PADA periode kedua pemerintahannya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan memprioritaskan pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM). Sebagaimana yang disampaikan Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan, bahwa pembangunan SDM akan menjadi kunci Indonesia dalam memenangi persaingan global. Hal ini sangat berdasar mengingat betapa sulitnya negara kita untuk mengejar ketertinggalan dan menyejajarkan diri dengan negara-negara maju, padahal negara kita mempunyai sumber daya alam yang berlimpah. Sebaliknya banyak negara dengan keterbatasan sumber daya alam yang dimiliki mampu menjelma menjadi negara maju.
Kualitas SDM yang rendah telah menjadi penyebab utama Indonesia sulit menjadi negara maju. Dari Laporan yang dirilis oleh World Economic Forum yang berjudul Global Human Capital Report 2017, Indonesia berada di peringkat ke 65 dari 130 negara. Posisi Indonesia masih lebih rendah dari beberapa Negara ASEAN, seperti Singapura (11), Malaysia (33), Thailand (40) dan Filipina (50). Beberapa indikator yang dipakai dalam laporan ini yakni capacity (kemampuan pekerja berdasarkan melek huruf dan edukasi), deployment (tingkat partisipasi pekerja dan tingkat pengangguran), development (tingkat partisipasi pendidikan), dan know-how (tingkat pengetahuan dan kemampuan pekerja serta ketersediaan sumber daya) di tiap negara.
Indikator lain yang menunjukkan rendahnya kualitas SDM negara kita bisa dilihat dari jumlah tenaga kerja yang sebagian besar merupakan tenaga kerja tidak terdidik (unskilled labor). Dengan pendidikan formal hanya SD, SMP, dan tidak lulus SMA, maka tenaga kerja kita didominasi oleh tenaga kerja kasar. Begitupun tenaga kerja yang dikirim ke luar negeri, kebanyakan bekerja sebagai buruh atau karyawan biasa. Indonesia termasuk salah satu pemasok terbesar pekerja rumah tangga di luar negeri. Akibatnya selain dibayar rendah, mereka juga rentan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh pengguna jasa mereka. Idealnya Indonesia harus mampu menciptakan tenaga-tenaga kerja terdidik dan minimal terlatih, sehingga tenaga kerja kita unggul di kancah persaingan global. Seharusnya kita mampu mengekspor tenaga kerja seperti dokter, insinyur dan tenaga kerja terdidik lainnya.
Berbagai gambaran di atas menunjukkan bahwa SDM yang dimiliki Indonesia kualitasnya jauh di bawah negara-negara lain. Dengan kualitas tersebut, tentu menjadi hal yang wajar apabila berbagai upaya memajukan bangsa mengalami kegagalan. Berbagai upaya yang selama ini dilakukan terfokus hanya pada mengandalkan kekayaan sumber daya alam dan cenderung mengabaikan upaya peningkatan kualitas SDM. Apabila cara-cara lama tersebut terus berlanjut, maka kita akan kehabisan sumber daya alam yang tak terbaharui.
Sebuah kebijakan yang tepat apabila pemerintah ke depan lebih memfokuskan pada pembangunan SDM. Dengan SDM yang mumpuni, maka Indonesia akan mampu mengolah dan mengelola kekayaan alam yang dimiliki dengan baik tanpa adanya ketergantungan dengan pihak asing. Indonesia akan mampu menghasilkan produk-produk yang berkelas internasional yang siap bersaing dengan produk negara maju. Para tenaga kerja kita mempunyai nilai tawar yang tinggi di pasar tenaga kerja baik lokal maupun internasional, sehingga bukan sebuah keniscayaan lagi Indonesia akan menjelma menjadi kekuatan dunia.
Peluang Indonesia untuk menjadi negara maju sangat terbuka, mengingat sebentar lagi Indonesia akan mendapatkan bonus demografi. Bonus demografi yaitu suatu keadaan dimana jumlah penduduk usia produktif melebihi jumlah penduduk usia nonproduktif. Diprediksi Indonesia akan mendapatkan bonus demografi pada tahun 2020-2030. Apabila penduduk usia produktif mampu dibentuk menjadi penduduk yang berkualitas sehingga berdaya saing tinggi, maka akan banyak manfaat yang diperoleh seperti pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesejahteraan masyarakat, peningkatan tabungan (saving) masyarakat, penurunan angka kemiskinan serta kesenjangan sosial ekonomi. Sebaliknya berbagai permasalahan akan muncul diawali dengan ledakan pengangguran, manakala tidak mampu mempersiapkan SDM dengan baik.
