30.4 C
Jember
Friday, 24 March 2023

Kontribusi Video Journalist di Era Post-Truth

Mobile_AP_Rectangle 1

Masyarakat informasi haus mengisi relung kehidupan mereka setiap hari dengan beragam informasi. Bergelut dengan bermacam aktivitas, dan terus memburu informasi terkini. Informasi menjadi barang berharga. Begitulah gaya hidup masyarakat informasi saat ini, information society. Pendek kata, manusia sangat bergantung pada media sebagai instrumen pemenuhan hasrat hidup. Misalnya untuk bisnis, pendidikan, hiburan, bahkan mencari jodoh.

Lantas media apa yang mereka pilih?

Kita tentu tahu, jika media sosial menguasai media saat ini. Hasil survei Data Reportal melaporkan pengguna media sosial di Indonesia saja sebesar 191,4 juta pada bulan Januari 2022, meningkat 21 juta atau 12,6 persen dibanding tahun 2021. Peningkatan pengguna itu akan terus terjadi seiring jaringan internet yang sudah merambah ke pelosok desa, dan masyarakat pun lebih suka mengonsumsi media sosial. Sedangkan media konvensional seperti koran, majalah, televisi, dan radio telah “dipaksa” untuk mendisrupsi dan beradaptasi dengan dunia digital. Itulah mediamorfosis, yakni konvergensi media konvensional dalam platform media internet.

Mobile_AP_Rectangle 2

Pergeseran ini mengubah pula menu informasi yang dikonsumsi pengguna media. Ironinya, sajian informasi itu banyak yang tak layak konsumsi, karena tidak melalui proses produksi yang “higienis”. Bejibun informasi di media sosial tanpa gatekeeper yang bertugas menyaring informasi sebelum disebar. Dampaknya, bertebaran informasi salah, tidak akurat alias hoax dan fake news yang sengaja disebar untuk kepentingan tidak baik, atau sebagai propaganda politik. Inilah yang terjadi di era informasi saat ini. Begitu banyak disinformasi yang dikonsumsi pengguna media, hingga akhirnya dirasa sebuah kebenaran. Kondisi itu lazim disebut post-truth. Informasi yang seakan-akan benar, namun sesungguhnya tidak benar, dan kita hidup di era ini. Selamat datang. Istilah post-truth awalnya dipergunakan Steve Tesich pada tahun 1992 di majalah the nation dengan judul The Government of lies. Tulisan itu berkaitan dengan skandal Watergate.

Produk informasi “higienis” diproduksi oleh media-media yang memiliki kredibilitas dan integritas. Media arus utama yang memiliki kredibilitas dan integritas itu harus lebih mengemuka di media digital agar mampu menekan penyebaran misinformasi dan disinformasi. Aktif memainkan media sosial untuk menyebarkan produk jurnalistik. Mengedukasi pengguna media sosial untuk literasi media agar terhindar dari kesesatan informasi. Apalagi, kerap kali media arus utama masih dibutuhkan untuk menyelesaikan problematika yang dihadapi netizen, para pengguna media sosial.

Tonton saja film dokumenter yang kini sedang trending di Netflix berjudul The Tinder Swindler. Kisah nyata itu dikemas sinematik oleh sutradara Felicity Morris. Cerita diawali dari pengguna aplikasi media sosial mencari jodoh, Tinder, bernama Cecilie Fjellhoy. Korban menceritakan kegemarannya menggunakan Tinder. Maklum, wanita cantik itu ingin segera punya tambatan hati yang sesuai dengan seleranya. Cicilie mulai berselancar di Tinder dan swab right (geser ke kanan) jika foto lelaki yang diidamkannya muncul. Salah satunya pria tampan asal Israel bernama Simon Leviev. Ketertarikan Cicilie pada Simon Leviev bukan sekadar ketampanan, tapi juga gaya hidup yang ditampilkan di aplikasi Tinder dan Instagram. Tak hanya Cecilie Fjellhoy, tersebut juga nama Pernilla Sjoholm dan Ayleen Charlotte. Para wanita itu berasal dari Norwegia, Swedia dan Amsterdam. Simon berhasil membetot perhatian wanita-wanita cantik dengan cara flexing, memamerkan kekayaan dan gaya hidup. Menggunakan jet pribadi, mobil Lamborghini, kapal pesiar, traveling di berbagai negara dan menginap di hotel super mewah serta mengaku putra mahkota pengusaha berlian Israel, Lev Leviev. Padahal semua foto di Tinder dan Instagram itu adalah palsu, fake. Kemewahan itu berasal dari hasil menipu wanita-wanita di Tinder. Satu korban bisa tertipu 5 miliar rupiah, hasil meminjam dari kartu kredit. Simon menipu dengan skema Ponzi, yakni menipu wanita dengan pamer kekayaan, dan mentraktir kehidupan mewah dari hasil menipu wanita lain.

