22.7 C
Jember
Sunday, 26 March 2023

Gelegak Showbiz Jemberan

Re-Kreasi atau Re-Generasi?

Mobile_AP_Rectangle 1

RADARJEMEBER.ID – Tulisan ini bisa menjadi jurnal pribadi berbasis empirisme atau hanya sekadar menjadi refleksi. Bagaimana pembaca nanti memaknainya, mari kita mulai saja dengan kesepakatan bahwa industri kreatif (showbiz) kini sedang bertumbuh di daerah. Penulis dalam konteks ini mencoba bersikap dengan cara paling adil dan mengambil sudut pandang yang “memang” subjektif berdasarkan pengalaman dan pemahaman selama aktif sebagai pelaku industri hiburan—untuk mengukur keabsahan realitas dalam tulisan ini ke depan. Harapannya agar dapat diuji di ruang diskusi argumentatif oleh siapa pun yang berkehendak.

Pertama, showbiz atau show business adalah istilah informal dari industri hiburan yang merujuk pada sub-industri yang ditujukan khusus pada hiburan. Konser musik, olahraga, komedi, pentas teater, dan ragam hiburan lainnya adalah bagian tak terpisah dari showbiz. Dalam ruang bisnis ini, manajemen organisasi yang bertindak sebagai penyelenggara kemudian akrab disebut sebagai event organizer atau EO. Komunal kerja ini berbekal keahlian khusus dalam merancang, membuat dan mengarahkan jalannya sebuah acara. Berbasis manajemen dengan penguasaan terhadap sumber daya kreatif dan kemampuan olah finansial yang efektif, EO adalah yang bertanggung jawab dalam sebuah acara showbiz.

Idealnya, EO terdiri atas pemimpin produksi yang bertugas memimpin beberapa departemen. Mulai dari departemen produksi, dekorasi, talent, hingga susunan acara agar dapat berjalan efektif dan efisien dengan target tertentu yang disepakati. Terlepas dari skala event-nya, target pencapaian keberhasilan sebuah event olahraga dibandingkan konser musik bertiket tentunya berbeda. Inilah yang kemudian menjadi portofolio bagi EO untuk mendapat dan menjaga reputasinya di dunia showbiz.

Mobile_AP_Rectangle 2

Kedua, lewat tulisan ini, penulis mencoba menggambarkan dengan kritis geliat-dinamika dunia showbiz di daerah, khususnya di Jember. Sebuah kota kecil dan padat yang saat ini tengah meniti langkahnya untuk menemukan jalan baru kehidupan yang berkemajuan dan berkembang. Kacamata industri kreatif tentunya dapat menjadi salah satu indikator yang cukup tepat untuk dianalisa.

Sebagai kabupaten terbesar ketiga di Jawa Timur dengan keberadaan Universitas Negeri Jember yang turut menjadi sentral episentrum urban, membuat kota ini tumbuh dengan daya dan gaya hidup beragam. Masuknya masyarakat dari luar Jember kemudian turut membuka akses informasi dan pengetahuan yang saling bertukar secara interaktif, sehingga tren di kota-kota besar pun mudah masuk sebagai bagian dari gaya hidup anak-anak mudanya. Tak heran, banyak perusahaan dan produk besar masih melirik Jember menjadi salah satu target market yang cukup menjanjikan untuk membuat event promosi dan publikasi. Meskipun tak jarang sebuah event yang digelar harus mempertimbangkan berbagai hal seperti tradisi, nilai agama dan adat yang membatasi, nyatanya sejak dulu Jember selalu mempunyai event kolosal tahunan dengan banyak segmentasi. Mulai dari event keagamaan akbar, olahraga masal sampai konser musik yang masih menarik jadi pasar promosi dan publikasi untuk brand-brand tertentu.

Sejarahnya; Kabupaten Jember sejak dekade 70an tidak asing dengan dunia showbiz. Sebut saja Gerak Jalan Tanggul Jember Tradisional (Tajemtra), sebuah event olahraga masal yang sudah ada sejak tahun 1977. Tajemtra dihelat dengan melibatkan massa banyak dari seluruh penjuru kabupaten. Tercatat, peserta event ini tak pernah kurang dari 15 ribu orang setiap kali diselenggarakan. Lalu masuk ke dekade milenium di tahun 2000an, di mana seorang fashion desainer asal Jember bernama Dynan Fariz merintis Jember Fashion Carnaval yang kemudian menjadi event ikonik tahunan berskala internasional.

