JEMBER, RADARJEMBER.ID – Pandemi Covid-19 sudah menjadi narasi global. Setiap hari, bahkan setiap saat, ia selalu menjadi berita dan perbincangan, entah sampai kapan. Di lingkup masyarakat lokal, cerita tentang paparan pandemi Covid-19 sudah bukan lagi hal baru. Begitu pun perjuangan para tenaga medis. Pemerintah yang sibuk menerapkan berbagai kebijakan terkait pandemi menjadi informasi yang selalu ditunggu. Media arus utama (mainstream) pun mengulasnya. Media sosial memperbincangkannya. Teknologi informasi membantu menjadikannya narasi global dalam waktu yang relatif sangat cepat.
Setahun lebih pandemi Covid-19 masih berlangsung. Berbagai peristiwa terkait pandemi sudah meninggalkan jejaknya yang akan selalu terekam dalam benak dan menjadi narasi global. Ingatan dibuka, narasi pun mengalir ke mana-mana. Narasi yang sudah tercetak atau tergores di berbagai media dapat dilacak kembali dan dapat menjadi referensi bagi siapa pun. Narasi pandemi sangat dekat dengan pembatasan aktivitas manusia dari segala aspek. Di sini, logika kesehatan mendominasi berbagai kebijakan terkait pandemi.
Manusia tidak bisa melakukan aktivitasnya dengan bebas karena potensi transmisi pandemi. Protokol kesehatan adalah jargon yang selalu didengungkan demi menunjukkan bagaimana pembatasan itu dihadirkan dalam setiap kegiatan manusia. Masker, cuci tangan, jaga jarak, dan disinfektan adalah sebagian istilah yang sudah sangat populer dalam narasi pandemi ini dan senantiasa mewarnai kebijakan yang diambil penguasa wilayah dalam penanganan pandemi.
Sayangnya, narasi pandemi tidak selalu hadir mulus tanpa perlawanan. Di berbagai wilayah, narasi pandemi ini berhadapan dengan narasi-narasi lainnya, khususnya yang merasa terusik dengan kehadiran pandemi. Dengan logika yang meyakinkan, narasi ini melakukan perlawanan terhadap hegemoni narasi pandemi yang didasarkan pada logika kesehatan.
Setidaknya, ada dua logika yang selalu mengambil posisi berlawanan dengan narasi pandemi. Pertama, logika ekonomi. Logika ini yang paling kuat melawan logika kesehatan/medis. Betapa pun kuatnya kebijakan yang dibuat terkait pandemi ini tidak akan mampu mengintervensi penuh logika ekonomi. Kebutuhan manusia, khususnya kebutuhan dasar, adalah energi pertama dan utama yang menggerakkan setiap sendi kehidupan manusia. Upaya pemenuhan kebutuhan ini membentuk sistem dan mata rantai yang saling terkait. Kehadiran pandemi dianggap sebagai pengganggu hubungan mata rantai ekonomi.
Kebijakan pandemi di berbagai wilayah pun tidak sepenuhnya mampu meniadakan hubungan tersebut. Yang paling mungkin dilakukan adalah pembatasan. Itu pun masih belum mampu menahan gejolak sosial akibat pembatasan tersebut. Kedua, logika spiritualitas. Dalam pemahaman yang lebih operasional, spiritualitas lebih banyak dikaitkan dengan kehidupan agama dan keyakinan tertentu yang biasanya dilaksanakan di tempat ibadah, baik sendiri maupun bersama manusia lainnya. Rasa dekat kepada Sang Pencipta menjadi kebahagiaan tersendiri bagi kelompok agamawan. Situasi ini meningkatkan kebahagiaan manusia sebagai puncak pencapaian terpenuhinya kebutuhan jiwa. Selain itu, naluri bertemu manusia lainnya dalam berbagai momen, termasuk di tempat ibadah baik dalam skala terbatas maupun masif, mendukung pencapaian kebahagiaan tersebut. Kebijakan atas pandemi yang membatasi kontak antarmanusia secara masif membuat pemenuhan kebutuhan spiritualitas ini menjadi terganggu. Konflik yang timbul karena pembatasan di ranah ini pun sudah tidak terhitung lagi. Gejolak di tempat ibadah akibat pembatasan kegiatan sudah menjadi konsumsi informasi di berbagai media, khususnya di awal terjadinya pandemi.
Setahun lebih pandemi Covid-19 masih belum beranjak dari dunia tanpa kepastian kapan akan berakhir. Namun, masyarakat tampaknya sudah tidak terlalu risau dengan narasi pandemi dalam berbagai bentuknya. Kekuatan atas narasi pandemi dan lemahnya kebijakan terkait pandemi oleh penguasa setempat seolah menjadi suntik vaksin terhadap narasi pandemi.
Logika ekonomi dan spiritualitas tetap dominan menjadi garda depan perlawanan atas narasi pandemi. Pembatasan aktivitas ekonomi dan spiritualitas tidak seketat masa di awal pandemi. Sekuat apa pun kebijakan pandemi ini terbukti belum sanggup secara penuh membendung perlawanan terhadap narasi pandemi ini.
Sesungguhnya, pandemi global Covid-19 bukan yang pertama terjadi di dunia. Jauh sebelumnya, 1 abad yang lalu, pandemi flu Spanyol (Spanish Flu) juga pernah menyerang dunia pada tahun 1918 yang diklaim sebagai pandemi terburuk. Menurut catatan WHO, lebih dari 500 juta penduduk dunia terinfeksi dan 20-40 juta jiwa mengalami kematian karena pandemi ini (www.who.int). Situasi pada masa itu kurang lebih sama dengan yang terjadi saat ini. Namun, narasi pandemi pada masa itu tidaklah secara masif tersampaikan kepada generasi selanjutnya, sehingga kekalutan situasi yang terjadi tidak tersampaikan secara utuh kepada generasi berikutnya. Ini dapat dipahami mengingat keterbatasan kehidupan generasi karena kematian sebagai siklus alami. Selain itu, media informasi pada masa itu tidak semasif media pada masa kini.
Narasi pandemi saat ini harus bertarung dengan kekuatan logika ekonomi dan spiritualitas. Selain media arus utama, media sosial menjadi panggung pertarungan narasi tersebut. Selebihnya, dengan kekuatan yang dimilikinya, penguasalah yang akan menjadi penentu hegemoni logika tertentu yang membentuk narasi pandemi. Dengan perkembangan teknologi informasi, narasi ap apun tentang pandemi, termasuk narasi perlawanan terhadapnya, pada masa kini lebih cepat menjadi konsumsi global. Kemungkinan yang terjadi adalah pertarungan yang tajam atau jalan kompromi.
*) Penulis adalah Instruktur di UPT Bahasa Universitas Jember.