Terbongkarnya kedok Simon, terkuak setelah Cecilie “melapor” ke VG Newspaper, sebuah media besar di Norwegia. Cicilie menyerahkan semua jejak digital berupa chat WA (400 halaman) dan voice note WhatsApp, foto dan video saat naik jet pribadi, bermalam di hotel, serta apartemen mewah. Data-data itu selanjutnya diolah tim redaksi VG Newspaper dan diperkuat dengan investigasi para video journalist. Di sinilah peran video journalist begitu luar biasa. Dalam film dokumenter itu digambarkan bagaimana tim video journalist menjalankan jurnalisme investigasi dengan riset mendalam, membangun hipotesis dari merangkai data digital milik korban. Data digital itu komplet membentuk anatomi sehingga memudahkan tim investigasi melacak keberadaan Simon. Tim investigasi juga menelusuri rumah Simon di Israel. Melacak ke kepolisian setempat, dan diketahui berganti-ganti nama. Nama sebenarnya adalah Simon Yehuda Hayut bukan Simon Liviev. Simon pernah di penjara di Finlandia dan menjadi buron Israel. Dalam penelusuran itu, tim investigasi berhasil menemukan rumah Simon. Bahkan ibundanya sempat diwawancarai, meski hanya mengatakan Simon sudah lama meninggal rumah sejak 18 tahun dan berganti nama.

Selain kerja tim video journalist yang piawai, hal lain yang patut diapresiasi adalah kemasan (packaging) laporan investigasi. Media VG merilis di media online (https://www.vg.no › spesial › tindersvindleren › English) layaknya web series. Plot mengalir dan pesan mudah dicerna. Konvergensi media diramu sedemikian rupa, dari kumpulan video, teks, foto dan audio. Sungguh impressive! Selain film dokumenter The Tinder Swindler, ada pula film dokumenter berjudul Trust No One: The Hunt For The Crypto King, yang juga melibatkan jurnalis untuk menginvestigasi sebuah kasus. Film-film dokumenter (kisah nyata) itu memvisualisasikan peran dahsyat dari para jurnalis untuk membongkar kasus fenomenal.

Menyampaikan kebenaran dalam karya jurnalistik, tentu saja bukan hanya domain media arus utama, media mainstream. Namun, yang tak kalah penting adalah peran individu. Bukankah menyampaikan kebenaran itu wajib bagi setiap orang. Era informasi saat ini, setiap individu bisa menjadi jurnalis yang lazim disebut jurnalis warga, citizen journalist. Medianya? Bisa menggunakan situs/portal komunitas jurnalis warga atau media sosial.

Tak dimungkiri, saat ini hampir setiap orang mulai generasi baby boomers hingga generasi Alpha sudah memiliki telepon pintar, smart phone. Hand phone saat ini sudah semakin pintar, tak sekadar untuk telepon, namun bisa untuk chat, video call, foto, video, editing, mengetik, browsing dan sebagainya. Kualitas perekaman foto dan video sudah semakin baik dengan format full HD bahkan 4K. Sementara para penggunanya, aktif bermain di media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, Youtube, Tiktok, dan medsos lain. Aktif posting status atau story, tapi sayang tidak semua bermanfaat, hanya sekadar posting sedang galau, makanan, tiket bioskop, dan perilaku lain yang hedonisme dan flexing (pamer). Lantas muncul pertanyaan, apakah kita harus posting sebuah peristiwa saja dan sesuatu yang buruk agar status, story, konten media sosial kita seperti media arus utama?. Tentu tidak. Ingat, tidak selalu bad news is news, tapi good news is news too. Mengunggah kuliner misalnya, tetap menarik jika kuliner itu memiliki nilai berita (news value). Anda yang gemar traveling pun bisa menjadi liputan menarik.

Menulis di blog atau bergabung di komunitas jurnalis warga bisa menjadi pilihan untuk menyalurkan karya jurnalistik warga. Namun, menilik perkembangan minat netizen saat ini, rupanya informasi jenis video lebih diminati. Dewasa ini, netizen lebih memilih konten video durasi pendek. Aplikasi seperti Tiktok semakin diminati, bahkan di beberapa survei menempatkan Tiktok di posisi teratas mengalahkan Youtube dan Instagram. Maka tak heran jika para kompetitor Tiktok ikut-ikutan menyediakan platform video durasi pendek sekitar 3 menit. Instagram menyediakan reel dan Youtube punya shorts. Nah, platform itulah yang bisa dipergunakan untuk media jurnalis warga dalam format video jurnalistik.