Seiring dengan arah kebijakan pemerintah daerah saat ini yang memberi porsi cukup besar dalam pengembangan ekonomi kreatif, khususnya dalam sub-industri dunia hiburan yang berpotensi menggerakkan ekonomi, penting kemudian untuk merefleksi aktivitas para pelaku dunia hiburan Jember yang mengalami naik-turun—pasang-surut reputasi dan ekspektasi di lapangan. Sejumlah fakta ini mungkin menjadi sedikit gambaran yang kemudian dapat dikaji lebih mendalam untuk mengembangkan bentuk ideal ekonomi kreatif dari kacamata industri, terutama sub-industri dunia hiburan berbasis local wisdom dan local hero.

Pemerintah Masih Jadi Pasar Sentral Jasa Penyelenggaraan Acara

Sepanjang periode 2021 hingga 2022 akhir, pemerintah daerah dibawah kepemimpinan Bupati Hendy Siswanto dan Wakil Bupati MB Firjaun Barlaman memberi porsi yang cukup signifikan terhadap jasa penyelenggaraan acara. Terlebih dalam pengalokasian dana ini, begitu banyak sektor yang bisa disentuh mulai dari UMKM, pelaku ekraf lokal hingga produk-produk jasa lainnya. Ini bisa dilihat dari hampir seluruh acara formal pemerintahan sudah pasti dan wajib dikemas dengan menampilkan sajian hiburan baik itu yang sifatnya tradisi maupun modern.

Arah kebijakan pemerintah daerah ini, tentu menjadi angin segar bagi para penyedia jasa penyelenggara acara atau EO yang ada di Jember. Hampir banyak mereka yang mengeluhkan tingkat kehadiran pemerintah untuk memajukan bidang usaha ini kemudian merasakan sinergi pentahelix yang nyata.

Besaran modal belanja jasa penyelenggaraan acara yang digelontorkan oleh Pemkab Jember menjadi indikator kehadiran pemerintah sebagai leading sector untuk memajukan ekonomi kreatif. Puluhan perusahaan penyedia jasa penyelenggara (EO) mendapat peluang dan kesempatan untuk mengerjakan proyek-proyek ini. Situasi ini kemudian yang memantik banyak pelaku bisnis hiburan dan brand-brand besar untuk ikut menjadi partisan dengan melakukan kerja sama sinergi bersama pemerintahan. Sebut saja beberapa event besar yang terlaksana seperti J-Fest, Porprov Jatim VII, JFC, dan yang teranyar ini Pesta Bola Nobar Piala Dunia, sebuah program promosi dan publikasi brand merk rokok terbesar di Indonesia.

Kalah Modal Sama Luar

Modal yang kita bicarakan ini sebenarnya tak melulu soal kemampuan finansial. Sumber daya kreatif, tenaga ahli dan banyak komponen modal penting lainnya seperti kemampuan manajemen organisasi yang baik kadang tidak dipunyai oleh EO-EO di Jember. Ini pula yang terkadang reputasi EO dari luar cenderung mampu mengontrol trust issue yang terjadi dalam perang bisnis pra pelaksanaan acara. Kalah tender itu seolah menjadi makanan rutin setiap kali EO lokal bertempur dengan EO dari luar daerah, terlebih jika event-nya berskala besar dan mengundang artis nasional.

Tapi tak dipungkiri juga, dalam skala lokal, kasus yang banyak ditemui adalah kurangnya modal usaha yang akhirnya membuat EO harus memutar otak untuk membagi margin bisnis dengan investor untuk pembiayaan vendor, sehingga seringkali membuat esensi empiris dari penyelenggaraan acara menjadi minus. Paling parah adalah gagal event. Studi kasusnya tentu banyak terjadi di Jember, kurang etis saja jika disebutkan.

Jadi Pihak Kedua atau Mental Tukang?

Sebenarnya banyak juga EO asal Jember yang mempunyai reputasi dan portofolio yang mumpuni. Kemampuan mereka mengelola ide kreatif hingga mengaplikasikan aktivasi event brand-brand besar juga tidak perlu diragukan. Sayangnya, periode 2021 hingga akhir 2022 ini, eventevent daerah berskala besar masih didominasi oleh komunal kerja kreatif dari luar daerah seperti Surabaya dan Malang.