Agar SDM yang kita miliki berdaya saing tinggi, maka berbagai kebijakan strategis harus segera dilakukan. Setidaknya ada tiga kebijakan yang mendesak untuk dilakukan, yaitu pembenahan sektor pendidikan, peningkatan penguasaan IT, dan penguatan karakter bangsa.
Pendidikan menjadi awal pembentukan kualitas SDM, sehingga dari tingkat pendidikan formal SD, SMP, SMA hingga perguruan tinggi harus dilakukan peningkatan mutu. Hasil tes dan survey PISA (Program for International Students Assessment) tahun 2015 yang melibatkan 540 ribu siswa di 70 negara, performa siswa-siswi Indonesia masih tergolong rendah. Skor pencapaian siswa Indonesia untuk sains, membaca, dan matematika berada pada peringkat ke-62, ke-61 dan ke-63. Meskipun sudah ada perbaikan jika dibandingkan dengan tahun 2012, tetapi tidak signifikan.
Dengan kualitas anak didik yang tidak lebih unggul jika dibandingkan dengan negara negara lain, tentu SDM kita akan sulit bersaing dengan negara-negara maju. Daya saing bangsa akan sulit terdongkrak karena sejak masa mengenyam bangku sekolah sudah tertinggal. Untuk mengejar Singapura, Korea ataupun Jepang, mungkin hanya akan menjadi sebuah mimpi karena pada saat ini kondisi kita bahkan tidak lebih baik dibanding Thailand dan Vietnam. Banyak yang harus dibenahi dalam dunia pendidikan kita. Dari tingkat sekolah dasar sampai sekolah menengah atas, siswa dijejali beraneka macam buku pelajaran yang tidak berkorelasi secara siginifikan dengan masa depan siswa tersebut. Banyak yang mubadzir ataupun berlebihan yang telah diajarkan di sekolah-sekolah kita.
Kemudian pada tingkat perguruan tinggi, rendahnya kualitas pendidikan tercermin dari masih tingginya lulusan sarjana yang tidak terserap oleh dunia kerja yang disebabkan dunia pendidikan tidak mampu menghasilkan sarjana siap pakai. Oleh karena itu kurikulum pendidikan idealnya diselaraskan dengan kebutuhan dunia kerja, bahkan kalau perlu dalam pembuatan kurikulum melibatkan sektor swasta sebagai pihak yang akan memakai lulusan. Kemudian dukungan pemerintah akan peningkatan mutu pendidikan terutama bisa ditunjukkan dengan peningkatan alokasi anggaran untuk sektor pendidikan.
Kedua, menggenjot kemampuan penguasaan IT. Era globalisasi identik dengan dunia tanpa batas sehingga mengakibatkan persaingan yang semakin tajam. Di samping itu di mana saat ini kita hidup di era industri 4.0, telah sangat nampak bahwa IT menjadi sebuah sarana yang sangat vital dalam segala lini kehidupan. Dalam berbagai perusahaan, peran manusia mulai ditinggalkan tetapi peran robot dan otomatisasi semakin signifikan. Di era yang seperti ini tentu saja hanya SDM yang mempunyai penguasaan IT yang baik, yang akan mampu beradaptasi dan memenangkan persaingan. Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi dunia pendidikan, lembaga atau organisasi riset, dan pemerintah agar senantiasa memfasilitasi masyarakat untuk meng-upgrade kemampuan penguasaan IT.
Terakhir, penguatan mentalitas bangsa. Sebagai bangsa yang berabad-abad mengalami penjajahan, masyarakat kita terbentuk menjadi masyarakat yang inferior. Memang pada zaman kolonialisme Belanda, penduduk pribumi ditempatkan sebagai masyarakat kelas ketiga (terendah), dengan orang kulit putih Eropa diposisikan sebagai masyarakat kelas satu dan orang Timur Asing sebagai masyarakat kelas kedua. Belanda juga telah melakukan pembodohan terhadap rakyat Indonesia, dan dampaknya masih terbawa sampai sekarang. Dengan alasan seperti inilah, maka pemerintah dan segenap tokoh bangsa berkewajiban untuk membentuk masyarakat yang bermental pemenang agar bangsa kita menjadi bangsa pemenang.
*) Penulis adalah Kepala Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Kabupaten Jember.