Video jurnalistik sama dengan karya jurnalistik lain. Harus memenuhi kaidah jurnalistik dan paham nilai-nilai berita. Kaidah jurnalistik dikenal dengan Accurate-Balance-Clarity A-B-C.

Accurate (Akurasi). Mengambil gambar (record video) apa adanya. Jangan memanipulasi gambar dengan tujuan lebih dramatis. Rekamlah gambar apa adanya. Misalnya, ketika banjir melanda di kampung atau desa Anda. Ketinggian air hanya sebatas mata kaki. Jangan berbohong pada khalayak dengan memanipulasi gambar seolah-olah ketinggian air mencapai lutut orang dewasa. Jujurlah dengan publik.

Balance (Seimbang). Kalau Anda tertarik mempublikasikan peristiwa yang melibatkan kubu berbeda dan sedang berseteru, Anda sebaiknya lebih berhati-hati. Verifikasi adalah kuncinya. Tanya kedua kubu yang berseteru dan tampilkan apa adanya. Dalam dunia jurnalistik dikenal dengan cover both side (berimbang), tidak memihak. Pada perkembangannya tidak sekadar cover both side, tapi multiside dengan bertanya pada beberapa narasumber tepercaya (primer). Ini akan menambah kedalaman berita.

Clarity (Kejelasan). Berbeda dengan produk jurnalistik tulis (cetak dan online) atau audio (radio), jurnalistik video lebih mengandalkan gambar. Gambar harus berbicara. Artinya, setiap shot (rekaman gambar) harus memiliki arti. Walau tanpa narasi (dubbing maupun teks), khalayak paham dengan visual yang disajikan. Inilah kekuatan video jurnalistik, setiap detail gambar memiliki sebuah makna. Sehngga publik akan mendapatkan informasi yang akurat, berimbang, jelas dan utuh.

Video journalist (VJ) warga seyogyanya memahami nilai berita (magnitude/berpengaruh, aktual/baru, proximity/kedekatan, prominence/ketokohan, impact/dampak, conflict/konflik, human interest/kemanusiaan, unique/unik, sex/seks). Agar gambar bermakna, cukup dengan kunci W-M-C (wide-medium-close). Type of Shot W-M-C akan memberi makna pada sebuah gambar (video). Wide menunjukkan di mana subjek berada, Medium memperlihatkan aktivitas yang sedang dilakukan subjek dan Close akan memperlihatkan emosi/ekspresi subjek. Untuk proses editing bisa menggunakan aplikasi Capcut, Kinemaster, Alignmotion dan aplikasi lain. Penggunaannya pun mudah. Editlah gambar (footage) yang Anda miliki sependek mungkin namun penuh makna.

Smart phone telah mengubah peradaban, bahkan dunia pun dalam genggaman. Di mana Anda berada, Anda bisa berbagi kebaikan dan berkontribusi merekam sejarah. Kini saatnya mengisi media sosial dengan video-video bermakna. Jadilah video journalist warga dan turut berkontribusi menyehatkan ruang komunikasi dari hoax dan fake news. Meski durasi pendek, namun manfaatnya akan berimplikasi luas. Sampaikan kebenaran dengan video bermakna. Salam VJ.

Penulis adalah Kaprodi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Jember

- Advertisement -

Masyarakat informasi haus mengisi relung kehidupan mereka setiap hari dengan beragam informasi. Bergelut dengan bermacam aktivitas, dan terus memburu informasi terkini. Informasi menjadi barang berharga. Begitulah gaya hidup masyarakat informasi saat ini, information society. Pendek kata, manusia sangat bergantung pada media sebagai instrumen pemenuhan hasrat hidup. Misalnya untuk bisnis, pendidikan, hiburan, bahkan mencari jodoh.

Lantas media apa yang mereka pilih?

Kita tentu tahu, jika media sosial menguasai media saat ini. Hasil survei Data Reportal melaporkan pengguna media sosial di Indonesia saja sebesar 191,4 juta pada bulan Januari 2022, meningkat 21 juta atau 12,6 persen dibanding tahun 2021. Peningkatan pengguna itu akan terus terjadi seiring jaringan internet yang sudah merambah ke pelosok desa, dan masyarakat pun lebih suka mengonsumsi media sosial. Sedangkan media konvensional seperti koran, majalah, televisi, dan radio telah “dipaksa” untuk mendisrupsi dan beradaptasi dengan dunia digital. Itulah mediamorfosis, yakni konvergensi media konvensional dalam platform media internet.