Tak sampai di situ saja, bahkan vendor kelengkapan produksi seperti lighting, stage sampai multimedia pun, Jember masih cenderung menjadi pihak kedua alias sub-vendor. Sebut saja, J-Fest yang meskipun brand lokal sebagai penyelenggara acara mendominasi hampir 70 persen besaran publikasi, justru komunal kerja kreatifnya adalah seorang show director kenamaan asal Jakarta.

Jika kembali pada narasi “it’s all about business” tidak ada yang masalah dengan itu semua. Tapi mari bicara tentang bagaimana reputasi dapat dibangun dengan meregenerasi para pelaku dan instrumen dunia hiburan lokal? Kita tentu hanya akan bergantung pada posisi relasi bukan kepada kualitas sebagaimana yang jadi indikator kemajuan ekonomi kreatif.

Satu kasus menarik adalah pengalaman penulis ketika menjadi salah satu pengisi acara sebuah event di Banyuwangi. Event ini dikerjakan oleh EO besar dari Jakarta dan mengundang belasan artis nasional dengan konsep konser bertiket. Apa yang paling menarik dari event tersebut adalah, 60 persen tenaga kerja untuk urusan vendor tenda/booth, pengamanan dan parkir justru banyak berasal dari Jember.

Minimnya Talent dan Local Hero

Kiprah para talenta pengisi acara dalam industri hiburan lokal yang itu-itu saja, rasanya dapat disimpulkan menjadi indikator perkembangan ekraf yang stagnan di daerah. EO seolah tidak punya banyak pilihan untuk mengundang band, penyanyi solo atau grup kesenian yang punya kualitas setara atau setidaknya menyajikan sesuatu yang berbeda dalam sebuah event.

Hal ini tentu menjadi pe er bersama yang perlu dirumuskan menjadi gerakan yang masif melibatkan para pelaku seni dan dunia hiburan di daerah. Seringkali, pengisi acara sebuah event dapat dipastikan tidak akan jauh lingkarannya. Entah itu band, MC atau jenis entertain lainnya yang seolah mandeg pada alternatif yang tak sampai habis jari tangan jumlahnya. Pun ada yang berbeda, adalah nama grupnya tapi pengisinya ya itu-itu lagi.

Dalam sebuah sesi wawancara di media, penulis ditanya tentang bagaimana idealnya industri kreatif berjalan di daerah. Tidak lain adalah menjawab tantangan dari peluang dan kesempatan yang telah terbuka luas. Pada entitas mana pun, koreksi sebaiknya perlu jadi bahan evaluasi bukan dijawab sebagai kritik tanpa argumen yang kekanakan.

Semuanya memang kembali pada diksi bisnis—soal untung rugi. Tapi, apakah ini yang akan menjadi refleksi para pelaku dunia showbiz lokal untuk meraih reputasi dan ekspektasi sekadar pada sebatas yang penting jalan. Pilihannya ada dua, re-kreasi atau re-generasi. Anda paham?

 

Tentang penulis :

Yudho Andriansyah

*) Penulis adalah pelaku industri kreatif dan founder Linkrafin, perkumpulan kreatif di Jember berbasis potensi lokal.

- Advertisement -

RADARJEMEBER.ID – Tulisan ini bisa menjadi jurnal pribadi berbasis empirisme atau hanya sekadar menjadi refleksi. Bagaimana pembaca nanti memaknainya, mari kita mulai saja dengan kesepakatan bahwa industri kreatif (showbiz) kini sedang bertumbuh di daerah. Penulis dalam konteks ini mencoba bersikap dengan cara paling adil dan mengambil sudut pandang yang “memang” subjektif berdasarkan pengalaman dan pemahaman selama aktif sebagai pelaku industri hiburan—untuk mengukur keabsahan realitas dalam tulisan ini ke depan. Harapannya agar dapat diuji di ruang diskusi argumentatif oleh siapa pun yang berkehendak.

Pertama, showbiz atau show business adalah istilah informal dari industri hiburan yang merujuk pada sub-industri yang ditujukan khusus pada hiburan. Konser musik, olahraga, komedi, pentas teater, dan ragam hiburan lainnya adalah bagian tak terpisah dari showbiz. Dalam ruang bisnis ini, manajemen organisasi yang bertindak sebagai penyelenggara kemudian akrab disebut sebagai event organizer atau EO. Komunal kerja ini berbekal keahlian khusus dalam merancang, membuat dan mengarahkan jalannya sebuah acara. Berbasis manajemen dengan penguasaan terhadap sumber daya kreatif dan kemampuan olah finansial yang efektif, EO adalah yang bertanggung jawab dalam sebuah acara showbiz.

