adalah ikatan batiniah orang-orang Rusia dan Ukraina hancur berantakan. Segala apa yang mereka rajut (orang Rusia dan Ukraina) musnah dalam sekejap. Sungguh sangat menyedihkan. Tragedi kemanusiaan terjadi di depan mata kita di era peradaban manusia modern yang sangat sarat menjunjung nilai-nilai kemanusiaan di muka bumi ini.

Perang harus berhenti. Tragedi kemanusiaan harus tidak terjadi. Lalu, bagaimana caranya? Kalau perang diselesaikan lewat adu kekuatan persenjataan atau adu kekuatan militer, maka saya yakin tidak akan berhenti. Terlebih jika Amerika Serikat dan beberapa negara di Eropa Barat menerjunkan tentaranya, maka eskalasi perang semakin meluas. Sebab, tidak tertutup kemungkinan teman-teman Rusia juga turut melibatkan diri, misalnya China. Peluang perang dunia ketiga menjadi terbuka lebar. Yang seharusnya dilakukan adalah demi kemanusiaan, demi martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia karena punya hati nurani dan akal pikiran maka harus ada solusi perang berhenti. Berdialog, membangun kesepahaman sebagai manusia bermartabat, saling menghormati, saling menghargai, hidup berdampingan membangun kesejahteraan bersama perlu dikedepankan mengalahkan lainnya. Namun, kalau para pemimpinnya masih diliputi hawa nafsu merasa besar, kuat, benar sendiri, pongah, maka perdamaian abadi antara Rusia Ukraina jauh dari kenyataan.

Penulis adalah Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Jember.

 

- Advertisement -

Apa yang saya khawatirkan terjadi. Perang Rusia vs Ukraina meletus sejak 24 Februari 2022, hingga kini terus berlanjut. Perang ini menurut saya tidak datang dengan tiba-tiba, melainkan ada sejarah panjang yang banyak aspek berkelindan di dalamnya. Mereka dulunya adalah dua sahabat ketika Rusia dan Ukraina masih bergabung di Uni Soviet di tahun 1922, namun kemudian bubar pada tahun 1991. Puluhan tahun mereka seiring sejalan, beragam suka dan duka mereka lewati bersama, termasuk pada saat perang dunia kedua, bersama menggempur Nazi Jerman. Suku Rusia menikah dengan suku Ukraina. Percampuran budaya antara suku Rusia dan Ukraina terjadi.

Baca Juga : Dua Bacalon Berebut Kursi Kades Gedangmas

Generasi berikutnya yang lahir adalah campuran darah Rusia dan Ukraina. Orang Rusia ada yang bekerja di Ukraina. Orang Ukraina ada yang bekerja di Rusia. Anak-anak Ukraina ada yang sekolah di Rusia dan demikian sebaliknya. Di desa, di tempat tinggal mereka, orang Ukraina bertetangga dengan orang Rusia. Silaturahmi pasti terjadi dalam kehidupan sehari-hari mereka. Singkatnya terjadi interaksi yang cukup lama pada konteks ekonomi, social, budaya, pendidikan, dan lain-lainnya. Ikatan batiniah antar mereka pasti sangat kuat.

Ketika Uni Soviet bubar, bermunculan negara-negara baru pecahannya yang merdeka dan berdaulat termasuk Ukraina. Ini tentu sangat mengejutkan bagi Rusia yang selama di Uni Soviet cukup dominan. Negara-negara baru tersebut misalnya Uzbekistan, Tajikistan, Kirgistan, dan lainnya, selain Ukraina. Negara-negara tersebut terbilang kecil dibanding Rusia. Rusia relatif lebih unggul dalam hal jumlah penduduk, jumlah tentaranya, peralatan militernya, dan kekuatan ekonominya. Oleh sebab itu, meskipun telah menjadi negara-negara baru yang merdeka, Rusia tetap ingin melanjutkan dominasinya secara politik maupun ekonomi seperti semasa di Uni Soviet dulu. Kemarahan Rusia memuncak ketika Ukraina berhasrat bergabung dengan Nato, menjauh dari Rusia. Menurut saya perang ini dipicu oleh kombinasi aspek politik, psikologis (merasa sebagai negara besar), ekonomi, dan militer (keunggulan tentara dan alat persenjataan) dari Rusia.

Perang Rusia vs Ukraina telah memasuki hari-hari yang semakin mendebarkan. Rudal-rudal Rusia selain menyasar instalasi militer Ukraina juga diberitakan menyasar ke infrastruktur transportasi, rumah sakit, permukiman warga serta sumber-sumber social ekonomi seperti listrik dan pasar. Reaksi dunia khususnya Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat maupun PBB mengecam serangan tersebut serta mengancam memberi sanksi ekonomi kepada Rusia, dan Indonesia pun setuju. Sanksi tersebut diharapkan membuat ekonomi Rusia guncang lalu bersedia membuka dialog dengan Ukraina untuk membahas perdamaian. Tampaknya perjalanan ke arah dialog perdamaian sangat sulit terwujud selama sanksi ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat tidak memberikan efek yang berarti bagi perekonomian Rusia. Serangan militer Rusia dengan persenjataan yang sangat canggih akan terus terjadi yang menyebabkan infrastruktur sosial ekonomi Ukraina semakin luluh lantak.