Pergeseran ini mengubah pula menu informasi yang dikonsumsi pengguna media. Ironinya, sajian informasi itu banyak yang tak layak konsumsi, karena tidak melalui proses produksi yang “higienis”. Bejibun informasi di media sosial tanpa gatekeeper yang bertugas menyaring informasi sebelum disebar. Dampaknya, bertebaran informasi salah, tidak akurat alias hoax dan fake news yang sengaja disebar untuk kepentingan tidak baik, atau sebagai propaganda politik. Inilah yang terjadi di era informasi saat ini. Begitu banyak disinformasi yang dikonsumsi pengguna media, hingga akhirnya dirasa sebuah kebenaran. Kondisi itu lazim disebut post-truth. Informasi yang seakan-akan benar, namun sesungguhnya tidak benar, dan kita hidup di era ini. Selamat datang. Istilah post-truth awalnya dipergunakan Steve Tesich pada tahun 1992 di majalah the nation dengan judul The Government of lies. Tulisan itu berkaitan dengan skandal Watergate.

Produk informasi “higienis” diproduksi oleh media-media yang memiliki kredibilitas dan integritas. Media arus utama yang memiliki kredibilitas dan integritas itu harus lebih mengemuka di media digital agar mampu menekan penyebaran misinformasi dan disinformasi. Aktif memainkan media sosial untuk menyebarkan produk jurnalistik. Mengedukasi pengguna media sosial untuk literasi media agar terhindar dari kesesatan informasi. Apalagi, kerap kali media arus utama masih dibutuhkan untuk menyelesaikan problematika yang dihadapi netizen, para pengguna media sosial.

Tonton saja film dokumenter yang kini sedang trending di Netflix berjudul The Tinder Swindler. Kisah nyata itu dikemas sinematik oleh sutradara Felicity Morris. Cerita diawali dari pengguna aplikasi media sosial mencari jodoh, Tinder, bernama Cecilie Fjellhoy. Korban menceritakan kegemarannya menggunakan Tinder. Maklum, wanita cantik itu ingin segera punya tambatan hati yang sesuai dengan seleranya. Cicilie mulai berselancar di Tinder dan swab right (geser ke kanan) jika foto lelaki yang diidamkannya muncul. Salah satunya pria tampan asal Israel bernama Simon Leviev. Ketertarikan Cicilie pada Simon Leviev bukan sekadar ketampanan, tapi juga gaya hidup yang ditampilkan di aplikasi Tinder dan Instagram. Tak hanya Cecilie Fjellhoy, tersebut juga nama Pernilla Sjoholm dan Ayleen Charlotte. Para wanita itu berasal dari Norwegia, Swedia dan Amsterdam. Simon berhasil membetot perhatian wanita-wanita cantik dengan cara flexing, memamerkan kekayaan dan gaya hidup. Menggunakan jet pribadi, mobil Lamborghini, kapal pesiar, traveling di berbagai negara dan menginap di hotel super mewah serta mengaku putra mahkota pengusaha berlian Israel, Lev Leviev. Padahal semua foto di Tinder dan Instagram itu adalah palsu, fake. Kemewahan itu berasal dari hasil menipu wanita-wanita di Tinder. Satu korban bisa tertipu 5 miliar rupiah, hasil meminjam dari kartu kredit. Simon menipu dengan skema Ponzi, yakni menipu wanita dengan pamer kekayaan, dan mentraktir kehidupan mewah dari hasil menipu wanita lain.

Terbongkarnya kedok Simon, terkuak setelah Cecilie “melapor” ke VG Newspaper, sebuah media besar di Norwegia. Cicilie menyerahkan semua jejak digital berupa chat WA (400 halaman) dan voice note WhatsApp, foto dan video saat naik jet pribadi, bermalam di hotel, serta apartemen mewah. Data-data itu selanjutnya diolah tim redaksi VG Newspaper dan diperkuat dengan investigasi para video journalist. Di sinilah peran video journalist begitu luar biasa. Dalam film dokumenter itu digambarkan bagaimana tim video journalist menjalankan jurnalisme investigasi dengan riset mendalam, membangun hipotesis dari merangkai data digital milik korban. Data digital itu komplet membentuk anatomi sehingga memudahkan tim investigasi melacak keberadaan Simon. Tim investigasi juga menelusuri rumah Simon di Israel. Melacak ke kepolisian setempat, dan diketahui berganti-ganti nama. Nama sebenarnya adalah Simon Yehuda Hayut bukan Simon Liviev. Simon pernah di penjara di Finlandia dan menjadi buron Israel. Dalam penelusuran itu, tim investigasi berhasil menemukan rumah Simon. Bahkan ibundanya sempat diwawancarai, meski hanya mengatakan Simon sudah lama meninggal rumah sejak 18 tahun dan berganti nama.