Idealnya, EO terdiri atas pemimpin produksi yang bertugas memimpin beberapa departemen. Mulai dari departemen produksi, dekorasi, talent, hingga susunan acara agar dapat berjalan efektif dan efisien dengan target tertentu yang disepakati. Terlepas dari skala event-nya, target pencapaian keberhasilan sebuah event olahraga dibandingkan konser musik bertiket tentunya berbeda. Inilah yang kemudian menjadi portofolio bagi EO untuk mendapat dan menjaga reputasinya di dunia showbiz.

Kedua, lewat tulisan ini, penulis mencoba menggambarkan dengan kritis geliat-dinamika dunia showbiz di daerah, khususnya di Jember. Sebuah kota kecil dan padat yang saat ini tengah meniti langkahnya untuk menemukan jalan baru kehidupan yang berkemajuan dan berkembang. Kacamata industri kreatif tentunya dapat menjadi salah satu indikator yang cukup tepat untuk dianalisa.

Sebagai kabupaten terbesar ketiga di Jawa Timur dengan keberadaan Universitas Negeri Jember yang turut menjadi sentral episentrum urban, membuat kota ini tumbuh dengan daya dan gaya hidup beragam. Masuknya masyarakat dari luar Jember kemudian turut membuka akses informasi dan pengetahuan yang saling bertukar secara interaktif, sehingga tren di kota-kota besar pun mudah masuk sebagai bagian dari gaya hidup anak-anak mudanya. Tak heran, banyak perusahaan dan produk besar masih melirik Jember menjadi salah satu target market yang cukup menjanjikan untuk membuat event promosi dan publikasi. Meskipun tak jarang sebuah event yang digelar harus mempertimbangkan berbagai hal seperti tradisi, nilai agama dan adat yang membatasi, nyatanya sejak dulu Jember selalu mempunyai event kolosal tahunan dengan banyak segmentasi. Mulai dari event keagamaan akbar, olahraga masal sampai konser musik yang masih menarik jadi pasar promosi dan publikasi untuk brand-brand tertentu.

Sejarahnya; Kabupaten Jember sejak dekade 70an tidak asing dengan dunia showbiz. Sebut saja Gerak Jalan Tanggul Jember Tradisional (Tajemtra), sebuah event olahraga masal yang sudah ada sejak tahun 1977. Tajemtra dihelat dengan melibatkan massa banyak dari seluruh penjuru kabupaten. Tercatat, peserta event ini tak pernah kurang dari 15 ribu orang setiap kali diselenggarakan. Lalu masuk ke dekade milenium di tahun 2000an, di mana seorang fashion desainer asal Jember bernama Dynan Fariz merintis Jember Fashion Carnaval yang kemudian menjadi event ikonik tahunan berskala internasional.

Seiring dengan arah kebijakan pemerintah daerah saat ini yang memberi porsi cukup besar dalam pengembangan ekonomi kreatif, khususnya dalam sub-industri dunia hiburan yang berpotensi menggerakkan ekonomi, penting kemudian untuk merefleksi aktivitas para pelaku dunia hiburan Jember yang mengalami naik-turun—pasang-surut reputasi dan ekspektasi di lapangan. Sejumlah fakta ini mungkin menjadi sedikit gambaran yang kemudian dapat dikaji lebih mendalam untuk mengembangkan bentuk ideal ekonomi kreatif dari kacamata industri, terutama sub-industri dunia hiburan berbasis local wisdom dan local hero.

Pemerintah Masih Jadi Pasar Sentral Jasa Penyelenggaraan Acara

Sepanjang periode 2021 hingga 2022 akhir, pemerintah daerah dibawah kepemimpinan Bupati Hendy Siswanto dan Wakil Bupati MB Firjaun Barlaman memberi porsi yang cukup signifikan terhadap jasa penyelenggaraan acara. Terlebih dalam pengalokasian dana ini, begitu banyak sektor yang bisa disentuh mulai dari UMKM, pelaku ekraf lokal hingga produk-produk jasa lainnya. Ini bisa dilihat dari hampir seluruh acara formal pemerintahan sudah pasti dan wajib dikemas dengan menampilkan sajian hiburan baik itu yang sifatnya tradisi maupun modern.

