Seperti yang dirilis oleh Perpustakaan Nasional dari hasil kajian indeks kegemaran membaca tahun 2020, memberikan hasil jika minat baca Indonesia masuk dalam poin 55,74 atau sedang. Sebuah kabar yang menggembirakan jika kita menengok jauh ke belakang atas hasil survei sebelumnya. Artinya ada kenaikan grade dari hasil survei yang dilakukan UNESCO. Menurut data statistik UNESCO, Indonesia menempati peringkat 60 dari 61 negara dari sisi kemampuan membaca dan menulis. Data tersebut berdasar dari pemeringkatan literasi internasional yang dilakukan oleh Most Literate Nations in the World, yang diterbitkan Central Connecticut State University, Maret 2016.
“Ini adalah sisi hilir yang akan berdampak ke banyak aspek yakni rendahnya daya saing, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), inovasi, pendapatan per kapita, hingga indeks kebahagiaan. Itu semua adalah fakta dan harus diselesaikan oleh kita semua,” ujar Kepala Perpusnas saat dengar pendapat dengan DPR sekaligus memaparkan hasil kajian di atas, selasa, 2 Pebruari 2021(kompas.com).
Literasi adalah problematika nasional yang sudah lama bergejolak. Ujung-ujungnya adalah kadar membaca dan menulis yang masih rendah. Dan seperti pernyataan di atas, sisi hilir ini telah menjebak bangsa ini pada ketersendatan SDM untuk bisa melebarkan potensi di pasar nasional maupun global.
Meskipun penulis belum menemukan lagi data terbaru dari UNESCO soal literasi, setidaknya hasil kajian indeks yang dilakukan Perpustakaan Nasional bisa menjadi acuan untuk melahirkan energi baru bagi khazanah literasi negeri yang sekian lama tertidur. Penulis tidak mempertanyakan validitas atas kajian itu. Titik tekan yang harus dilihat dari temuan ini adalah adanya greget di kalangan masyarakat untuk memulai budaya literasi utamanya membaca. Alangkah indahnya jika kondisi ini sesegera mungkin disambut dengan cerdas oleh pemerintah.
Tetapi, benarkah peringkat sedang–seperti temuan Perpusnas–ini akan bisa terus bergerak naik menuju semangat berliterasi yang tinggi? Menjawab pertanyaan ini bukanlah hal yang mudah. Banyak hal yang harus dibenahi di tengah masyarakat sebagai prasyarat terwujudnya tingkat membaca yang tinggi. Pembenahan ini tidak harus berupa sarana dan prasarana, sebab kenyataannya, ketika UNESCO merilis temuannya di tahun 2016 di atas, Indonesia justru hebat dari sisi pembangunan dan pengembangan fasilitas dan pengadaan sarana membaca. Bahkan peringkat Indonesia untuk pengadaan fasilitas ini berada pada urutan ke-42. Jauh mengungguli Korea Utara, Singapura, Belanda, dan negara-negara maju lainnya.
Pembenahan atas pola pikir agaknya tidak bisa diabaikan. Berkembangnya teknologi ternyata tidak berbanding lurus dengan perkembangan membaca di tengah masyarakat merupakan indikasi kuat adanya kesalahan pola pikir dari sisi membaca ini. Membenahi pola pikir untuk gemar membaca lebih rumit, sebab berkaitan dengan pembiasaan. Sementara pembiasaan perkaitan erat dengan pola hidup masyarakatnya.
Kondisi Dunia Literasi di Jember 10 Tahun Terakhir
Sebagaimana kita ketahui, di tahun 2012, Jember merupakan kabupaten yang memiliki angka buta aksara tertinggi di Indonesia. Data per 2012 menunjukkan ada 167 ribu warga Jember yang masih buta aksara. Provinsi yang terbesar buta aksaranya adalah Jawa Timur, yaitu sebanyak 1,4 juta jiwa.
Secara keseluruhan, angka buta aksara di Indonesia ada 3,4 persen dari penduduk. Mereka tersebar di 25 kabupaten yang tersebar di enam provinsi. Angka 3,4 persen itu ternyata jumlahnya setara dengan 5,98 juta jiwa. Sungguh sebuah angka yang cukup fantastis, karena melebihi jumlah penduduk Singapura (nasional.tempo.co dan sumber media lainnya, 2012).
Tahun 2016, Mendikbud Anies Baswedan meluncurkan gerakan Jember Membaca dalam rangka menyambut Gerakan Indonesia Membaca (19/12/2015). Kalau merujuk pada pola gerakan Jember Membaca, dalam empat bulan dari perjalanan kegiatan tersebut seharusnya sudah bisa menampakkan hasil yang memuaskan. Apalagi entasan buta aksara di Jember Membaca ini menggunakan pola gugur gunung. Yaitu pola pendataan door to door yang kemudian dari data yang diperoleh dilakukan pelayanan upaya pengentasan buta aksara dengan melibatkan semua pihak. Mulai dari aparat TNI, birokrasi, sampai dengan tokoh-tokoh pemuda dan tokoh-tokoh masyarakat.
Sepintas sinergisitas yang tergambar dalam pola di atas seharusnya memberikan keyakinan akan tuntasnya gerakan Jember Membaca ini. Publikasi terkini dari Badan Pusat Statistik (BPS) Jember mencatat masih ada 0,44 persen usia pendidikan 7-24 tahun belum pernah merasakan pendidikan sama sekali.
Di sisi lain, angka penduduk yang tak lagi sekolah juga tinggi, mencapai 30 persen dari kelompok usia tersebut. “Kalau dilihat dari usia sekolah 7-24 tahun, penduduk tak pernah sekolah terbilang kecil. Tapi jika dilihat dari lima tahun ke atas, jumlahnya jauh berbeda, yaitu 12,27 persen,” tutur Kepala BPS Jember Arif Joko Sutejo (radarjember.id, 11 Pebruari 2020).
Memang, tidak ada keterkaitan yang signifikan antara buta aksara dengan minat membaca dan menulis. Keduanya memiliki ranah yang berbeda. Tetapi merefleksi fakta masih besarnya buta aksara di negeri ini dikaitkan dengan fakta lemahnya minat baca tulis akan memberikan kesempurnaan dalam menganalisis sebab.
Membaca Bukanlah Budaya Elitis
Dalam banyak momen tergambar jelas betapa membaca merupakan aktivitas yang minim semangat termasuk minim peminat. Sebagai contoh kecil, di berbagai event lomba baca tulis puisi yang kebetulan penulis terlibat dalam penjurian, hampir semuanya minim peminat. Di satu kecamatan yang seharusnya peserta lomba baca puisi ada sekitar 38 sekolah, ternyata yang mengikuti even hanya separuhnya. Begitupun di tingkat kabupaten. Lebih parah lagi ketika even bedah buku atau launching dari penerbitan sebuah buku, dapat dipastikan yang hadir di acara itu tidaklah terlalu semarak.
Memang ada hal yang menggembirakan yaitu menggeliatnya kondisi penerbitan buku secara indie, utamanya untuk guru. Geliat guru dalam menerbitkan secara indie patut diapresiasi meskipun pasca-dari penerbitan itu nasibnya seakan menghilang ditelan zaman. Artinya, upaya menulis sudah mulai bergeliat. Tetapi sayang, belum bisa diimbangi dengan semangat untuk membaca.
Pada 2016, pemerintah lewat Kemendikbud menjanjikan insentif berupa beasiswa bagi masyarakat yang bisa menerbitkan sebuah tulisan. Namun, kenyataan di lapangan insentif itu belum bisa dirasakan secara keseluruhan oleh penulis-penulis yang telah menerbitkan sebuah buku.
Mengapa menulis dikaitkan dengan membaca? Sebab, dalam aktivitas menulis harus didahului dengan membaca. Dari membaca, seseorang bisa memiliki bahan untuk ditulis. Karena itu, jika aktivitas membaca tinggi, maka bisa dipastikan akan melahirkan bahan-bahan untuk ditulis yang selanjut menjadi sebuah buku untuk dibaca kembali. Namun apa lacur, minat baca untuk bangsa ini memang harus terus dikobarkan.
Gerakan masif seperti apa yang harus dilakukan? Penulis memimpikan adanya satgas penanganan darurat membaca. Menggerakkan seluruh elemen yang dimiliki sampai tingkat bawah. Perangkulan tokoh-tokoh untuk memberi teladan atas nikmatnya membaca pun perlu dilakukan. Bermimpi pula ada anggaran untuk menghidupkan perpustakaan tingkat desa bahkan tingkat dusun. Lalu perpustakaan itu diisi buku-buku dari penulis-penulis lokal yang difasilitasi penuh oleh pemerintah daerah. Mewajibkan pejabat dan ASN untuk hadir di perpustakaan tingkat desa itu sebagai pelopor gerakan membaca di masyarakat.
Memang ada tengara jika dengan adanya media sosial mau tidak mau masyarakat dipaksa untuk membaca. Tetapi penulis termasuk yang mencurigai jika kehadiran media sosial dan juga kemudahan akses IT saat ini bukan melahirkan para maniak baca! Tetapi justru melahirkan budaya baru berupa aktivitas menonton, menyimak, mengamati, lalu men-share.
Mari kita simak, betapa sebuah postingan YouTube lebih diminati daripada sebuah artikel dan berita yang ada di media sosial. Yang sederhana saja, ketika penulis mem-posting sebuah artikel di Facebook, yang menyukai artikel itu hanya beberapa saja bahkan minim. Tetapi begitu penulis posting sebuah foto, bejibun yang berkomentar atas foto tersebut. Like berjatuhan di postingan foto itu.
Maka berharap semoga Perpusnas benar adanya dalam membidik tingkat aktivitas membaca yang ada di masyarakat. Sebab, penulis benar-benar khawatir, jangan-jangan membaca di suatu saat nanti akan menjadi budaya elit, budaya yang hanya bisa dilakukan oleh makhluk kayangan. Sementara manusia bumi cukup memiliki keahlian menonton, mengamati, menyimak, men-share, dan seterusnya!
Salam literasi!
*) Penulis adalah guru bahasa Indonesia pada SMP Negeri 2 Jenggawah