Selain kerja tim video journalist yang piawai, hal lain yang patut diapresiasi adalah kemasan (packaging) laporan investigasi. Media VG merilis di media online (https://www.vg.no › spesial › tindersvindleren › English) layaknya web series. Plot mengalir dan pesan mudah dicerna. Konvergensi media diramu sedemikian rupa, dari kumpulan video, teks, foto dan audio. Sungguh impressive! Selain film dokumenter The Tinder Swindler, ada pula film dokumenter berjudul Trust No One: The Hunt For The Crypto King, yang juga melibatkan jurnalis untuk menginvestigasi sebuah kasus. Film-film dokumenter (kisah nyata) itu memvisualisasikan peran dahsyat dari para jurnalis untuk membongkar kasus fenomenal.

Menyampaikan kebenaran dalam karya jurnalistik, tentu saja bukan hanya domain media arus utama, media mainstream. Namun, yang tak kalah penting adalah peran individu. Bukankah menyampaikan kebenaran itu wajib bagi setiap orang. Era informasi saat ini, setiap individu bisa menjadi jurnalis yang lazim disebut jurnalis warga, citizen journalist. Medianya? Bisa menggunakan situs/portal komunitas jurnalis warga atau media sosial.

Tak dimungkiri, saat ini hampir setiap orang mulai generasi baby boomers hingga generasi Alpha sudah memiliki telepon pintar, smart phone. Hand phone saat ini sudah semakin pintar, tak sekadar untuk telepon, namun bisa untuk chat, video call, foto, video, editing, mengetik, browsing dan sebagainya. Kualitas perekaman foto dan video sudah semakin baik dengan format full HD bahkan 4K. Sementara para penggunanya, aktif bermain di media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, Youtube, Tiktok, dan medsos lain. Aktif posting status atau story, tapi sayang tidak semua bermanfaat, hanya sekadar posting sedang galau, makanan, tiket bioskop, dan perilaku lain yang hedonisme dan flexing (pamer). Lantas muncul pertanyaan, apakah kita harus posting sebuah peristiwa saja dan sesuatu yang buruk agar status, story, konten media sosial kita seperti media arus utama?. Tentu tidak. Ingat, tidak selalu bad news is news, tapi good news is news too. Mengunggah kuliner misalnya, tetap menarik jika kuliner itu memiliki nilai berita (news value). Anda yang gemar traveling pun bisa menjadi liputan menarik.

Menulis di blog atau bergabung di komunitas jurnalis warga bisa menjadi pilihan untuk menyalurkan karya jurnalistik warga. Namun, menilik perkembangan minat netizen saat ini, rupanya informasi jenis video lebih diminati. Dewasa ini, netizen lebih memilih konten video durasi pendek. Aplikasi seperti Tiktok semakin diminati, bahkan di beberapa survei menempatkan Tiktok di posisi teratas mengalahkan Youtube dan Instagram. Maka tak heran jika para kompetitor Tiktok ikut-ikutan menyediakan platform video durasi pendek sekitar 3 menit. Instagram menyediakan reel dan Youtube punya shorts. Nah, platform itulah yang bisa dipergunakan untuk media jurnalis warga dalam format video jurnalistik.

Video jurnalistik sama dengan karya jurnalistik lain. Harus memenuhi kaidah jurnalistik dan paham nilai-nilai berita. Kaidah jurnalistik dikenal dengan Accurate-Balance-Clarity A-B-C.

Accurate (Akurasi). Mengambil gambar (record video) apa adanya. Jangan memanipulasi gambar dengan tujuan lebih dramatis. Rekamlah gambar apa adanya. Misalnya, ketika banjir melanda di kampung atau desa Anda. Ketinggian air hanya sebatas mata kaki. Jangan berbohong pada khalayak dengan memanipulasi gambar seolah-olah ketinggian air mencapai lutut orang dewasa. Jujurlah dengan publik.

Balance (Seimbang). Kalau Anda tertarik mempublikasikan peristiwa yang melibatkan kubu berbeda dan sedang berseteru, Anda sebaiknya lebih berhati-hati. Verifikasi adalah kuncinya. Tanya kedua kubu yang berseteru dan tampilkan apa adanya. Dalam dunia jurnalistik dikenal dengan cover both side (berimbang), tidak memihak. Pada perkembangannya tidak sekadar cover both side, tapi multiside dengan bertanya pada beberapa narasumber tepercaya (primer). Ini akan menambah kedalaman berita.

Clarity (Kejelasan). Berbeda dengan produk jurnalistik tulis (cetak dan online) atau audio (radio), jurnalistik video lebih mengandalkan gambar. Gambar harus berbicara. Artinya, setiap shot (rekaman gambar) harus memiliki arti. Walau tanpa narasi (dubbing maupun teks), khalayak paham dengan visual yang disajikan. Inilah kekuatan video jurnalistik, setiap detail gambar memiliki sebuah makna. Sehngga publik akan mendapatkan informasi yang akurat, berimbang, jelas dan utuh.

Video journalist (VJ) warga seyogyanya memahami nilai berita (magnitude/berpengaruh, aktual/baru, proximity/kedekatan, prominence/ketokohan, impact/dampak, conflict/konflik, human interest/kemanusiaan, unique/unik, sex/seks). Agar gambar bermakna, cukup dengan kunci W-M-C (wide-medium-close). Type of Shot W-M-C akan memberi makna pada sebuah gambar (video). Wide menunjukkan di mana subjek berada, Medium memperlihatkan aktivitas yang sedang dilakukan subjek dan Close akan memperlihatkan emosi/ekspresi subjek. Untuk proses editing bisa menggunakan aplikasi Capcut, Kinemaster, Alignmotion dan aplikasi lain. Penggunaannya pun mudah. Editlah gambar (footage) yang Anda miliki sependek mungkin namun penuh makna.

Smart phone telah mengubah peradaban, bahkan dunia pun dalam genggaman. Di mana Anda berada, Anda bisa berbagi kebaikan dan berkontribusi merekam sejarah. Kini saatnya mengisi media sosial dengan video-video bermakna. Jadilah video journalist warga dan turut berkontribusi menyehatkan ruang komunikasi dari hoax dan fake news. Meski durasi pendek, namun manfaatnya akan berimplikasi luas. Sampaikan kebenaran dengan video bermakna. Salam VJ.

Penulis adalah Kaprodi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Jember

Masyarakat informasi haus mengisi relung kehidupan mereka setiap hari dengan beragam informasi. Bergelut dengan bermacam aktivitas, dan terus memburu informasi terkini. Informasi menjadi barang berharga. Begitulah gaya hidup masyarakat informasi saat ini, information society. Pendek kata, manusia sangat bergantung pada media sebagai instrumen pemenuhan hasrat hidup. Misalnya untuk bisnis, pendidikan, hiburan, bahkan mencari jodoh.

Lantas media apa yang mereka pilih?

Kita tentu tahu, jika media sosial menguasai media saat ini. Hasil survei Data Reportal melaporkan pengguna media sosial di Indonesia saja sebesar 191,4 juta pada bulan Januari 2022, meningkat 21 juta atau 12,6 persen dibanding tahun 2021. Peningkatan pengguna itu akan terus terjadi seiring jaringan internet yang sudah merambah ke pelosok desa, dan masyarakat pun lebih suka mengonsumsi media sosial. Sedangkan media konvensional seperti koran, majalah, televisi, dan radio telah “dipaksa” untuk mendisrupsi dan beradaptasi dengan dunia digital. Itulah mediamorfosis, yakni konvergensi media konvensional dalam platform media internet.

Pergeseran ini mengubah pula menu informasi yang dikonsumsi pengguna media. Ironinya, sajian informasi itu banyak yang tak layak konsumsi, karena tidak melalui proses produksi yang “higienis”. Bejibun informasi di media sosial tanpa gatekeeper yang bertugas menyaring informasi sebelum disebar. Dampaknya, bertebaran informasi salah, tidak akurat alias hoax dan fake news yang sengaja disebar untuk kepentingan tidak baik, atau sebagai propaganda politik. Inilah yang terjadi di era informasi saat ini. Begitu banyak disinformasi yang dikonsumsi pengguna media, hingga akhirnya dirasa sebuah kebenaran. Kondisi itu lazim disebut post-truth. Informasi yang seakan-akan benar, namun sesungguhnya tidak benar, dan kita hidup di era ini. Selamat datang. Istilah post-truth awalnya dipergunakan Steve Tesich pada tahun 1992 di majalah the nation dengan judul The Government of lies. Tulisan itu berkaitan dengan skandal Watergate.

Produk informasi “higienis” diproduksi oleh media-media yang memiliki kredibilitas dan integritas. Media arus utama yang memiliki kredibilitas dan integritas itu harus lebih mengemuka di media digital agar mampu menekan penyebaran misinformasi dan disinformasi. Aktif memainkan media sosial untuk menyebarkan produk jurnalistik. Mengedukasi pengguna media sosial untuk literasi media agar terhindar dari kesesatan informasi. Apalagi, kerap kali media arus utama masih dibutuhkan untuk menyelesaikan problematika yang dihadapi netizen, para pengguna media sosial.