Arah kebijakan pemerintah daerah ini, tentu menjadi angin segar bagi para penyedia jasa penyelenggara acara atau EO yang ada di Jember. Hampir banyak mereka yang mengeluhkan tingkat kehadiran pemerintah untuk memajukan bidang usaha ini kemudian merasakan sinergi pentahelix yang nyata.

Besaran modal belanja jasa penyelenggaraan acara yang digelontorkan oleh Pemkab Jember menjadi indikator kehadiran pemerintah sebagai leading sector untuk memajukan ekonomi kreatif. Puluhan perusahaan penyedia jasa penyelenggara (EO) mendapat peluang dan kesempatan untuk mengerjakan proyek-proyek ini. Situasi ini kemudian yang memantik banyak pelaku bisnis hiburan dan brand-brand besar untuk ikut menjadi partisan dengan melakukan kerja sama sinergi bersama pemerintahan. Sebut saja beberapa event besar yang terlaksana seperti J-Fest, Porprov Jatim VII, JFC, dan yang teranyar ini Pesta Bola Nobar Piala Dunia, sebuah program promosi dan publikasi brand merk rokok terbesar di Indonesia.

Kalah Modal Sama Luar

Modal yang kita bicarakan ini sebenarnya tak melulu soal kemampuan finansial. Sumber daya kreatif, tenaga ahli dan banyak komponen modal penting lainnya seperti kemampuan manajemen organisasi yang baik kadang tidak dipunyai oleh EO-EO di Jember. Ini pula yang terkadang reputasi EO dari luar cenderung mampu mengontrol trust issue yang terjadi dalam perang bisnis pra pelaksanaan acara. Kalah tender itu seolah menjadi makanan rutin setiap kali EO lokal bertempur dengan EO dari luar daerah, terlebih jika event-nya berskala besar dan mengundang artis nasional.

Tapi tak dipungkiri juga, dalam skala lokal, kasus yang banyak ditemui adalah kurangnya modal usaha yang akhirnya membuat EO harus memutar otak untuk membagi margin bisnis dengan investor untuk pembiayaan vendor, sehingga seringkali membuat esensi empiris dari penyelenggaraan acara menjadi minus. Paling parah adalah gagal event. Studi kasusnya tentu banyak terjadi di Jember, kurang etis saja jika disebutkan.

Jadi Pihak Kedua atau Mental Tukang?

Sebenarnya banyak juga EO asal Jember yang mempunyai reputasi dan portofolio yang mumpuni. Kemampuan mereka mengelola ide kreatif hingga mengaplikasikan aktivasi event brand-brand besar juga tidak perlu diragukan. Sayangnya, periode 2021 hingga akhir 2022 ini, eventevent daerah berskala besar masih didominasi oleh komunal kerja kreatif dari luar daerah seperti Surabaya dan Malang.

Tak sampai di situ saja, bahkan vendor kelengkapan produksi seperti lighting, stage sampai multimedia pun, Jember masih cenderung menjadi pihak kedua alias sub-vendor. Sebut saja, J-Fest yang meskipun brand lokal sebagai penyelenggara acara mendominasi hampir 70 persen besaran publikasi, justru komunal kerja kreatifnya adalah seorang show director kenamaan asal Jakarta.

Jika kembali pada narasi “it’s all about business” tidak ada yang masalah dengan itu semua. Tapi mari bicara tentang bagaimana reputasi dapat dibangun dengan meregenerasi para pelaku dan instrumen dunia hiburan lokal? Kita tentu hanya akan bergantung pada posisi relasi bukan kepada kualitas sebagaimana yang jadi indikator kemajuan ekonomi kreatif.

Satu kasus menarik adalah pengalaman penulis ketika menjadi salah satu pengisi acara sebuah event di Banyuwangi. Event ini dikerjakan oleh EO besar dari Jakarta dan mengundang belasan artis nasional dengan konsep konser bertiket. Apa yang paling menarik dari event tersebut adalah, 60 persen tenaga kerja untuk urusan vendor tenda/booth, pengamanan dan parkir justru banyak berasal dari Jember.

Minimnya Talent dan Local Hero

Kiprah para talenta pengisi acara dalam industri hiburan lokal yang itu-itu saja, rasanya dapat disimpulkan menjadi indikator perkembangan ekraf yang stagnan di daerah. EO seolah tidak punya banyak pilihan untuk mengundang band, penyanyi solo atau grup kesenian yang punya kualitas setara atau setidaknya menyajikan sesuatu yang berbeda dalam sebuah event.

Hal ini tentu menjadi pe er bersama yang perlu dirumuskan menjadi gerakan yang masif melibatkan para pelaku seni dan dunia hiburan di daerah. Seringkali, pengisi acara sebuah event dapat dipastikan tidak akan jauh lingkarannya. Entah itu band, MC atau jenis entertain lainnya yang seolah mandeg pada alternatif yang tak sampai habis jari tangan jumlahnya. Pun ada yang berbeda, adalah nama grupnya tapi pengisinya ya itu-itu lagi.

Dalam sebuah sesi wawancara di media, penulis ditanya tentang bagaimana idealnya industri kreatif berjalan di daerah. Tidak lain adalah menjawab tantangan dari peluang dan kesempatan yang telah terbuka luas. Pada entitas mana pun, koreksi sebaiknya perlu jadi bahan evaluasi bukan dijawab sebagai kritik tanpa argumen yang kekanakan.

Semuanya memang kembali pada diksi bisnis—soal untung rugi. Tapi, apakah ini yang akan menjadi refleksi para pelaku dunia showbiz lokal untuk meraih reputasi dan ekspektasi sekadar pada sebatas yang penting jalan. Pilihannya ada dua, re-kreasi atau re-generasi. Anda paham?

 

Tentang penulis :

Yudho Andriansyah

*) Penulis adalah pelaku industri kreatif dan founder Linkrafin, perkumpulan kreatif di Jember berbasis potensi lokal.

RADARJEMEBER.ID – Tulisan ini bisa menjadi jurnal pribadi berbasis empirisme atau hanya sekadar menjadi refleksi. Bagaimana pembaca nanti memaknainya, mari kita mulai saja dengan kesepakatan bahwa industri kreatif (showbiz) kini sedang bertumbuh di daerah. Penulis dalam konteks ini mencoba bersikap dengan cara paling adil dan mengambil sudut pandang yang “memang” subjektif berdasarkan pengalaman dan pemahaman selama aktif sebagai pelaku industri hiburan—untuk mengukur keabsahan realitas dalam tulisan ini ke depan. Harapannya agar dapat diuji di ruang diskusi argumentatif oleh siapa pun yang berkehendak.

Pertama, showbiz atau show business adalah istilah informal dari industri hiburan yang merujuk pada sub-industri yang ditujukan khusus pada hiburan. Konser musik, olahraga, komedi, pentas teater, dan ragam hiburan lainnya adalah bagian tak terpisah dari showbiz. Dalam ruang bisnis ini, manajemen organisasi yang bertindak sebagai penyelenggara kemudian akrab disebut sebagai event organizer atau EO. Komunal kerja ini berbekal keahlian khusus dalam merancang, membuat dan mengarahkan jalannya sebuah acara. Berbasis manajemen dengan penguasaan terhadap sumber daya kreatif dan kemampuan olah finansial yang efektif, EO adalah yang bertanggung jawab dalam sebuah acara showbiz.

Idealnya, EO terdiri atas pemimpin produksi yang bertugas memimpin beberapa departemen. Mulai dari departemen produksi, dekorasi, talent, hingga susunan acara agar dapat berjalan efektif dan efisien dengan target tertentu yang disepakati. Terlepas dari skala event-nya, target pencapaian keberhasilan sebuah event olahraga dibandingkan konser musik bertiket tentunya berbeda. Inilah yang kemudian menjadi portofolio bagi EO untuk mendapat dan menjaga reputasinya di dunia showbiz.

Kedua, lewat tulisan ini, penulis mencoba menggambarkan dengan kritis geliat-dinamika dunia showbiz di daerah, khususnya di Jember. Sebuah kota kecil dan padat yang saat ini tengah meniti langkahnya untuk menemukan jalan baru kehidupan yang berkemajuan dan berkembang. Kacamata industri kreatif tentunya dapat menjadi salah satu indikator yang cukup tepat untuk dianalisa.

Sebagai kabupaten terbesar ketiga di Jawa Timur dengan keberadaan Universitas Negeri Jember yang turut menjadi sentral episentrum urban, membuat kota ini tumbuh dengan daya dan gaya hidup beragam. Masuknya masyarakat dari luar Jember kemudian turut membuka akses informasi dan pengetahuan yang saling bertukar secara interaktif, sehingga tren di kota-kota besar pun mudah masuk sebagai bagian dari gaya hidup anak-anak mudanya. Tak heran, banyak perusahaan dan produk besar masih melirik Jember menjadi salah satu target market yang cukup menjanjikan untuk membuat event promosi dan publikasi. Meskipun tak jarang sebuah event yang digelar harus mempertimbangkan berbagai hal seperti tradisi, nilai agama dan adat yang membatasi, nyatanya sejak dulu Jember selalu mempunyai event kolosal tahunan dengan banyak segmentasi. Mulai dari event keagamaan akbar, olahraga masal sampai konser musik yang masih menarik jadi pasar promosi dan publikasi untuk brand-brand tertentu.

Sejarahnya; Kabupaten Jember sejak dekade 70an tidak asing dengan dunia showbiz. Sebut saja Gerak Jalan Tanggul Jember Tradisional (Tajemtra), sebuah event olahraga masal yang sudah ada sejak tahun 1977. Tajemtra dihelat dengan melibatkan massa banyak dari seluruh penjuru kabupaten. Tercatat, peserta event ini tak pernah kurang dari 15 ribu orang setiap kali diselenggarakan. Lalu masuk ke dekade milenium di tahun 2000an, di mana seorang fashion desainer asal Jember bernama Dynan Fariz merintis Jember Fashion Carnaval yang kemudian menjadi event ikonik tahunan berskala internasional.

Seiring dengan arah kebijakan pemerintah daerah saat ini yang memberi porsi cukup besar dalam pengembangan ekonomi kreatif, khususnya dalam sub-industri dunia hiburan yang berpotensi menggerakkan ekonomi, penting kemudian untuk merefleksi aktivitas para pelaku dunia hiburan Jember yang mengalami naik-turun—pasang-surut reputasi dan ekspektasi di lapangan. Sejumlah fakta ini mungkin menjadi sedikit gambaran yang kemudian dapat dikaji lebih mendalam untuk mengembangkan bentuk ideal ekonomi kreatif dari kacamata industri, terutama sub-industri dunia hiburan berbasis local wisdom dan local hero.

Pemerintah Masih Jadi Pasar Sentral Jasa Penyelenggaraan Acara

Sepanjang periode 2021 hingga 2022 akhir, pemerintah daerah dibawah kepemimpinan Bupati Hendy Siswanto dan Wakil Bupati MB Firjaun Barlaman memberi porsi yang cukup signifikan terhadap jasa penyelenggaraan acara. Terlebih dalam pengalokasian dana ini, begitu banyak sektor yang bisa disentuh mulai dari UMKM, pelaku ekraf lokal hingga produk-produk jasa lainnya. Ini bisa dilihat dari hampir seluruh acara formal pemerintahan sudah pasti dan wajib dikemas dengan menampilkan sajian hiburan baik itu yang sifatnya tradisi maupun modern.

Arah kebijakan pemerintah daerah ini, tentu menjadi angin segar bagi para penyedia jasa penyelenggara acara atau EO yang ada di Jember. Hampir banyak mereka yang mengeluhkan tingkat kehadiran pemerintah untuk memajukan bidang usaha ini kemudian merasakan sinergi pentahelix yang nyata.

Besaran modal belanja jasa penyelenggaraan acara yang digelontorkan oleh Pemkab Jember menjadi indikator kehadiran pemerintah sebagai leading sector untuk memajukan ekonomi kreatif. Puluhan perusahaan penyedia jasa penyelenggara (EO) mendapat peluang dan kesempatan untuk mengerjakan proyek-proyek ini. Situasi ini kemudian yang memantik banyak pelaku bisnis hiburan dan brand-brand besar untuk ikut menjadi partisan dengan melakukan kerja sama sinergi bersama pemerintahan. Sebut saja beberapa event besar yang terlaksana seperti J-Fest, Porprov Jatim VII, JFC, dan yang teranyar ini Pesta Bola Nobar Piala Dunia, sebuah program promosi dan publikasi brand merk rokok terbesar di Indonesia.

Kalah Modal Sama Luar

Modal yang kita bicarakan ini sebenarnya tak melulu soal kemampuan finansial. Sumber daya kreatif, tenaga ahli dan banyak komponen modal penting lainnya seperti kemampuan manajemen organisasi yang baik kadang tidak dipunyai oleh EO-EO di Jember. Ini pula yang terkadang reputasi EO dari luar cenderung mampu mengontrol trust issue yang terjadi dalam perang bisnis pra pelaksanaan acara. Kalah tender itu seolah menjadi makanan rutin setiap kali EO lokal bertempur dengan EO dari luar daerah, terlebih jika event-nya berskala besar dan mengundang artis nasional.

