BEBERAPA hari belakangan ini, lewat jendela media sosial maupun beberapa folder yang masih tersimpan dalam memori HP, saya tidak sengaja mengintip foto-foto wisuda sarjana. Rupanya mahasiswa yang dulu pernah berada di kelas saya, saat-saat itu resmi menjadi seorang sarjana. Saya begitu menikmati pajangan foto anak-anak muda belia terlihat cerdas, ganteng, dan cantik-cantik itu. Tak tertinggal, foto selembar kertas bertuliskan gelar kesarjanaanya yang dibubuhi tanda tangan sang rektor yang gelarnya sangat panjang itu.
Foto itu seolah bercerita tentang kebahagiaan, kesuksesan, dan tentang masa depan yang cerah. Saya pun merasakan itu. Ijazah itu seolah menjadi tangga emas untuk menaiki kelas sosial yang baru, seolah menjadi pemutus rantai kemiskinan dan kebodohan. Semoga. Setiap tahun, ada ribuan sarjana baru yang diproduksi dari satu kampus perjuangan. Tak ubahnya sebuah pabrik, setiap tahunnya kapasitas produksinya selalu diperbaiki. Lebih cepat, lebih banyak, dan lebih baik kualitasnya.
Setelah lulus kuliah, hampir kebanyakan pengenyam gelar sarjana ingin mendapatkan pekerjaan mapan dengan cepat. Pekerjaan adalah sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi oleh setiap orang. Teringat kakak tingkat saya, dia pernah bercerita bahwa beberapa kali ia membantu sarjana muda untuk mencari pekerjaan disebuah kota besar. Bermodal ijazah dengan optimisme yang tinggi. Tapi sayang, setelah beberapa bulan bahkan setahun dua tahun sebagian dari mereka tak kunjung mendapatkan pekerjaan. Berbagai sebab, ada lowongan kerja yang tidak sesuai jurusan kuliah, dan meskipun ada lowongan yang sesuai justru ditolak karena si pelamar tidak punya kompetensi.
Harapan orang tua, jika pendidikan tinggi yang berkualitas itu akan mengangkat derajat sosialnya di tengah masyarakat. Memutus rantai kemiskinan yang diwariskan oleh orang tua dan kakek buyutnya. Menaikkan kelas latar belakang ekonomi buah hatinya. Dengan selembar kertas itu, kelak anaknya akan bisa dengan mudah mendapatkan uang yang melimpah. Tiada yang salah dengan harapan, namun seiring berjalannya waktu selalu dihadapkan dengan fenomena nyata sebagai kondisi yang kadang berbalik. Satu sisi senang karena sudah punya “gelar sarjana”, tapi di sisi lain sebagian besar khawatir karena akan memasuki fase baru yang penuh tantangan.
Perputaran jaman yang sangat cepat, memporak-porandakan yang tidak siap. Pemberlakuan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) semakin mempersulit para sarjana diserap dunia kerja karena mereka harus bersaing dengan tenaga kerja asing. Knowledge dan skill jadi senjata pertarungan. Kesulitan ini tak lagi samar, terlihat dari angka pengangguran terdidik di Indonesia yang meningkat. Angka pastinya telah dirilis oleh berbagai situs kestatistikan dan kabar berita.
Dari salah satu sumber, pada tahun 2018 angka pengangguran terdidik sempat turun, namun penurunan ini disebabkan oleh kontribusi masyarakat dengan tingkat pendidikan SMA. Intinya, pekerjaan yang tersedia saat ini lebih menyasar pada masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah hingga menengah. Artinya, untuk saat ini belum semua pintu dunia kerja siap menampung lulusan sarjana dengan upah yang sepadan dengan derajat pendidikannya. Misal ada lapangan kerja dari Grab, Go-Jek dan sebagainya yang tidak membutuhkan pendidikan khusus.
Kondisi yang demikian, Herni Ali (2010) menguraikan akar persoalan yang menjadi faktor para sarjana menganggur. Pertama, lapangan kerja yang terbatas. Kedua, mindset yang masih menganggap bahwa setelah lulus harus mencari atau melamar kerja. Mindset lulusan, orang tua, dan masyarakat mulai saat ini harus dirubah, bahwa sarjana ke depan yang berhasil adalah mereka yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan baru.
Ketiga, kompetisi yang sangat tinggi. Persaingan ini sudah barang tentu akan mengakibatkan porsi lapangan kerja yang ada dengan lulusan yang ada tidak seimbang. Keempat, kurikulum yang belum banyak memperkenalkan sisi entrepreneur. Mereka lebih diarahkan ke dunia kerja. Tenaga pengajar masih memberikan pola pengajaran problem based learning yang belum menyentuh sisi entrepreneur. Kelima, skill yang berbeda dengan kebutuhan dunia kerja. Tidak banyak lulusan yang memiliki keahlian yang dibutuhkan oleh perusahaan.
Pemerintah sebenarnya telah berupaya mengatasi masalah kronis ini. Pemerintah berupaya memperkuat terciptanya Sumber Daya Manusia yang unggul, kompeten, dan berbudi pekerti, lewat pendidikan diharapkan para lulusan sekolah dapat berkarya dan mampu mengurangi angka pengangguran. Terhitung beberapa kali sistem pendidikan di Indonesia mengalami perubahan guna menemukan bentuk terbaik dalam memacu kemajuan masyarakat Indonesia.
Selain melalui dunia pendidikan, Pemerintah juga berupaya melalui: Pertama, kegiatan Penanaman Investasi Perusahaan yang diharapkan mampu menyerap tenaga kerja baru. Kedua, mempercepat peningkatan keahlian tenaga kerja, dengan diadakannya pelatihan khusus dan dapat segera diterima di lapangan kerja. Ketiga, mengurangi hambatan di pasar kerja, agar terjalin hubungan industrial yang harmomnis antara pemberi kerja dan pekerja.
Lalu, adakah yang salah dengan upaya-upaya itu? Tidak perlu menyalahkan. Kita semua yang patut mencari jalan keluar. Momen penting untuk mendorong dan merangsang para calon sarjana untuk mengubah pola pikir demi menyongsong SDM UNGGUL, INDONESIA MAJU. Sudah saatnya para dosen/guru untuk mengarahkan kreativitas dan mendedikasikan kepada mahasiswa bahwa entrepreneur yang terdidik akan memberikan manfaat yang besar. Bukan hanya mengajar, tapi sudah merambah menciptakan kesempatan kerja baru bagi lulusannya ke depan.
Salah satu afirmasi kongkritnya adalah memberlakukan Business Plan atau Rencana Bisnis sebagai syarat lulus kuliah disetiap Perguruan Tinggi. Business Plan dalam sistem ini sebagai pelengkap syarat-syarat yang berlaku lainnya, misal skor TOEFL. Penegasannya, setiap mahasiswa yang akan lulus itu wajib membuat satu bentuk bisnis yang tertuang dalam proposal Rencana Bisnis. Rencana Bisnis merupakan pernyataan formal atas tujuan bisnis/usaha tiap calon sarjana, serta alasan mengapa calon sarjana tersebut yakin bahwa tujuan bisnis ini dapat dicapai, serta strategi atau rencana-rencana apa yang akan dijalankan untuk mencapai tujuan tersebut.
Tujuan memberlakukan syarat kelulusan ini adalah merangsang imajinasi calon sarjana untuk berwirausaha setelah lulus, menyiapkan peluang karir, memberikan opsi karir selain melamar kerja, dan meneguhkan pola pikir yang mandiri. Sehingga, mereka tidak lagi bingung akan kerja di mana dan sebagai apa setelah lulus. Tidak lagi memperbesar angka pengangguran, justru jika Rencana Bisnis ini sukses mereka akan membantu pemerintah memperkecil angka pengangguran. Rencana Bisnis ini akan menjadi bekal mereka disamping bekal gelar yang akan disematkan padanya. Mereka (Sarjana Muda) akan menjadi sosok pemuda yang cerdas, berbudi pekerti dan punya ide segar yang matang untuk berwirausaha.
Proses penyusunan Business Plan atau Rencana Bisnis ini harus sistematis dan perlu pendampingan teoritis maupun prakteknya. Sama halnya dengan bimbingan skripsi atau tugas akhir. Proses penyampaian presentasi ide bisnis ini bisa dilakukan saat ujian skripsi atau biasa disebut sidang dihadapan para dosen penguji. Jadi, selain ujian skripsi bidang keilmuannya, mahasiswa juga wajib menyampaikan Business Plan miliknya. Dosen-dosen Perguruan Tinggi, selain profesional dalam keilmuan bidangnya, juga dituntut memiliki pengetahuan manajerial tentang bisnis. Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan harus membuat afirmasi yang tegas agar sistem ini benar-benar dijalankan, berkelanjutan dan inovatif. Selain itu, Pemerintah juga diharapkan lebih memudahkan sistem permodalan bagi pemuda yang punya semangat tinggi dalam berwirausaha namun terkendala modal.
*) Penulis adalah wirausahawan dan alumnus Fakultas MIPA Universitas Jember.