PEPATAH ganti menteri ganti kurikulum lagi-lagi menjadi guyonan sekaligus perbincangan serius dunia pendidikan Indonesia. Bagaimana tidak, belum sempurna Kurikulum 2013 diterapkan dengan berbagai dinamikanya, pemerintah sudah mengesahkan Kurikulum Prototipe pada bulan November 2021 sebagai opsi kurikulum pemulihan pendidikan karena dampak pandemi. Mulai tahun 2022, kurikulum ini akan diterapkan di Sekolah Penggerak dan SMK Pusat Keunggulan, serta menjadi opsi kurikulum untuk sekolah yang lain.
Selain karena dampak pandemi, pemerintah telah mencatat adanya titik-titik kelemahan pada kurikulum sebelumnya, seperti terlalu luas kompetensi kurikulumnya, dikesampingkannya kompetensi teknologi sebagai bekal menghadapi abad 21, kewajiban menerapkan kurikulum tanpa ada pilihan yang disesuaikan dengan satuan pendidikan, serta komponen perangkat pembelajaran yang ribet dan banyak, dan masih banyak lainnya. Hal ini disebabkan ketidakmampuan Kurikulum 2013 dalam mengoptimalkan tiga unsur pendukung keberhasilannya, yakni konsep bahan ajar, budaya sekolah, dan pembinaan pemerintah. Misalkan dalam lemahnya konsep mata pelajaran Pendidikan Agama, Kemendikbud menambahkan indikator budi pekerti (pendidikan karakter), jika memang Kurikulum 2013 ingin fokus pada pendidikan karakter, seharusnya konsep bahan ajarnya bukan hanya bertumpu pada pendidikan agama, tapi semua mata pelajaran.
Pendidikan agama seharusnya menjadi topik diskusi yang panjang. Karena diposisikan sebagai poros keberhasilan pendidikan karakter K-13. Tapi, pada kenyataannya, selama sembilan tahun diterapkan, pendidikan agama dan budi pekerti jarang sekali disentuh oleh pelatihan atau seminar, justru kegiatan tersebut diisi dengan materi keprofesian dan administrasi sekolah. Sehingga, pemerintah dan guru menjadi lupa tujuan awal diciptakannya Kurikulum 2013, bisa jadi pendidikan agama hanya sebagai pemanis kurikulum.
Pendidikan karakter Kurikulum 2013 akan dikembangkan oleh Kurikulum Prototipe 2022. Arah pengembangannya meliputi orientasi holistik, yakni pendidikan harus bisa mencakup keseluruhan potensi siswa (kognitif, afektif, psikomotorik, akademik, dan nonakademik). Kedua, kurikulum berbasis kompetensi bukan berbasis konten dan materi tertentu. Ketiga, kurikulum yang kontekstual dan personal bahwa pembelajaran harus mengacu kepada potensi setiap individu peserta didik. Sehingga, karakter kurikulum ini terlihat lebih fleksibel terhadap pengembangan potensi dasar, serta mendorong pendidikan yang sesuai dengan fitrah setiap peserta didik.
Ada yang menarik pada kurikulum 2022. Untuk mewujudkan fleksibilitas dan personalitas kurikulum ini, profil pelajar Pancasila sebagai cabang pendidikan karakter menjadi poin utama. Nantinya 20–30 persen JP (Jam Pelajaran) akan digunakan untuk implementasi profil pelajar Pancasila melalui pembelajaran berbasis proyek. Fungsi dari pembelajaran berbasis proyek ini adalah untuk memberikan pengalaman dalam belajar (experiential learning) serta mengintegrasikan materi esensial dari berbagai disiplin ilmu. Sedangkan tema profil pelajar Pancasila meliputi bangunlah jiwa dan raganya, berekayasa dan berteknologi untuk membangun NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, gaya hidup berkelanjutan, kearifan lokal, kewirausahaan, dan suara demokrasi. Harapan pemerintah dari kurikulum ini adalah dapat membantu guru dalam mengembangkan karakter dan soft skill siswa secara efektif dan fleksibel yang menghasilkan proyek.
Pendidikan karakter profil pelajar Pancasila secara tidak langsung memungkinkan pemisahan indikator budi pekerti dalam mata pelajaran Pendidikan Agama, serta menjadikan turunan karakter ini tugas seluruh mata pelajaran. Namun, secara langsung mengubah arah pengembangan Pendidikan Agama dan budi pekerti menjadi Pendidikan agama yang berasaskan Pancasila, di mana Pancasila sebagai asas tunggal berbangsa dan bernegara di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jika melihat model pendidikan agama, khususnya agama Islam di negara tetangga, seperti Brunei Darussalam, mereka membentuk sistem atau pedoman bernama Melayu Islam Beraja (MIB). Sebuah falsafah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang sepakati oleh seluruh rakyat Brunei termasuk dalam pembelajaran Pendidikan Islam. MIB terbukti mampu membendung adanya sikap dan paham radikal yang membahayakan keutuhan negara. Pembelajaran agama menekankan nilai-nilai yang terkandung dengan jelas dan kuat. Implementasi penyebarluasan ideologi ini diawasi langsung oleh kerajaan dan lembaga tertentu secara konsisten. Sehingga, pendidikan agama sangat besar pengaruhnya dalam menyebarluaskan dan memahamkan ideologi negara kepada peserta didik.
Masyarakat Indonesia sempat gaduh karena hilangnya frasa agama dalam draf peta pendidikan Indonesia 2020-2035, yang berbunyi: “Membangun masyarakat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang unggul, terus berkembang, sejahtera, dan berakhlak mulia dengan menumbuhkan nilai-nilai budaya Indonesia dan Pancasila”. Frasa yang beredar tersebut mendapat kritikan dari ormas agama, hingga Menteri Nadiem memberi penekanan bahwa agama adalah hal esensial dalam pendidikan kita, dan agama akan masuk secara eksplisit dalam Profil Pelajar Pancasila sebagai SDM harapan. Sedangkan nilai-nilai yang terkandung dalam profil tersebut adalah pelajar yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta memiliki akhlak yang mulia.
Namun, kritikan tersebut mulai mereda melalui edukasi dan sosialisasi pemerintah. Memang agama dan Pancasila tidak bisa terpisahkan. Pancasila adalah wujud dari pengamalan agama. Mengaca pada negara Brunei, apa yang digagas oleh pemerintah terlihat ada peningkatan ke arah lebih benar dan baik. Di mana falsafah hidup dan ideologi lebih ditekankan dalam pendidikan. Sehingga, pendidikan agama ke depan akan mengajarkan nilai-nilai tradisi dan budaya, suri teladan tokoh-tokoh pendiri bangsa, cerita keagamaan dan islami para kiai dalam memperjuangkan kerukunan, dan sebagainya.
*) Penulis adalah Guru Pendidikan Agama Islam SMAN 3 Jember.