Tapi tak dipungkiri juga, dalam skala lokal, kasus yang banyak ditemui adalah kurangnya modal usaha yang akhirnya membuat EO harus memutar otak untuk membagi margin bisnis dengan investor untuk pembiayaan vendor, sehingga seringkali membuat esensi empiris dari penyelenggaraan acara menjadi minus. Paling parah adalah gagal event. Studi kasusnya tentu banyak terjadi di Jember, kurang etis saja jika disebutkan.

Jadi Pihak Kedua atau Mental Tukang?

Sebenarnya banyak juga EO asal Jember yang mempunyai reputasi dan portofolio yang mumpuni. Kemampuan mereka mengelola ide kreatif hingga mengaplikasikan aktivasi event brand-brand besar juga tidak perlu diragukan. Sayangnya, periode 2021 hingga akhir 2022 ini, eventevent daerah berskala besar masih didominasi oleh komunal kerja kreatif dari luar daerah seperti Surabaya dan Malang.

Tak sampai di situ saja, bahkan vendor kelengkapan produksi seperti lighting, stage sampai multimedia pun, Jember masih cenderung menjadi pihak kedua alias sub-vendor. Sebut saja, J-Fest yang meskipun brand lokal sebagai penyelenggara acara mendominasi hampir 70 persen besaran publikasi, justru komunal kerja kreatifnya adalah seorang show director kenamaan asal Jakarta.

Jika kembali pada narasi “it’s all about business” tidak ada yang masalah dengan itu semua. Tapi mari bicara tentang bagaimana reputasi dapat dibangun dengan meregenerasi para pelaku dan instrumen dunia hiburan lokal? Kita tentu hanya akan bergantung pada posisi relasi bukan kepada kualitas sebagaimana yang jadi indikator kemajuan ekonomi kreatif.

Satu kasus menarik adalah pengalaman penulis ketika menjadi salah satu pengisi acara sebuah event di Banyuwangi. Event ini dikerjakan oleh EO besar dari Jakarta dan mengundang belasan artis nasional dengan konsep konser bertiket. Apa yang paling menarik dari event tersebut adalah, 60 persen tenaga kerja untuk urusan vendor tenda/booth, pengamanan dan parkir justru banyak berasal dari Jember.

Minimnya Talent dan Local Hero

Kiprah para talenta pengisi acara dalam industri hiburan lokal yang itu-itu saja, rasanya dapat disimpulkan menjadi indikator perkembangan ekraf yang stagnan di daerah. EO seolah tidak punya banyak pilihan untuk mengundang band, penyanyi solo atau grup kesenian yang punya kualitas setara atau setidaknya menyajikan sesuatu yang berbeda dalam sebuah event.

Hal ini tentu menjadi pe er bersama yang perlu dirumuskan menjadi gerakan yang masif melibatkan para pelaku seni dan dunia hiburan di daerah. Seringkali, pengisi acara sebuah event dapat dipastikan tidak akan jauh lingkarannya. Entah itu band, MC atau jenis entertain lainnya yang seolah mandeg pada alternatif yang tak sampai habis jari tangan jumlahnya. Pun ada yang berbeda, adalah nama grupnya tapi pengisinya ya itu-itu lagi.

Dalam sebuah sesi wawancara di media, penulis ditanya tentang bagaimana idealnya industri kreatif berjalan di daerah. Tidak lain adalah menjawab tantangan dari peluang dan kesempatan yang telah terbuka luas. Pada entitas mana pun, koreksi sebaiknya perlu jadi bahan evaluasi bukan dijawab sebagai kritik tanpa argumen yang kekanakan.

Semuanya memang kembali pada diksi bisnis—soal untung rugi. Tapi, apakah ini yang akan menjadi refleksi para pelaku dunia showbiz lokal untuk meraih reputasi dan ekspektasi sekadar pada sebatas yang penting jalan. Pilihannya ada dua, re-kreasi atau re-generasi. Anda paham?

 

Tentang penulis :

Yudho Andriansyah

*) Penulis adalah pelaku industri kreatif dan founder Linkrafin, perkumpulan kreatif di Jember berbasis potensi lokal.

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca