Memilih menjaga kelestarian alam adalah pilihan yang bijak dan sesuai dengan kampanye pemikiran-pemikiran modern saat ini. Kita sepakat bahwa bidang ilmu filsafat adalah ibu kandung dari seluruh ilmu pengetahuan, perkembangan filsafat modern saat ini salah satunya berfokus pada bidang ilmu lingkungan. Ilmu lingkungan bukan menjadi hal bias ketika menjadi topik bahasan diskusi seminar atau forum-forum ilmiah non-ilmiah lainnya. Meminjam istilah Rocki Gerung dalam banyak forum mengatakan bahwa “zaman sekarang orang tidak ngobrol tentang environmental ethics adalah sebuah kemunduran, nggak keren”. Perkataan ini tentunya bukan tanpa alasan, dalam perkembangan ilmu pengetahuan, etika lingkungan datang memberikan paradigma baru tentang alam dengan merujuk pada situasi alam dan mengkritisi pemikiran manusia itu sendiri.
Eksistensi paradigma hasil kritik yang radikal environmental ethics terhadap paradigma lama (antroposentrisme) adalah bahwa manusia sebagai bagian dari organisme yang sangat bergantung dengan lingkungan dan memiliki kepedulian terhadap ekologi (biosentrisme dan ekosentrisme). Kritikan tersebut tentunya bukan hasil dari emosional belaka yang hanya bertujuan untuk melawan paradigma lama. Bio-ekosentrisme lahir untuk menyubstitusi paradigma lama yang terlalu egosentris terhadap keadaan lingkungan.
Etika lingkungan memiliki fokus perhatian pada bagaimana perilaku manusia yang seharusnya terhadap lingkungan. Dalam hal yang berkaitan dengan perilaku manusia terhadap lingkungan, etika lingkungan memiliki 5 teori salah satunya adalah antroposentrisme yang memposisikan lingkungan hidup sebagai pemenuh kebutuhan manusia (objek). Cara pandang ini menyebabkan manusia menguras alam demi memenuhi kepentingan dan kehidupannya tanpa memberi perhatian kepada kelestarian alam. Manifestasi dari paradigma ini adalah orientasi dari paham ekonomi kapitalis sehingga memengaruhi manusia terhadap sumber kekayaan alam dan menyebabkan kerusakan ekologi, dengan produk eksploitasi deforestasi, desertifikasi, perburuan liar, dan mengubah sistem iklim1. Sehingga tidak berlebihan jika paradigma ini, merupakan biang keladi dari kerusakan alam dari dimensi ekologinya.
Sebagai terjemahan dari turunan kerusakan ekologi adalah terjadinya bencana alam dengan jenis hidrometeorologi yaitu bencana alam yang terjadi akibat angin, curah hujan, temperatur dan kelembaban. Selama periode 2020 dan 2021, total data yang dirangkum oleh BNPB bencana secara umum bencana alam terjadi sebanyak 2.925 dan 3.034 kejadian selama periode tersebut2. Secara terperinci kejadian bencana di dominasi jenis hidrometeorologi dengan penambahan 96 persen kejadian. Tentu, ini bukan angka yang kecil untuk disepelekan. Sebab, secara tidak langsung kita di hadapkan pada situasi cuaca yang ekstrim dan dampak bencana alamnya. Dan baru-baru ini menurut laporan BMKG terjadi kenaikan suhu optimum dari tahun 2020 sampai 2021 sebanyak 0,4 derajat Celcius. Kenaikan suhu sebanyak 0,4 derajat sudah menambah hampir 100 persen kejadian bencana secara umum bagaimana jadinya kalau penambahan suhu optimumnya sampai 1 derajat Celcius.
Selain terjadinya bencana alam, kerusakan ekologi juga berhubungan dengan kondisi habitat dan evolusi satwa liar. Beralih fungsinya hutan menjadi lahan pertanian dan perkebunan membantu dalam pengurangan luasan hutan sebagai habitat satwa liar. Sehingga menjadi salah satu penyebab konflik antara satwa liar dan manusia. Data BBTNGL mencatat selama 2021 telah terjadi kasus konflik antarsatwa liar dengan manusia sebanyak 136 kali yang di dominasi kasus konflik manusia dengan harimau4.