Tonton saja film dokumenter yang kini sedang trending di Netflix berjudul The Tinder Swindler. Kisah nyata itu dikemas sinematik oleh sutradara Felicity Morris. Cerita diawali dari pengguna aplikasi media sosial mencari jodoh, Tinder, bernama Cecilie Fjellhoy. Korban menceritakan kegemarannya menggunakan Tinder. Maklum, wanita cantik itu ingin segera punya tambatan hati yang sesuai dengan seleranya. Cicilie mulai berselancar di Tinder dan swab right (geser ke kanan) jika foto lelaki yang diidamkannya muncul. Salah satunya pria tampan asal Israel bernama Simon Leviev. Ketertarikan Cicilie pada Simon Leviev bukan sekadar ketampanan, tapi juga gaya hidup yang ditampilkan di aplikasi Tinder dan Instagram. Tak hanya Cecilie Fjellhoy, tersebut juga nama Pernilla Sjoholm dan Ayleen Charlotte. Para wanita itu berasal dari Norwegia, Swedia dan Amsterdam. Simon berhasil membetot perhatian wanita-wanita cantik dengan cara flexing, memamerkan kekayaan dan gaya hidup. Menggunakan jet pribadi, mobil Lamborghini, kapal pesiar, traveling di berbagai negara dan menginap di hotel super mewah serta mengaku putra mahkota pengusaha berlian Israel, Lev Leviev. Padahal semua foto di Tinder dan Instagram itu adalah palsu, fake. Kemewahan itu berasal dari hasil menipu wanita-wanita di Tinder. Satu korban bisa tertipu 5 miliar rupiah, hasil meminjam dari kartu kredit. Simon menipu dengan skema Ponzi, yakni menipu wanita dengan pamer kekayaan, dan mentraktir kehidupan mewah dari hasil menipu wanita lain.

Terbongkarnya kedok Simon, terkuak setelah Cecilie “melapor” ke VG Newspaper, sebuah media besar di Norwegia. Cicilie menyerahkan semua jejak digital berupa chat WA (400 halaman) dan voice note WhatsApp, foto dan video saat naik jet pribadi, bermalam di hotel, serta apartemen mewah. Data-data itu selanjutnya diolah tim redaksi VG Newspaper dan diperkuat dengan investigasi para video journalist. Di sinilah peran video journalist begitu luar biasa. Dalam film dokumenter itu digambarkan bagaimana tim video journalist menjalankan jurnalisme investigasi dengan riset mendalam, membangun hipotesis dari merangkai data digital milik korban. Data digital itu komplet membentuk anatomi sehingga memudahkan tim investigasi melacak keberadaan Simon. Tim investigasi juga menelusuri rumah Simon di Israel. Melacak ke kepolisian setempat, dan diketahui berganti-ganti nama. Nama sebenarnya adalah Simon Yehuda Hayut bukan Simon Liviev. Simon pernah di penjara di Finlandia dan menjadi buron Israel. Dalam penelusuran itu, tim investigasi berhasil menemukan rumah Simon. Bahkan ibundanya sempat diwawancarai, meski hanya mengatakan Simon sudah lama meninggal rumah sejak 18 tahun dan berganti nama.

Selain kerja tim video journalist yang piawai, hal lain yang patut diapresiasi adalah kemasan (packaging) laporan investigasi. Media VG merilis di media online (https://www.vg.no › spesial › tindersvindleren › English) layaknya web series. Plot mengalir dan pesan mudah dicerna. Konvergensi media diramu sedemikian rupa, dari kumpulan video, teks, foto dan audio. Sungguh impressive! Selain film dokumenter The Tinder Swindler, ada pula film dokumenter berjudul Trust No One: The Hunt For The Crypto King, yang juga melibatkan jurnalis untuk menginvestigasi sebuah kasus. Film-film dokumenter (kisah nyata) itu memvisualisasikan peran dahsyat dari para jurnalis untuk membongkar kasus fenomenal.

Menyampaikan kebenaran dalam karya jurnalistik, tentu saja bukan hanya domain media arus utama, media mainstream. Namun, yang tak kalah penting adalah peran individu. Bukankah menyampaikan kebenaran itu wajib bagi setiap orang. Era informasi saat ini, setiap individu bisa menjadi jurnalis yang lazim disebut jurnalis warga, citizen journalist. Medianya? Bisa menggunakan situs/portal komunitas jurnalis warga atau media sosial.

Tak dimungkiri, saat ini hampir setiap orang mulai generasi baby boomers hingga generasi Alpha sudah memiliki telepon pintar, smart phone. Hand phone saat ini sudah semakin pintar, tak sekadar untuk telepon, namun bisa untuk chat, video call, foto, video, editing, mengetik, browsing dan sebagainya. Kualitas perekaman foto dan video sudah semakin baik dengan format full HD bahkan 4K. Sementara para penggunanya, aktif bermain di media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, Youtube, Tiktok, dan medsos lain. Aktif posting status atau story, tapi sayang tidak semua bermanfaat, hanya sekadar posting sedang galau, makanan, tiket bioskop, dan perilaku lain yang hedonisme dan flexing (pamer). Lantas muncul pertanyaan, apakah kita harus posting sebuah peristiwa saja dan sesuatu yang buruk agar status, story, konten media sosial kita seperti media arus utama?. Tentu tidak. Ingat, tidak selalu bad news is news, tapi good news is news too. Mengunggah kuliner misalnya, tetap menarik jika kuliner itu memiliki nilai berita (news value). Anda yang gemar traveling pun bisa menjadi liputan menarik.

Menulis di blog atau bergabung di komunitas jurnalis warga bisa menjadi pilihan untuk menyalurkan karya jurnalistik warga. Namun, menilik perkembangan minat netizen saat ini, rupanya informasi jenis video lebih diminati. Dewasa ini, netizen lebih memilih konten video durasi pendek. Aplikasi seperti Tiktok semakin diminati, bahkan di beberapa survei menempatkan Tiktok di posisi teratas mengalahkan Youtube dan Instagram. Maka tak heran jika para kompetitor Tiktok ikut-ikutan menyediakan platform video durasi pendek sekitar 3 menit. Instagram menyediakan reel dan Youtube punya shorts. Nah, platform itulah yang bisa dipergunakan untuk media jurnalis warga dalam format video jurnalistik.

Video jurnalistik sama dengan karya jurnalistik lain. Harus memenuhi kaidah jurnalistik dan paham nilai-nilai berita. Kaidah jurnalistik dikenal dengan Accurate-Balance-Clarity A-B-C.

Accurate (Akurasi). Mengambil gambar (record video) apa adanya. Jangan memanipulasi gambar dengan tujuan lebih dramatis. Rekamlah gambar apa adanya. Misalnya, ketika banjir melanda di kampung atau desa Anda. Ketinggian air hanya sebatas mata kaki. Jangan berbohong pada khalayak dengan memanipulasi gambar seolah-olah ketinggian air mencapai lutut orang dewasa. Jujurlah dengan publik.

Balance (Seimbang). Kalau Anda tertarik mempublikasikan peristiwa yang melibatkan kubu berbeda dan sedang berseteru, Anda sebaiknya lebih berhati-hati. Verifikasi adalah kuncinya. Tanya kedua kubu yang berseteru dan tampilkan apa adanya. Dalam dunia jurnalistik dikenal dengan cover both side (berimbang), tidak memihak. Pada perkembangannya tidak sekadar cover both side, tapi multiside dengan bertanya pada beberapa narasumber tepercaya (primer). Ini akan menambah kedalaman berita.

Clarity (Kejelasan). Berbeda dengan produk jurnalistik tulis (cetak dan online) atau audio (radio), jurnalistik video lebih mengandalkan gambar. Gambar harus berbicara. Artinya, setiap shot (rekaman gambar) harus memiliki arti. Walau tanpa narasi (dubbing maupun teks), khalayak paham dengan visual yang disajikan. Inilah kekuatan video jurnalistik, setiap detail gambar memiliki sebuah makna. Sehngga publik akan mendapatkan informasi yang akurat, berimbang, jelas dan utuh.

Video journalist (VJ) warga seyogyanya memahami nilai berita (magnitude/berpengaruh, aktual/baru, proximity/kedekatan, prominence/ketokohan, impact/dampak, conflict/konflik, human interest/kemanusiaan, unique/unik, sex/seks). Agar gambar bermakna, cukup dengan kunci W-M-C (wide-medium-close). Type of Shot W-M-C akan memberi makna pada sebuah gambar (video). Wide menunjukkan di mana subjek berada, Medium memperlihatkan aktivitas yang sedang dilakukan subjek dan Close akan memperlihatkan emosi/ekspresi subjek. Untuk proses editing bisa menggunakan aplikasi Capcut, Kinemaster, Alignmotion dan aplikasi lain. Penggunaannya pun mudah. Editlah gambar (footage) yang Anda miliki sependek mungkin namun penuh makna.

Smart phone telah mengubah peradaban, bahkan dunia pun dalam genggaman. Di mana Anda berada, Anda bisa berbagi kebaikan dan berkontribusi merekam sejarah. Kini saatnya mengisi media sosial dengan video-video bermakna. Jadilah video journalist warga dan turut berkontribusi menyehatkan ruang komunikasi dari hoax dan fake news. Meski durasi pendek, namun manfaatnya akan berimplikasi luas. Sampaikan kebenaran dengan video bermakna. Salam VJ.

Penulis adalah Kaprodi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Jember

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca