HUNTINGTON (1993) dalam bukunya The Clash of Civilizations and The Remarking of Word Order berpendapat bahwa dengan berakhirnya perang dingin, sumber konflik utama yang dihadapi umat manusia tidak lagi masalah ideologi dan ekonomi, tetapi perbedaan kebudayaan. Masa Perang Dingin adalah konflik antara dua negara super power yang tidak lagi mendefinisikan diri masing-masing sebagai negara bangsa dalam pengertian klasik, tetapi mendefinisikan identitas masing-masing atas dasar ideologi yang mereka anut (komunis dan demokrasi liberal). Budaya akan memilah-milah manusia dan menjadi sumber konflik yang dominan. Pada akhirnya konflik politik global yang paling prinsipiil akan terjadi antarbangsa dan antarkelompok adalah karena perbedaan peradaban mereka. Konflik peradaban akan menjadi fase terakhir dari evolusi konflik dalam dunia modern.
Ramalan Huntington di atas menarik untuk menjadi pemantik lahirnya tulisan ini yang mendeskripsikan bagaimana pentingnya setiap warga negara untuk bersama-sama menggelorakan literasi digital sebagai upaya membangun karakter bangsa. Literasi digital menjadi sangat penting untuk berwujud menjadi virus positif yang massif di tengah gempuran informasi-informasi hoax yang begitu liar dan mudah terjangkau oleh semua warga masyarakat tanpa batasan usia. Dahsyatnya informasi hoax tentu saja akan berpengaruh sangat kuat terhadap semakin tereduksinya nilai-nilai pendidikan karakter yang seharusnya harus terus dikuatkan untuk membangun peradaban bangsa yang lebih baik.
Penguatan pendidikan karakter sebenarnya telah diluncurkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 Tahun 2017 dan implementasinya pada dunia pendidikan melalui Permendikbud Nomor 20 Tahun 2018 melalui implementasi 18 nilai-nilai pendidikan karakter untuk disinergikan dengan kurikulum dan dilaksanakan mulai tahun ajaran 2011. Adapun 18 nilai-nilai pendidikan karakter tersebut meliputi religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. Adapun dalam Perpes PPK ini penekanannya lebih kepada lima nilai karakter utama, yaitu religius, nasionalisme, integritas, mandiri, dan gotong royong.
Tantangan penguatan pendidikan karakter semakin kuat seiring kencangnya arus informasi sebagai tanda kemajuan perkembangan zaman yang dikenal dengan era Revolusi Industri 4.0. Disruptif adalah kata kunci dalam setiap bahasan soal Revolusi Industri 4.0, yang juga menjadi tema besar pemerintahan di mana pun, termasuk Indonesia. Dalam buku berjudul The Fourth Industrial Revolution, Klaus Schwab, pendiri dan kepala eksekutif Forum Ekonomi Dunia (WEF), menyebutkan Revolusi Industri ke-4 ini sangat berbeda dibandingkan tiga revolusi industri sebelumnya, dalam hal skala, ruang lingkup, dan kompleksitasnya. Revolusi Industri 4.0 memiliki karakteristik berupa rentang penerapan teknologi baru yang memadukan dunia fisik, digital, dan biologi.
Istilah literasi digital (digital literacy) pertama kali disampaikan oleh Paul Gilster (Riel et al, 2012) adalah kemampuan menggunakan teknologi dan informasi dari peranti digital secara efektif dan efisien dalam berbagai konteks seperti akademik, karir, dan kehidupan sehari-hari. Martin (2008) juga menambahkan bahwa literasi digital merupakan ketrampilan yang bersifat multi dimensi. Seseorang dapat menguasai literasi digital secara bertahap karena satu jenjang lebih rumit daripada jenjang sebelumnya. Kompetensi digital mensyaratkan literasi komputer dan teknologi. Namun, untuk dapat dikatakan memiliki kompetensi literasi digital, maka seseorang harus menguasai literasi informasi, visual, media, dan komunikasi.
Literasi digital tentu saja tidak bisa terlepas dari genggaman generasi muda milenial yang beragam informasinya sudah sangat membanjiri media sosial. Generasi milenial detik ini adalah aset masa depan bangsa yang akan membangun peradaban bangsa berkarakter pada masa depan. Generasi muda ini mempunyai kepiawaian yang super untuk mengakses segala informasi melalui internet dan jumlahnya sangat besar, yaitu mencapai kurang lebih 70 juta orang. Generasi muda ini hampir setiap harinya mengakses internet kurang lebih 6 jam per harinya. Tingginya angka penggunaan ini tentunya akan berdampak negatif jika literasi digital yang dilakukannya cenderung negatif dan tidak membangun karakter. Lantas, strategi apa yang bisa dilakukan agar literasi digital tersebut bisa berpotensi menumbuhkan karakter bangsa?