Perang di mana pun, dahulu ataupun sekarang sama saja, yang menderita adalah masyarakat. Ribuan bahkan jutaan penduduk Ukraina mengungsi ke sejumlah negara lain. Sebagian besar dari mereka adalah perempuan dan anak-anak, sebab yang laki-laki diminta oleh presiden Ukraina untuk tetap tinggal di Ukraina mempertahankan negara dari invasi Rusia. Sekitar seratusan orang warga negara Indonesia pun harus meninggalkan Ukraina, pulang kampung yang difasilitasi oleh kedutaan Republik Indonesia di Ukraina. Diberitakan di running text Kompas TV pagi tadi, bahwa Amerika Serikat akan mempercepat ekspor senjata ke Ukraina. Perang tampaknya masih terus berlanjut dan besar kemungkinan penggunaan senjata super canggih semakin besar. Korban jiwa pun akan bertambah banyak. Eksodus warna negara Ukraina tidak akan berhenti. Mereka akan kehilangan tempat tinggal, pekerjaan, penghasilan, asset-aset lainnya yang dikumpulkan bertahun-tahun, dan masa depan mereka tidak pasti. Yang sangat mengenaskan lagi adalah ikatan batiniah orang-orang Rusia dan Ukraina hancur berantakan. Segala apa yang mereka rajut (orang Rusia dan Ukraina) musnah dalam sekejap. Sungguh sangat menyedihkan. Tragedi kemanusiaan terjadi di depan mata kita di era peradaban manusia modern yang sangat sarat menjunjung nilai-nilai kemanusiaan di muka bumi ini.

Perang harus berhenti. Tragedi kemanusiaan harus tidak terjadi. Lalu, bagaimana caranya? Kalau perang diselesaikan lewat adu kekuatan persenjataan atau adu kekuatan militer, maka saya yakin tidak akan berhenti. Terlebih jika Amerika Serikat dan beberapa negara di Eropa Barat menerjunkan tentaranya, maka eskalasi perang semakin meluas. Sebab, tidak tertutup kemungkinan teman-teman Rusia juga turut melibatkan diri, misalnya China. Peluang perang dunia ketiga menjadi terbuka lebar. Yang seharusnya dilakukan adalah demi kemanusiaan, demi martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia karena punya hati nurani dan akal pikiran maka harus ada solusi perang berhenti. Berdialog, membangun kesepahaman sebagai manusia bermartabat, saling menghormati, saling menghargai, hidup berdampingan membangun kesejahteraan bersama perlu dikedepankan mengalahkan lainnya. Namun, kalau para pemimpinnya masih diliputi hawa nafsu merasa besar, kuat, benar sendiri, pongah, maka perdamaian abadi antara Rusia Ukraina jauh dari kenyataan.

Penulis adalah Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Jember.

 

Apa yang saya khawatirkan terjadi. Perang Rusia vs Ukraina meletus sejak 24 Februari 2022, hingga kini terus berlanjut. Perang ini menurut saya tidak datang dengan tiba-tiba, melainkan ada sejarah panjang yang banyak aspek berkelindan di dalamnya. Mereka dulunya adalah dua sahabat ketika Rusia dan Ukraina masih bergabung di Uni Soviet di tahun 1922, namun kemudian bubar pada tahun 1991. Puluhan tahun mereka seiring sejalan, beragam suka dan duka mereka lewati bersama, termasuk pada saat perang dunia kedua, bersama menggempur Nazi Jerman. Suku Rusia menikah dengan suku Ukraina. Percampuran budaya antara suku Rusia dan Ukraina terjadi.

Baca Juga : Dua Bacalon Berebut Kursi Kades Gedangmas

Generasi berikutnya yang lahir adalah campuran darah Rusia dan Ukraina. Orang Rusia ada yang bekerja di Ukraina. Orang Ukraina ada yang bekerja di Rusia. Anak-anak Ukraina ada yang sekolah di Rusia dan demikian sebaliknya. Di desa, di tempat tinggal mereka, orang Ukraina bertetangga dengan orang Rusia. Silaturahmi pasti terjadi dalam kehidupan sehari-hari mereka. Singkatnya terjadi interaksi yang cukup lama pada konteks ekonomi, social, budaya, pendidikan, dan lain-lainnya. Ikatan batiniah antar mereka pasti sangat kuat.

Ketika Uni Soviet bubar, bermunculan negara-negara baru pecahannya yang merdeka dan berdaulat termasuk Ukraina. Ini tentu sangat mengejutkan bagi Rusia yang selama di Uni Soviet cukup dominan. Negara-negara baru tersebut misalnya Uzbekistan, Tajikistan, Kirgistan, dan lainnya, selain Ukraina. Negara-negara tersebut terbilang kecil dibanding Rusia. Rusia relatif lebih unggul dalam hal jumlah penduduk, jumlah tentaranya, peralatan militernya, dan kekuatan ekonominya. Oleh sebab itu, meskipun telah menjadi negara-negara baru yang merdeka, Rusia tetap ingin melanjutkan dominasinya secara politik maupun ekonomi seperti semasa di Uni Soviet dulu. Kemarahan Rusia memuncak ketika Ukraina berhasrat bergabung dengan Nato, menjauh dari Rusia. Menurut saya perang ini dipicu oleh kombinasi aspek politik, psikologis (merasa sebagai negara besar), ekonomi, dan militer (keunggulan tentara dan alat persenjataan) dari Rusia.

Perang Rusia vs Ukraina telah memasuki hari-hari yang semakin mendebarkan. Rudal-rudal Rusia selain menyasar instalasi militer Ukraina juga diberitakan menyasar ke infrastruktur transportasi, rumah sakit, permukiman warga serta sumber-sumber social ekonomi seperti listrik dan pasar. Reaksi dunia khususnya Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat maupun PBB mengecam serangan tersebut serta mengancam memberi sanksi ekonomi kepada Rusia, dan Indonesia pun setuju. Sanksi tersebut diharapkan membuat ekonomi Rusia guncang lalu bersedia membuka dialog dengan Ukraina untuk membahas perdamaian. Tampaknya perjalanan ke arah dialog perdamaian sangat sulit terwujud selama sanksi ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat tidak memberikan efek yang berarti bagi perekonomian Rusia. Serangan militer Rusia dengan persenjataan yang sangat canggih akan terus terjadi yang menyebabkan infrastruktur sosial ekonomi Ukraina semakin luluh lantak.

Perang di mana pun, dahulu ataupun sekarang sama saja, yang menderita adalah masyarakat. Ribuan bahkan jutaan penduduk Ukraina mengungsi ke sejumlah negara lain. Sebagian besar dari mereka adalah perempuan dan anak-anak, sebab yang laki-laki diminta oleh presiden Ukraina untuk tetap tinggal di Ukraina mempertahankan negara dari invasi Rusia. Sekitar seratusan orang warga negara Indonesia pun harus meninggalkan Ukraina, pulang kampung yang difasilitasi oleh kedutaan Republik Indonesia di Ukraina. Diberitakan di running text Kompas TV pagi tadi, bahwa Amerika Serikat akan mempercepat ekspor senjata ke Ukraina. Perang tampaknya masih terus berlanjut dan besar kemungkinan penggunaan senjata super canggih semakin besar. Korban jiwa pun akan bertambah banyak. Eksodus warna negara Ukraina tidak akan berhenti. Mereka akan kehilangan tempat tinggal, pekerjaan, penghasilan, asset-aset lainnya yang dikumpulkan bertahun-tahun, dan masa depan mereka tidak pasti. Yang sangat mengenaskan lagi adalah ikatan batiniah orang-orang Rusia dan Ukraina hancur berantakan. Segala apa yang mereka rajut (orang Rusia dan Ukraina) musnah dalam sekejap. Sungguh sangat menyedihkan. Tragedi kemanusiaan terjadi di depan mata kita di era peradaban manusia modern yang sangat sarat menjunjung nilai-nilai kemanusiaan di muka bumi ini.

Perang harus berhenti. Tragedi kemanusiaan harus tidak terjadi. Lalu, bagaimana caranya? Kalau perang diselesaikan lewat adu kekuatan persenjataan atau adu kekuatan militer, maka saya yakin tidak akan berhenti. Terlebih jika Amerika Serikat dan beberapa negara di Eropa Barat menerjunkan tentaranya, maka eskalasi perang semakin meluas. Sebab, tidak tertutup kemungkinan teman-teman Rusia juga turut melibatkan diri, misalnya China. Peluang perang dunia ketiga menjadi terbuka lebar. Yang seharusnya dilakukan adalah demi kemanusiaan, demi martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia karena punya hati nurani dan akal pikiran maka harus ada solusi perang berhenti. Berdialog, membangun kesepahaman sebagai manusia bermartabat, saling menghormati, saling menghargai, hidup berdampingan membangun kesejahteraan bersama perlu dikedepankan mengalahkan lainnya. Namun, kalau para pemimpinnya masih diliputi hawa nafsu merasa besar, kuat, benar sendiri, pongah, maka perdamaian abadi antara Rusia Ukraina jauh dari kenyataan.

Penulis adalah Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Jember.

 

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca