23.2 C
Jember
Tuesday, 28 March 2023

Pedagang Sayur dan Telepon Pintar

Mobile_AP_Rectangle 1

DI pagi nan cerah, segar, dan hangat setelah berolahraga, istri dan saya berbelanja sayur-mayur di belakang kantor RRI Jember, di sekitar pertigaan antara Jalan Madura dan Perumahan Gunung Batu Permai. Seperti biasa, di tempat itu setiap pagi antara pukul 05.00 sampai pukul 07.00 ramai pedagang sayur, ikan, beserta saudara-saudaranya.

Sambil memperhatikan kesibukan para penjual dan pembeli, saya menghampiri seorang lelaki, penjual sayur yang menemani istrinya. Walau saya sudah banyak mengenal para pedagang di tempat tersebut, laki-laki yang tinggi tegap ini belum saya kenal. Karena dia tidak sedang melayani pembeli, saya mencoba menyapanya menggunakan bahasa Indonesia, dan ketika mendengar logatnya, langsung dapat ditebak bahwa dia berbahasa Madura dalam kehidupan sehari-hari.

Berbekal keyakinan tersebut saya langsung mengajak dia berbahasa Madura. Dia sangat antusias mengetahui lawan bicaranya menggunakan bahasa Madura. Setelah beberapa saat kami berbicara, entah dari mana memulainya, tiba-tiba dia bercerita banyak tentang telepon pintar (TP).

Mobile_AP_Rectangle 2

Menurut dia, saat ini hampir bisa dipastikan sudah jarang ditemui orang yang tidak memiliki TP. Semua lapisan masyarakat, awam, pintar, kaya, sederhana, pejabat, penjahat, orator, motivator, koruptor, seniman, budayawan, sampai orang yang kardiman (orang yang seenaknya sendiri), hampir semua memiliki TP. Saya sempat terkejut mendengar apa yang dikatakannya.

Dia melanjutkan obrolan kami dengan mengatakan bahwa sekarang tidak seorang pun dapat mengingkari bahwa keberadaan TP telah memberi banyak manfaat bagi kehidupan ini. Jalur informasi semakin mudah dan lancar. Transaksi jual beli bisa dengan mudah dilakukan. Akan belajar apa saja, informasinya tersedia di TP dengan syarat ada data atau jaringan wifi. Pendek kata, semua aspek kehidupan saat ini bisa dilakukan dengan menggunakan alat tersebut. Begitulah dia memulai pembicaraannya mengenai TP.

Menurut dia, akhir-akhir ini kehidupan kita sangat bergantung pada TP. Bahkan kita sudah sulit dipisahkan dengannya. Adalah bukan sesuatu yang aneh apabila kita mengeluarkan TP dari tas atau saku baju maupun celana kita puluhan bahkan ratusan kali setiap harinya, dan sangat mungkin TP tidak pernah lepas dari tangan kita. Dengan adanya TP, siapa pun dapat mengambil manfaat atau mendapat mudarat darinya.

Dia mencontohkan bahwa dalam telepon pintar dapat ditemukan hal-hal yang negatif baik berupa informasi tertulis, audio visual, serta video. Berita bohong dan penipuan juga dapat dilakukan melalui TP. Banyak orang tertipu dan menjadi korban kejahatan melalui TP. Bahkan, apabila tidak berhati-hati, pengguna TP bisa menjadi kecanduan yang dapat mengarah kepada hal yang negatif.

Akhirnya, kitalah yang harus bijak dalam menggunakannya, akan memilih hal-hal yang memberi manfaat atau mudarat dari TP yang kita miliki, demikian dia bertutur dengan semangat. Ketika saya menanyakan apakah dia memiliki TP, jawabannya lugas bahwa dia memiliki. Tetapi, kebanyakan hanya dipakai untuk kepentingan berjualan sayur-mayur dan mendengarkan radio.

Coba perhatikan, kata dia, sambil mengubah posisi berdirinya sedikit mendekat ke arah saya. Sekarang ini orang lebih akrab dengan TP dibanding dengan yang lainnya, bahkan dengan orang yang paling dekat dengan kita. Perhatikan kalau ada kerumunan orang seperti yang ada di seberang jalan itu. Kebetulan pagi itu ada sekitar empat orang laki-laki duduk santai di seberang jalan, dan sepertinya mereka sudah saling kenal satu sama lain. Setelah diperhatikan ternyata betul bahwa keempat orang tersebut asik dengan TP-nya masing-masing. Entah apa yang dilihat atau diketik. Saya heran mengapa mereka tidak “mengobrol” satu sama lain, kok malah “mengobrol” dengan TP-nya.

Pedagang sayur itu yakin bahwa pada era sekarang ini, tidak sedikit keluarga, suami, istri, dan putra-putrinya yang masuk ke rumah makan atau warung tidak saling berbicara satu sama lain walaupun mereka duduk dalam satu meja. Mereka lebih banyak asik dengan TP-nya saat menunggu pesanannya datang. Ketika pesanannya datang, mereka saling sibuk mengambil gambar makanan/minuman di depannya sambil senyum-senyum, entah apa yang dilakukan. Begitu kata dia seolah-olah dia sudah melakukan survei ke mana-mana.

Saya sebenarnya ingin bertanya lebih jauh apakah dia pernah melihat sendiri apa yang dikatakan. Tetapi, hal itu saya urungkan karena pikiran saya menyetujui dan membenarkan apa yang diucapkan sesuai dengan yang pernah bahkan sering saya lihat di warung-warung dan rumah makan.

Dia kemudian melanjutkan ceritanya dengan tenang, perhatikan juga di tempat kerja. Kalau ada beberapa orang di sebuah ruangan, pasti lebih banyak yang buka TP di saat mereka beristirahat dibanding yang berbincang santai dengan kawan kerjanya. Bahkan di saat mereka bekerja pun, tidak jarang mereka membuka TP-nya. Entah untuk tujuan apa, saya tidak tahu.

Pada era sekarang ini, orang sering membuka TP-nya hampir dalam semua kegiatan, begitu dia, melanjutkan obrolan pagi itu. Coba diperhatikan, pada saat pengajian, rapat, pertemuan, santai bersama bapak-bapak di pos penjagaan (gardu), santai di rumah bersama keluarga, duduk di warung kopi, menunggu antrean di kantor-kantor, menunggu antrean obat di apotek, di dalam kendaraan, serta di semua tempat yang di dalamnya ada lebih dari dua orang, pasti orang yang ada di tempat itu cenderung lebih banyak yang membuka TP dibanding yang tidak.

Mendengar penjelasan pedagang sayur tersebut, ada rasa penasaran sebenarnya siapa dia dan apa latar belakang pendidikannya. Namun, sebelum rasa penasaran itu terjawab, istri saya memberi tanda bahwa belanjanya sudah selesai.

Obrolan hangat pagi itu kami akhiri dengan ucapan salam sehat yang dibalas dengan senyum ikhlas mengalir dari bibirnya. Sambil membawa barang belanjaan ke arah pulang yang jaraknya hanya beberapa ratus meter dari kantor RRI, saya berkata pada diri sendiri. “Terima kasih, bapak, atas pesan yang begitu berharga, yaitu agar kita menggunakan TP dengan bijak sehingga dapat memperoleh manfaat bukan mudarat.”

 

*) Penulis adalah anggota Keris CLS dan Guru Besar Linguistik Terapan di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jember.

- Advertisement -

DI pagi nan cerah, segar, dan hangat setelah berolahraga, istri dan saya berbelanja sayur-mayur di belakang kantor RRI Jember, di sekitar pertigaan antara Jalan Madura dan Perumahan Gunung Batu Permai. Seperti biasa, di tempat itu setiap pagi antara pukul 05.00 sampai pukul 07.00 ramai pedagang sayur, ikan, beserta saudara-saudaranya.

Sambil memperhatikan kesibukan para penjual dan pembeli, saya menghampiri seorang lelaki, penjual sayur yang menemani istrinya. Walau saya sudah banyak mengenal para pedagang di tempat tersebut, laki-laki yang tinggi tegap ini belum saya kenal. Karena dia tidak sedang melayani pembeli, saya mencoba menyapanya menggunakan bahasa Indonesia, dan ketika mendengar logatnya, langsung dapat ditebak bahwa dia berbahasa Madura dalam kehidupan sehari-hari.

Berbekal keyakinan tersebut saya langsung mengajak dia berbahasa Madura. Dia sangat antusias mengetahui lawan bicaranya menggunakan bahasa Madura. Setelah beberapa saat kami berbicara, entah dari mana memulainya, tiba-tiba dia bercerita banyak tentang telepon pintar (TP).

Menurut dia, saat ini hampir bisa dipastikan sudah jarang ditemui orang yang tidak memiliki TP. Semua lapisan masyarakat, awam, pintar, kaya, sederhana, pejabat, penjahat, orator, motivator, koruptor, seniman, budayawan, sampai orang yang kardiman (orang yang seenaknya sendiri), hampir semua memiliki TP. Saya sempat terkejut mendengar apa yang dikatakannya.

Dia melanjutkan obrolan kami dengan mengatakan bahwa sekarang tidak seorang pun dapat mengingkari bahwa keberadaan TP telah memberi banyak manfaat bagi kehidupan ini. Jalur informasi semakin mudah dan lancar. Transaksi jual beli bisa dengan mudah dilakukan. Akan belajar apa saja, informasinya tersedia di TP dengan syarat ada data atau jaringan wifi. Pendek kata, semua aspek kehidupan saat ini bisa dilakukan dengan menggunakan alat tersebut. Begitulah dia memulai pembicaraannya mengenai TP.

Menurut dia, akhir-akhir ini kehidupan kita sangat bergantung pada TP. Bahkan kita sudah sulit dipisahkan dengannya. Adalah bukan sesuatu yang aneh apabila kita mengeluarkan TP dari tas atau saku baju maupun celana kita puluhan bahkan ratusan kali setiap harinya, dan sangat mungkin TP tidak pernah lepas dari tangan kita. Dengan adanya TP, siapa pun dapat mengambil manfaat atau mendapat mudarat darinya.

Dia mencontohkan bahwa dalam telepon pintar dapat ditemukan hal-hal yang negatif baik berupa informasi tertulis, audio visual, serta video. Berita bohong dan penipuan juga dapat dilakukan melalui TP. Banyak orang tertipu dan menjadi korban kejahatan melalui TP. Bahkan, apabila tidak berhati-hati, pengguna TP bisa menjadi kecanduan yang dapat mengarah kepada hal yang negatif.

Akhirnya, kitalah yang harus bijak dalam menggunakannya, akan memilih hal-hal yang memberi manfaat atau mudarat dari TP yang kita miliki, demikian dia bertutur dengan semangat. Ketika saya menanyakan apakah dia memiliki TP, jawabannya lugas bahwa dia memiliki. Tetapi, kebanyakan hanya dipakai untuk kepentingan berjualan sayur-mayur dan mendengarkan radio.

Coba perhatikan, kata dia, sambil mengubah posisi berdirinya sedikit mendekat ke arah saya. Sekarang ini orang lebih akrab dengan TP dibanding dengan yang lainnya, bahkan dengan orang yang paling dekat dengan kita. Perhatikan kalau ada kerumunan orang seperti yang ada di seberang jalan itu. Kebetulan pagi itu ada sekitar empat orang laki-laki duduk santai di seberang jalan, dan sepertinya mereka sudah saling kenal satu sama lain. Setelah diperhatikan ternyata betul bahwa keempat orang tersebut asik dengan TP-nya masing-masing. Entah apa yang dilihat atau diketik. Saya heran mengapa mereka tidak “mengobrol” satu sama lain, kok malah “mengobrol” dengan TP-nya.

Pedagang sayur itu yakin bahwa pada era sekarang ini, tidak sedikit keluarga, suami, istri, dan putra-putrinya yang masuk ke rumah makan atau warung tidak saling berbicara satu sama lain walaupun mereka duduk dalam satu meja. Mereka lebih banyak asik dengan TP-nya saat menunggu pesanannya datang. Ketika pesanannya datang, mereka saling sibuk mengambil gambar makanan/minuman di depannya sambil senyum-senyum, entah apa yang dilakukan. Begitu kata dia seolah-olah dia sudah melakukan survei ke mana-mana.

Saya sebenarnya ingin bertanya lebih jauh apakah dia pernah melihat sendiri apa yang dikatakan. Tetapi, hal itu saya urungkan karena pikiran saya menyetujui dan membenarkan apa yang diucapkan sesuai dengan yang pernah bahkan sering saya lihat di warung-warung dan rumah makan.

Dia kemudian melanjutkan ceritanya dengan tenang, perhatikan juga di tempat kerja. Kalau ada beberapa orang di sebuah ruangan, pasti lebih banyak yang buka TP di saat mereka beristirahat dibanding yang berbincang santai dengan kawan kerjanya. Bahkan di saat mereka bekerja pun, tidak jarang mereka membuka TP-nya. Entah untuk tujuan apa, saya tidak tahu.

Pada era sekarang ini, orang sering membuka TP-nya hampir dalam semua kegiatan, begitu dia, melanjutkan obrolan pagi itu. Coba diperhatikan, pada saat pengajian, rapat, pertemuan, santai bersama bapak-bapak di pos penjagaan (gardu), santai di rumah bersama keluarga, duduk di warung kopi, menunggu antrean di kantor-kantor, menunggu antrean obat di apotek, di dalam kendaraan, serta di semua tempat yang di dalamnya ada lebih dari dua orang, pasti orang yang ada di tempat itu cenderung lebih banyak yang membuka TP dibanding yang tidak.

Mendengar penjelasan pedagang sayur tersebut, ada rasa penasaran sebenarnya siapa dia dan apa latar belakang pendidikannya. Namun, sebelum rasa penasaran itu terjawab, istri saya memberi tanda bahwa belanjanya sudah selesai.

Obrolan hangat pagi itu kami akhiri dengan ucapan salam sehat yang dibalas dengan senyum ikhlas mengalir dari bibirnya. Sambil membawa barang belanjaan ke arah pulang yang jaraknya hanya beberapa ratus meter dari kantor RRI, saya berkata pada diri sendiri. “Terima kasih, bapak, atas pesan yang begitu berharga, yaitu agar kita menggunakan TP dengan bijak sehingga dapat memperoleh manfaat bukan mudarat.”

 

*) Penulis adalah anggota Keris CLS dan Guru Besar Linguistik Terapan di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jember.

DI pagi nan cerah, segar, dan hangat setelah berolahraga, istri dan saya berbelanja sayur-mayur di belakang kantor RRI Jember, di sekitar pertigaan antara Jalan Madura dan Perumahan Gunung Batu Permai. Seperti biasa, di tempat itu setiap pagi antara pukul 05.00 sampai pukul 07.00 ramai pedagang sayur, ikan, beserta saudara-saudaranya.

Sambil memperhatikan kesibukan para penjual dan pembeli, saya menghampiri seorang lelaki, penjual sayur yang menemani istrinya. Walau saya sudah banyak mengenal para pedagang di tempat tersebut, laki-laki yang tinggi tegap ini belum saya kenal. Karena dia tidak sedang melayani pembeli, saya mencoba menyapanya menggunakan bahasa Indonesia, dan ketika mendengar logatnya, langsung dapat ditebak bahwa dia berbahasa Madura dalam kehidupan sehari-hari.

Berbekal keyakinan tersebut saya langsung mengajak dia berbahasa Madura. Dia sangat antusias mengetahui lawan bicaranya menggunakan bahasa Madura. Setelah beberapa saat kami berbicara, entah dari mana memulainya, tiba-tiba dia bercerita banyak tentang telepon pintar (TP).

Menurut dia, saat ini hampir bisa dipastikan sudah jarang ditemui orang yang tidak memiliki TP. Semua lapisan masyarakat, awam, pintar, kaya, sederhana, pejabat, penjahat, orator, motivator, koruptor, seniman, budayawan, sampai orang yang kardiman (orang yang seenaknya sendiri), hampir semua memiliki TP. Saya sempat terkejut mendengar apa yang dikatakannya.

Dia melanjutkan obrolan kami dengan mengatakan bahwa sekarang tidak seorang pun dapat mengingkari bahwa keberadaan TP telah memberi banyak manfaat bagi kehidupan ini. Jalur informasi semakin mudah dan lancar. Transaksi jual beli bisa dengan mudah dilakukan. Akan belajar apa saja, informasinya tersedia di TP dengan syarat ada data atau jaringan wifi. Pendek kata, semua aspek kehidupan saat ini bisa dilakukan dengan menggunakan alat tersebut. Begitulah dia memulai pembicaraannya mengenai TP.

Menurut dia, akhir-akhir ini kehidupan kita sangat bergantung pada TP. Bahkan kita sudah sulit dipisahkan dengannya. Adalah bukan sesuatu yang aneh apabila kita mengeluarkan TP dari tas atau saku baju maupun celana kita puluhan bahkan ratusan kali setiap harinya, dan sangat mungkin TP tidak pernah lepas dari tangan kita. Dengan adanya TP, siapa pun dapat mengambil manfaat atau mendapat mudarat darinya.

Dia mencontohkan bahwa dalam telepon pintar dapat ditemukan hal-hal yang negatif baik berupa informasi tertulis, audio visual, serta video. Berita bohong dan penipuan juga dapat dilakukan melalui TP. Banyak orang tertipu dan menjadi korban kejahatan melalui TP. Bahkan, apabila tidak berhati-hati, pengguna TP bisa menjadi kecanduan yang dapat mengarah kepada hal yang negatif.

Akhirnya, kitalah yang harus bijak dalam menggunakannya, akan memilih hal-hal yang memberi manfaat atau mudarat dari TP yang kita miliki, demikian dia bertutur dengan semangat. Ketika saya menanyakan apakah dia memiliki TP, jawabannya lugas bahwa dia memiliki. Tetapi, kebanyakan hanya dipakai untuk kepentingan berjualan sayur-mayur dan mendengarkan radio.

Coba perhatikan, kata dia, sambil mengubah posisi berdirinya sedikit mendekat ke arah saya. Sekarang ini orang lebih akrab dengan TP dibanding dengan yang lainnya, bahkan dengan orang yang paling dekat dengan kita. Perhatikan kalau ada kerumunan orang seperti yang ada di seberang jalan itu. Kebetulan pagi itu ada sekitar empat orang laki-laki duduk santai di seberang jalan, dan sepertinya mereka sudah saling kenal satu sama lain. Setelah diperhatikan ternyata betul bahwa keempat orang tersebut asik dengan TP-nya masing-masing. Entah apa yang dilihat atau diketik. Saya heran mengapa mereka tidak “mengobrol” satu sama lain, kok malah “mengobrol” dengan TP-nya.

Pedagang sayur itu yakin bahwa pada era sekarang ini, tidak sedikit keluarga, suami, istri, dan putra-putrinya yang masuk ke rumah makan atau warung tidak saling berbicara satu sama lain walaupun mereka duduk dalam satu meja. Mereka lebih banyak asik dengan TP-nya saat menunggu pesanannya datang. Ketika pesanannya datang, mereka saling sibuk mengambil gambar makanan/minuman di depannya sambil senyum-senyum, entah apa yang dilakukan. Begitu kata dia seolah-olah dia sudah melakukan survei ke mana-mana.

Saya sebenarnya ingin bertanya lebih jauh apakah dia pernah melihat sendiri apa yang dikatakan. Tetapi, hal itu saya urungkan karena pikiran saya menyetujui dan membenarkan apa yang diucapkan sesuai dengan yang pernah bahkan sering saya lihat di warung-warung dan rumah makan.

Dia kemudian melanjutkan ceritanya dengan tenang, perhatikan juga di tempat kerja. Kalau ada beberapa orang di sebuah ruangan, pasti lebih banyak yang buka TP di saat mereka beristirahat dibanding yang berbincang santai dengan kawan kerjanya. Bahkan di saat mereka bekerja pun, tidak jarang mereka membuka TP-nya. Entah untuk tujuan apa, saya tidak tahu.

Pada era sekarang ini, orang sering membuka TP-nya hampir dalam semua kegiatan, begitu dia, melanjutkan obrolan pagi itu. Coba diperhatikan, pada saat pengajian, rapat, pertemuan, santai bersama bapak-bapak di pos penjagaan (gardu), santai di rumah bersama keluarga, duduk di warung kopi, menunggu antrean di kantor-kantor, menunggu antrean obat di apotek, di dalam kendaraan, serta di semua tempat yang di dalamnya ada lebih dari dua orang, pasti orang yang ada di tempat itu cenderung lebih banyak yang membuka TP dibanding yang tidak.

Mendengar penjelasan pedagang sayur tersebut, ada rasa penasaran sebenarnya siapa dia dan apa latar belakang pendidikannya. Namun, sebelum rasa penasaran itu terjawab, istri saya memberi tanda bahwa belanjanya sudah selesai.

Obrolan hangat pagi itu kami akhiri dengan ucapan salam sehat yang dibalas dengan senyum ikhlas mengalir dari bibirnya. Sambil membawa barang belanjaan ke arah pulang yang jaraknya hanya beberapa ratus meter dari kantor RRI, saya berkata pada diri sendiri. “Terima kasih, bapak, atas pesan yang begitu berharga, yaitu agar kita menggunakan TP dengan bijak sehingga dapat memperoleh manfaat bukan mudarat.”

 

*) Penulis adalah anggota Keris CLS dan Guru Besar Linguistik Terapan di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jember.

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca