DALAM pemberitaan Radar Jember, 25 Februari 2023, ada satu berita berjudul “Sudah Koordinasi Pemprov, tapi Belum Diperbaiki”. Berita itu mengabarkan tentang kondisi jembatan ambrol di jalan raya Bondowoso-Jember, yang berada di Kecamatan Maesan, masih cukup rawan. Sebab, sampai berita itu di-posting separuh jalan sudah tidak bisa dilewati akibat longsor. Upaya perbaikan sudah dikoordinasikan dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jatim, namun belum kunjung terealisasi. Koordinasi dengan Pemprov Jatim diperlukan karena perbaikan tersebut masuk kewenangan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pemprov Jatim.
Sekilas berita itu nampak isu yang tidak terlalu urgen. Akan tetapi dalam hemat saya, berita itu merupakan representasi dari fenomena gunung es terkait rumitnya koordinasi antara pemerintah provinsi (pemprov) dan pemerintah kabupaten/kota. Sebagaimana diketahui otonomi daerah digulirkan dengan tujuan untuk menciptakan kemandirian daerah yang ujungnya bisa meningkatkan pemerataan pembangunan dan kesejahteraan rakyat di daerah. Karena itu dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah telah dibagi kewenangan antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota agar tidak ada tumpang tindih kewenangan. Namun dalam praktiknya relasi antara provinsi dan kabupaten/kota tidak semanis yang dibayangkan.
Tidak jarang ada beberapa isu yang penanganannya harus melibatkan lintas sektor (terutama antara pemerintah kabupaten/kota dengan pemerintah provinsi), justru berlarut-larut. Faktornya macam-macam. Bisa karena ego sektoral, ada friksi politik diantara kedua kepala daerah maupun variabel lainnya. Intinya dalam situasi semacam itu rakyatlah yang dirugikan. Sebab dana dan desain program sudah disiapkan, namun karena relasi antara provinsi dan kabupaten/kota kurang harmonis maka eksekusinya bisa berantakan. Dampaknya bisa serius bagi kondisi pembangunan di daerah. Padahal kita sedang berupaya menggenjot pembangunan dari daerah (termasuk di dalamnya desa) agar ketimpangan distribusi kue pembangunan ekonomi tidak terlalu menganga.
Menanti Peran Bakorwil
Dalam hal ini ada kelembagaan sentral yang sebenarnya tidak bisa lepas dari dialektika tersebut, yakni Badan Koordinasi Wilayah Pemerintahan dan Pembangunan atau akrab disebut Bakorwil. Di Jatim sejauh ini ada lima Bakorwil, yakni Bakorwil Madiun dengan area koordinasi meliputi Kabupaten dan Kota Madiun, Kabupaten dan Kota Kediri, Kabupaten Magetan, Kabupaten Ngawi, Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Tulungagung dan Kabupaten Pacitan.
Kemudian ada Bakorwil Bojonegoro yang meliputi area koordinasi Kabupaten Bojonegoro, Lamongan, Tuban, Jombang, Kabupaten dan Kota Mojokerto, Kabupaten Gresik serta Kabupaten Nganjuk. Lalu ada Bakorwil Malang yang meliputi area koordinasi Kabupaten dan Kota Malang, Kabupaten dan Kota Pasuruan, Kabupaten dan Kota Blitar, Kabupaten Sidoarjo, Kota Surabaya dan Kota Batu. Adapun Bakorwil Pamekasan meliputi area Kabupaten Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Terakhir Bakorwil Jember meliputi area kewenangan Kabupaten Jember, Lumajang, Bondowoso, Situbondo, Banyuwangi, serta Kabupaten dan Kota Probolinggo.
Tugas pokok Bakorwil adalah institusi yang menjadi semacam jembatan koordinasi antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota. Harapannya agar pemprov tidak perlu berkoordinasi satu per satu dengan pemerintah kabupaten/kota terkait dengan kewajiban pemprov di masing-masing daerah itu, melainkan bisa dikoordinir oleh Bakorwil berdasarkan area kewenangan wilayahnya masing-masing. Dengan begitu muncul ekspektasi bahwa alur pembangunan yang dilakukan pemprov bisa bergulir cepat hingga ke pemerintah kabupaten/kota.
Awalnya jumlah Bakorwil di Jatim hanya empat. Namun seiring terbitnya Perda Provinsi Jatim Nomor 16 Tahun 2016, jumlah Bakorwil bertambah satu, yakni Bakorwil Jember. Terbitnya Perda tersebut mengindikasikan bahwa political will Pemprov Jatim masih memandang urgensi kehadiran Bakorwil di Wilayah yang dikenal dengan tapal kuda ini.
Akan tetapi dalam realitasnya, kinerja Bakorwil sejauh ini masih banyak mengundang kritik dari berbagai pihak. Bakorwil dianggap terlalu lamban untuk menjadi jembatan penghubung antara pemprov dan pemerintah kabupaten/kota. Bahkan Bakorwil diasosiasikan oleh common sense (man on the street, dalam istilah Berger dan Luckmann) sebagai lembaga tempat aparatur-aparatur sipil negara yang dianggap tidak produktif lagi. Karena itu Bakorwil dipersepsikan oleh publik sebagai jembatan penghubung provinsi dan kabupaten/kota yang tidak bisa dilewati.
Bakorwil dan Urgensi Pembangunan Spasial
Di masa mendatang, problem tersebut dapat terurai secara gradual kalau model pembangunan kita diubah orientasinya. Dari awalnya semata-mata mementingkan pembangunan sektoral menjadi pembangunan yang juga mempertimbangkan aspek spasial. Artinya domain pembangunan spasial dan sektoral bukan opsi yang harus dipilih salah satu, semacam zero sum game. Melainkan harus diakomodasi keduanya dan dijalankan secara berbarengan.
Selama ini, mainstream aliran pembangunan di Indonesia (termasuk di daerah) lebih condong pada aspek-aspek sektoral sebagaimana terepresentasi dalam Indeks Kinerja Utama (IKU) pemerintah daerah. Mulai dari capaian makro ekonomi, indeks Gini Ratio, indeks Theil, indeks pembangunan manusia, indeks pembangunan gender, indeks kesalehan sosial, tingkat pengangguran terbuka, sampai indeks rawan bencana. Bukannya tidak perlu, sebab IKU tersebut menjadi indikator penting untuk menilai kinerja pemerintah daerah. Namun yang perlu diperhatikan, aspek sektoral dalam pembangunan itu hanya menjurus pada analisis-analisis per-sektor tanpa memperhatikan pertumbuhan indeks-indeks tersebut berlangsung di wilayah mana.
Akibatnya dalam pembahasan dokumen perencanaan maupun evaluasi pelaksanaan pembangunan, seperti Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), Laporan keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) maupun Laporan Pertanggungjawaban APBD (LPJ APBD), fokus diskusinya semata-mata hanya seputar dinamika dan fluktuasi angka-angka indeks tersebut. Padahal seringkali pertumbuhan salah satu indeks hanya terpusat di satu wilayah, namun tidak terealisasi di wilayah lainnya.
Sebagai contoh, dalam 10 tahun terakhir di Provinsi Jatim angka pertumbuhan ekonomi selalu mengesankan. Tahun 2022, ekonomi Jatim tumbuh sebesar 5,34 persen, tahun 2021 tumbuh sebesar 3,56 persen dan ketika pandemic, ekonomi Jatim -2,33 persen. Sedang ekonomi Nasional pada tahun 2022 sebesar 3,51 persen, tahun 2021 tumbuh 3,69 persen dan tahun 2020 terkontraksi 2,27 persen.
Namun kalau ditelisik lebih jauh, pertumbuhan tersebut terpusat di Surabaya dan sekitarnya. Sedangkan di wilayah lain (terutama Jatim bagian selatan dan wilayah kepulauan), kondisi pembangunannya masih memprihatinkan. Artinya secara sektoral capaian Jatim sungguh menarik, namun ketimpangan wilayahnya masih menyisakan pekerjaan rumah yang tidak ringan. Di sinilah urgensi pembangunan dalam perspektif spasial. Di mana aspek kewilayahan juga diperhatikan.
Pemerintah pusat sebenarnya sudah menyadari gejala disparitas spasial tersebut. Buktinya pemerintah pusat menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 80 Tahun 2019 tentang percepatan pembangunan ekonomi di kawasan Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan (Gerbangkertasusila), Bromo Tengger Semeru (BTS), kawasan selingkar Wilis dan lintas selatan. Kini tinggal pemprov dan pemerintah kab/kota harus pandai memanfaatkan instrumen regulasi tersebut. Salah satu caranya pemprov harus memacu lebih keras lagi kinerja Bakorwil-Bakorwil yang ada.
Kalau semua komponen pemerintah mau bekerja keras dan berkolaborasi dengan sinergis, niscaya tidak akan ada lagi problem-problem pembangunan di daerah karena faktor tumpang tindih kewenangan antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
*) Penulis adalah Tenaga Ahli Ketua DPRD Jatim 2015-2019 dan Ketua PC PMII Jember 2006-2007.