Implementasi Peraturan Bupati (Perbub) Nomor 71 Tahun 2020 pada Bab III Pasal 4 ayat 6 secara eksplisit telah mengamanatkan bahwa setiap instansi, sekolah, keluarga, dan masyarakat wajib melaksanakan dan mengembangkan gerakan literasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Instansi yang merupakan wadah ASN sebagai teladan masyarakat sudah termaktub dalam Instruksi Bupati Nomor 2 Tahun 2021 tentang penyediaan “SUBARI” yang adalah akronim dari Sudut Baca Referensi Instansi. Berupa penyediaan sudut baca referensi instansi oleh setiap instansi, agar bisa diakses oleh seluruh SDM aparatur instansi untuk mendapatkan referensi yang berkaitan dengan tugas dan fungsi instansi masing-masing.
Gerakan Literasi Sekolah (GLS) juga sudah dijelaskan teknis pelaksanaannya berdasarkan Bab IV pasal 6, 7, dan 8 dengan beberapa poin sebagai berikut: Mewajibkan siswa membaca 15 menit setiap hari; Menyediakan sarana dan prasarana literasi berupa perpustakaan sekolah, dan/atau sudut baca; Penyelenggaraan dan pengelolaan perpustakaan sekolah dan/atau sudut baca; Pengelolaan bahan pustaka tekstual dan nontekstual yang bersifat edukatif, informatif dan rekreatif; Mengalokasikan anggaran paling sedikit 5 persen dari anggaran BOS di luar belanja pegawai dan belanja modal untuk pengembangan perpustakaan sekolah; dan Menerapkan Aksi Panggung Hari Selasa, Kamis, dan Sabtu (Aksi PARISAKATU) pada siswa jenjang pendidikan dasar.
Gerakan Literasi Keluarga (GLK) pada Bab IV pasal 9 juga mengamanatkan kepada setiap keluarga untuk ikut berperan aktif dalam mendukung gerakan literasi. Adapun beberapa langkah teknisnya adalah sebagai berikut: Orang tua wajib mengupayakan lingkungan keluarganya agar ramah literasi dengan menyediakan bahan pustaka yang dibutuhkan keluarganya; Orang tua wajib mengupayakan lingkungan keluarganya agar memiliki budaya membaca dan menulis yang baik; Gerakan literasi keluarga di daerah dilaksanakan melalui Gerakan Bunda Mendongeng Kepada Anak “GENDONGAN”; pemerintah daerah, kecamatan, desa atau kelurahan dapat memfasilitasi gerakan literasi keluarga melalui program dan kegiatan yang dapat meningkatkan budaya baca keluarga.
Gerakan literasi masyarakat juga tidak lupa disampaikan melalui Perbup Nomor 71 Tahun 2020 pada Bab IV Pasal 10, bahwa pemerintah daerah, kecamatan, desa atau kelurahan dapat menyediakan sudut baca, taman bacaan masyarakat (TBM), perpustakaan kecamatan, dan perpustakaan desa/kelurahan beserta kelengkapannya.
Penguatan gerakan literasi menuntut sinergisitas banyak pihak, mulai dari instansi, keluarga, sekolah, dan masyarakat. Payung hukum gerakan literasi telah ada, sehingga yang menjadi kunci suksesnya adalah kesuksesan implementasinya. Para pelaksana kebijakan sesuai tupoksinya tentu saja harus terus menggelorakan gerakan literasi.
Akhirnya, mari bersama-sama menumbuhkan semangat literasi digital dalam rangka penguatan karakter bangsa. Keempat target penguatan literasi yakni instansi, keluarga, sekolah, dan masyarakat dengan semangat menyelamatkan pola sikap perilaku masyarakat di tengah gempuran era Revolusi Industri 4.0 harus terus mampu melakukan inovasi-inovasi gerakan literasi digital. Setiap instansi. keluarga, sekolah, dan kelompok masyarakat dapat menginisiasi (bottom up model) gerakan literasi tanpa harus menunggu program atau kegiatan dari pemerintah (top down model) sebagai upaya membangun karakter bangsa yang kokoh.
*) Penulis adalah Pj Sekda Kabupaten Bondowoso