Menurut penelitian perkembangan evolusi manusia terjadi bersamaan dengan perubahan iklim bumi jutaan tahun silam. Seperti di kutip dari Phys 9/7/2021 bahwa peneliti mengungkapkan bahwa telah terjadi perubahan fisik pada manusia yang di akibatkan oleh iklim. Hasil penelitian menjelaskan bahwa terdapat tubuh manusia yang lebih kecil di daerah yang panas dan terjadi sebaliknya ketika di iklim yang lebih dingin. Hal ini membuktikan bahwa perubahan iklim memiliki pengaruh terhadap evolusi organisme.
Secara alami organisme akan melakukan evolusi baik secara lengkap maupun tidak lengkap untuk menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungannya. Hal ini lazim terjadi dari sudut pandang evolusi organik yaitu sebuah kajian evolusi tumbuhan dan hewan yang beradaptasi dengan lingkungan dengan melibatkan spesialisasi dan kompleksitas morfologinya. Mengutip dari Vice 8/9/2021 para peneliti telah lama mengamati dampak perubahan iklim pada satwa liar. Hasil temuannya mengungkap bahwa suhu yang lebih panas dapat menyusutkan ukuran spesies tertentu, menyebabkan infertilitas dan bahkan kematian. Selain itu peneliti juga mengungkap fenomena Allen’s rule atau perubahan morfologi pada beberapa spesies terjadi pada berbagai hewan dan skala geogenik6.
Peneliti juga menyadari perubahan morfologi dapat terjadi akibat habitat, pola makan, dan faktor ekologi lainnya. Namun, variabel perubahan iklim dapat dijadikan acuan karena pengamatan hewan dilakukan dari berbagai jenis hewan dengan pola makan dan habitat yang berbeda. Namun, yang terpenting bukanlah tentang variabel lain tersebut akan tetapi apakah hewan liar tersebut akan mampu bertahan dengan perubahan yang ekstrim dan melakukan evolusi dengan cepat? Karena kalau akan menyebabkan infertilitas dan bahkan kematian, tentu ini akan mengurangi jumlah populasi bahkan spesies tertentu.
Situasi ini sangat mengkhawatirkan untuk keberlangsungan hidup seluruh organisme di muka bumi ini, perlu tindakan nyata dari segala pihak terutama pemangku kebijakan dan di dukung oleh masyarakat luas dengan mengubah pola hidup dengan mengubah paradigma menjadi bio dan ekosentrisme. Benar memang, jika manusia di hadapkan oleh hanya dua pilihan maka yang akan terjadi manusia tersebut layaknya robot. Memang perlu memberikan beberapa pilihan untuk lebih banyak pertimbangan agar manusia dapat memilih secara rasional. Minimal tiga pilihan. Namun, pada situasi saat ini meskipun hanya ada dua pilihan (menjaga kelestarian alam dan mengesampingkan kelestarian alam) memilih menjaga lingkungan untuk keberlangsungan hidup alam semesta secepatnya kita pilih.
Secara nilai budaya dan melalui proses yang panjang, manusia mampu melahirkan pemikiran atas kesadaran ruang dan waktu, dan terkemas dalam banyak bentuk. Seperti misalnya “setiap masa ada orangnya, setiap orang ada masanya” hal ini merupakan pepatah yang bermuatan atas kesadaran ruang dan waktu. Pepatah ini mengirimkan pesan bagi manusia agar memahami bahwa apa pun di alam raya ini bukan hanya hak bagi manusia yang hidup saat ini, akan tetapi juga menjadi hak untuk manusia yang hidup di masa yang akan datang. Maka perlu, kita (manusia) menjaga konsistensi keseimbangan alam (ekologi) agar manusia-manusia, anak keturunan kita menikmati juga apa yang diberikan oleh alam.
*) Penulis adalah alumnus Politeknik Negeri Jember Jurusan Produksi Pertanian