30.4 C
Jember
Friday, 24 March 2023

Mengupas Pelecehan dan Kekerasan Seksual terhadap Perempuan

Mobile_AP_Rectangle 1

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Belakangan ini, marak terjadi pelecehan seksual terhadap perempuan. Modus pelecehannya beragam. Mulai dari gangguan yang berupa kontak fisik hingga di media sosial. Seperti yang baru-baru ini terjadi pada mahasiswi (Radar Jember, 2/6/21). Tidak hanya di tempat sepi, bentuk diskriminasi ini juga kian menyebar bahkan di tempat-tempat ramai seperti di daerah kampus, jalan raya, dan fasilitas umum lainnya. Perempuan merasa selalu menjadi korban dari perilaku yang tidak senonoh oleh kaum laki-laki. Mereka yang menjadi korban berpikir bahwa tindak pelecehan telah merenggut kehormatan sebagai perempuan hingga menyisakan trauma yang mendalam. Oleh karenanya, muncullah badan-badan dan gerakan-gerakan yang bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap perempuan atas tindak kekerasan atau pelecehan yang menimpanya.

Menanggapi fenomena ini, akademisi dituntut untuk berpikir secara jernih dan terstruktur agar tidak menimbulkan clash atau perseteruan baru dalam masyarakat. Pengetahuan dan nilai harus saling dipadukan supaya simfoni kebajikan dapat dilahirkan. Ex Philosophia Claritas, dari filsafat muncul kejernihan. Kejernihan adalah suatu niscaya yang lahir dari berpikir dengan jalur yang benar. Bagaimana argumen hasil produksi filsafat akan sesuai dengan objektivitas di masyarakat dengan heterogenitas yang tinggi.

Dalam lanskap dialektika filosofis, sebuah tesa (fenomena atau problem) yang terjadi selalu membutuhkan antitesis (kajian dan pemikiran kritis) untuk mendapatkan sintesis atau sebuah kesimpulan. Maka dalam konteks ini, pelecehan seksual yang terjadi terhadap perempuan harus dikaji secara kritis terlebih dahulu agar dapat disimpulkan secara cermat. Untuk itu, mari mempertanyakan apa sebab terjadinya pelecehan seksual terhadap perempuan dan mengapa pelecehan seksual terhadap perempuan harus terjadi. Pertanyaan ‘bagaimana’ tidak cocok digunakan dalam konteks ini, sebab keberagaman modus yang ada tidak memungkinkan kita membahas kronologi masalah satu per satu.

Mobile_AP_Rectangle 2

Apa sebab terjadinya pelecehan seksual terhadap perempuan? Zaman telah bertransformasi sangat jauh hingga peradaban manusia sampai pada generasi milenial. Satu dekade lalu, manusia belum mengenal media sosial. Kehidupan sosial masyarakat saat itu, masih berupa sosialisasi praktis dengan bertatap muka dan silaturahmi. Masyarakat melakukan hubungan timbal balik dalam bentuk apa pun secara langsung tanpa aling-aling. Begitupun apa yang mereka konsumsi secara materi dan pengetahuan juga berdasarkan apa yang panca indera mereka tangkap setiap harinya.

Di samping itu, perilaku orang Indonesia sangat menyesuaikan dengan karakter serta adat ketimuran. Orang-orang dari blok timur yang terkenal ramah, lemah lembut, dan sopan adalah wajah rakyat Indonesia hampir secara keseluruhan. Nilai sosial yang berlaku di masyarakat selalu tertera dalam kehidupan mereka secara pribadi dalam kesehariannya. Bagaimana seorang laki-laki harus bersikap dan bagaimana seorang perempuan harus bertingkah. Laki-laki yang diharuskan menjaga pandangannya dari melihat perempuan dan perempuan yang diharuskan menjaga kehormatannya dari pandangan laki-laki. Masing-masing wajib menaati apa yang menjadi peraturan bersama meski tidak tertulis. Tentu saja, kasus pelecehan seksual jarang sekali terjadi pada saat itu.

Lantas keadaan berubah 180 derajat di mana saat ini nilai-nilai itu kian pudar bahkan hilang. Media sosial menjadi wajah baru hubungan sosial masyarakat secara empiris. Informasi dan berita yang masyarakat konsumsi adalah murni dari jejaring internet ataupun media-media lain. Sedangkan apa yang terpajang di internet atau media sosial sering kali tidak sesuai dengan norma yang berlaku. Silakan buka gawai di genggaman Anda lalu temukan banyak sekali perempuan-perempuan, baik dari yang masih sangat belia hingga yang telah dewasa, mengumbar aurat di mana-mana. Tanpa canggung mereka bergoyang dengan asyiknya hingga tidak menyangka berapa banyak mata yang menyaksikannya. Peradaban timur mulai terkikis terganti dengan budaya barat yang semakin miris.

Pakaian you can see anything adalah pakaian yang sehari-hari kita lihat, baik di media sosial maupun di dunia nyata. Bagian-bagian lekuk tubuh wanita adalah pembangkit gairah pria yang bukan tidak mungkin membuat gelap mata. Tidak hanya itu, pekerja seks komersial juga kerap kali bertebaran di media sosial. Dengan harga yang tidak seberapa mereka tawarkan jasa kepada siapa pun tanpa mengenal usia. Sangat disayangkan, budaya me society begitu membawa dampak negatif, yakni mencemari pikiran manusia lintas usia.

Lantas, budaya konsumtif konten-konten negatif seperti ini akan membuat laki-laki berimajinasi sangat luas hingga berupaya untuk mewujudkan imajinasinya dalam kehidupan nyata. Ia akan mencari pelampiasan imajinasi tersebut terutama terhadap orang-orang terdekat yakni di antaranya adalah keluarga. Terbukti, melihat data Komnas Perempuan pada 2020 tentang kekerasan seksual terhadap perempuan dengan inses (antaranggota keluarga) adalah kasus tertinggi hingga mencapai 822 kasus.

Narasi berpikir di atas, dalam konteks ini, seakan menyudutkan pihak perempuan sebab boleh jadi tidak semua perempuan yang berperilaku demikian. Sedangkan penulis seakan permisif pada laki-laki untuk menunjukkan otoritasnya. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa gejala budaya baru inilah yang menciptakan adanya pelecehan seksual terhadap perempuan.

Dikutip dari Kompas.com, pada tahun 2010 terdapat 391 kasus kekerasan terhadap perempuan yang meliputi di antaranya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), pelecehan seksual, kasus pemerkosaan dll. (28/12/10) Sementara jumlah ini berkali lipat melonjak di tahun 2020 yakni terdapat 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan seperti dikutip dari laman Tempo.co (05/03/21). Maka dalam pembahasan ini penyudutan terhadap perempuan bukan berarti menyalahkan namun sebagai bahan evaluasi untuk meminimalisir lonjakan kasus pelecehan terhadap kaum mereka. Penulis sangat setuju dengan paradigma berpikir yang berperspektif korban dalam kasus kekerasan seksual seperti yang dikatakan Trisna Dwi dalam opininya (Radar Jember, 20/04/21). Senada dengannya, penulis juga mendukung adanya kesetaraan kedudukan antar warga negara yang telah diatur dalam UUD ’45 Pasal 27 ayat (1). Namun kajian mengenai kekerasan seksual ini bercondong pada pemikiran filosofis tentang hakikat dari kekerasan seksual itu sendiri.

Mengapa Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan Harus Terjadi? Akhirnya, dengan terus meningkatnya angka pelecehan dan kekerasan seksual terhadap perempuan, baik perempuan atau laki-laki harus sadar dengan nilai dan norma sosial yang berlaku. Menurut Elly dan Usman dalam Pengantar Sosiologi, nilai adalah sesuatu yang dianggap baik, patut, layak, pantas, yang keberadaannya dicita-citakan bersama. Adapun, norma adalah pedoman atau petunjuk yang mengarahkan perilaku manusia di dalam kelompok terhadap sesuatu yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Pelajari lebih dalam budaya timur yang dulu pernah ada. Tidak masalah dengan adanya perkembangan teknologi, asalkan jangan sampai lupa jati diri.

Jika kita berpikir secara positif, kasus-kasus tersebut adalah sebuah tamparan bagi kita semua untuk khittah atau kembali menjadi siapa kita sebenarnya. Kurang sempurna apabila kita hanya melakukan tindak preventif dan kuratif terhadap pelecehan seksual namun tidak memahami secara hakiki apa penyebab dari terjadinya pelecehan itu sendiri.

 

*) Penulis adalah mahasiswa UIN KH Ahmad Shiddiq Jember dan Ketua Umum Intellectual Movement Community UIN KH Ahmad Shiddiq Jember

- Advertisement -

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Belakangan ini, marak terjadi pelecehan seksual terhadap perempuan. Modus pelecehannya beragam. Mulai dari gangguan yang berupa kontak fisik hingga di media sosial. Seperti yang baru-baru ini terjadi pada mahasiswi (Radar Jember, 2/6/21). Tidak hanya di tempat sepi, bentuk diskriminasi ini juga kian menyebar bahkan di tempat-tempat ramai seperti di daerah kampus, jalan raya, dan fasilitas umum lainnya. Perempuan merasa selalu menjadi korban dari perilaku yang tidak senonoh oleh kaum laki-laki. Mereka yang menjadi korban berpikir bahwa tindak pelecehan telah merenggut kehormatan sebagai perempuan hingga menyisakan trauma yang mendalam. Oleh karenanya, muncullah badan-badan dan gerakan-gerakan yang bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap perempuan atas tindak kekerasan atau pelecehan yang menimpanya.

Menanggapi fenomena ini, akademisi dituntut untuk berpikir secara jernih dan terstruktur agar tidak menimbulkan clash atau perseteruan baru dalam masyarakat. Pengetahuan dan nilai harus saling dipadukan supaya simfoni kebajikan dapat dilahirkan. Ex Philosophia Claritas, dari filsafat muncul kejernihan. Kejernihan adalah suatu niscaya yang lahir dari berpikir dengan jalur yang benar. Bagaimana argumen hasil produksi filsafat akan sesuai dengan objektivitas di masyarakat dengan heterogenitas yang tinggi.

Dalam lanskap dialektika filosofis, sebuah tesa (fenomena atau problem) yang terjadi selalu membutuhkan antitesis (kajian dan pemikiran kritis) untuk mendapatkan sintesis atau sebuah kesimpulan. Maka dalam konteks ini, pelecehan seksual yang terjadi terhadap perempuan harus dikaji secara kritis terlebih dahulu agar dapat disimpulkan secara cermat. Untuk itu, mari mempertanyakan apa sebab terjadinya pelecehan seksual terhadap perempuan dan mengapa pelecehan seksual terhadap perempuan harus terjadi. Pertanyaan ‘bagaimana’ tidak cocok digunakan dalam konteks ini, sebab keberagaman modus yang ada tidak memungkinkan kita membahas kronologi masalah satu per satu.

Apa sebab terjadinya pelecehan seksual terhadap perempuan? Zaman telah bertransformasi sangat jauh hingga peradaban manusia sampai pada generasi milenial. Satu dekade lalu, manusia belum mengenal media sosial. Kehidupan sosial masyarakat saat itu, masih berupa sosialisasi praktis dengan bertatap muka dan silaturahmi. Masyarakat melakukan hubungan timbal balik dalam bentuk apa pun secara langsung tanpa aling-aling. Begitupun apa yang mereka konsumsi secara materi dan pengetahuan juga berdasarkan apa yang panca indera mereka tangkap setiap harinya.

Di samping itu, perilaku orang Indonesia sangat menyesuaikan dengan karakter serta adat ketimuran. Orang-orang dari blok timur yang terkenal ramah, lemah lembut, dan sopan adalah wajah rakyat Indonesia hampir secara keseluruhan. Nilai sosial yang berlaku di masyarakat selalu tertera dalam kehidupan mereka secara pribadi dalam kesehariannya. Bagaimana seorang laki-laki harus bersikap dan bagaimana seorang perempuan harus bertingkah. Laki-laki yang diharuskan menjaga pandangannya dari melihat perempuan dan perempuan yang diharuskan menjaga kehormatannya dari pandangan laki-laki. Masing-masing wajib menaati apa yang menjadi peraturan bersama meski tidak tertulis. Tentu saja, kasus pelecehan seksual jarang sekali terjadi pada saat itu.

Lantas keadaan berubah 180 derajat di mana saat ini nilai-nilai itu kian pudar bahkan hilang. Media sosial menjadi wajah baru hubungan sosial masyarakat secara empiris. Informasi dan berita yang masyarakat konsumsi adalah murni dari jejaring internet ataupun media-media lain. Sedangkan apa yang terpajang di internet atau media sosial sering kali tidak sesuai dengan norma yang berlaku. Silakan buka gawai di genggaman Anda lalu temukan banyak sekali perempuan-perempuan, baik dari yang masih sangat belia hingga yang telah dewasa, mengumbar aurat di mana-mana. Tanpa canggung mereka bergoyang dengan asyiknya hingga tidak menyangka berapa banyak mata yang menyaksikannya. Peradaban timur mulai terkikis terganti dengan budaya barat yang semakin miris.

Pakaian you can see anything adalah pakaian yang sehari-hari kita lihat, baik di media sosial maupun di dunia nyata. Bagian-bagian lekuk tubuh wanita adalah pembangkit gairah pria yang bukan tidak mungkin membuat gelap mata. Tidak hanya itu, pekerja seks komersial juga kerap kali bertebaran di media sosial. Dengan harga yang tidak seberapa mereka tawarkan jasa kepada siapa pun tanpa mengenal usia. Sangat disayangkan, budaya me society begitu membawa dampak negatif, yakni mencemari pikiran manusia lintas usia.

Lantas, budaya konsumtif konten-konten negatif seperti ini akan membuat laki-laki berimajinasi sangat luas hingga berupaya untuk mewujudkan imajinasinya dalam kehidupan nyata. Ia akan mencari pelampiasan imajinasi tersebut terutama terhadap orang-orang terdekat yakni di antaranya adalah keluarga. Terbukti, melihat data Komnas Perempuan pada 2020 tentang kekerasan seksual terhadap perempuan dengan inses (antaranggota keluarga) adalah kasus tertinggi hingga mencapai 822 kasus.

Narasi berpikir di atas, dalam konteks ini, seakan menyudutkan pihak perempuan sebab boleh jadi tidak semua perempuan yang berperilaku demikian. Sedangkan penulis seakan permisif pada laki-laki untuk menunjukkan otoritasnya. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa gejala budaya baru inilah yang menciptakan adanya pelecehan seksual terhadap perempuan.

Dikutip dari Kompas.com, pada tahun 2010 terdapat 391 kasus kekerasan terhadap perempuan yang meliputi di antaranya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), pelecehan seksual, kasus pemerkosaan dll. (28/12/10) Sementara jumlah ini berkali lipat melonjak di tahun 2020 yakni terdapat 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan seperti dikutip dari laman Tempo.co (05/03/21). Maka dalam pembahasan ini penyudutan terhadap perempuan bukan berarti menyalahkan namun sebagai bahan evaluasi untuk meminimalisir lonjakan kasus pelecehan terhadap kaum mereka. Penulis sangat setuju dengan paradigma berpikir yang berperspektif korban dalam kasus kekerasan seksual seperti yang dikatakan Trisna Dwi dalam opininya (Radar Jember, 20/04/21). Senada dengannya, penulis juga mendukung adanya kesetaraan kedudukan antar warga negara yang telah diatur dalam UUD ’45 Pasal 27 ayat (1). Namun kajian mengenai kekerasan seksual ini bercondong pada pemikiran filosofis tentang hakikat dari kekerasan seksual itu sendiri.

Mengapa Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan Harus Terjadi? Akhirnya, dengan terus meningkatnya angka pelecehan dan kekerasan seksual terhadap perempuan, baik perempuan atau laki-laki harus sadar dengan nilai dan norma sosial yang berlaku. Menurut Elly dan Usman dalam Pengantar Sosiologi, nilai adalah sesuatu yang dianggap baik, patut, layak, pantas, yang keberadaannya dicita-citakan bersama. Adapun, norma adalah pedoman atau petunjuk yang mengarahkan perilaku manusia di dalam kelompok terhadap sesuatu yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Pelajari lebih dalam budaya timur yang dulu pernah ada. Tidak masalah dengan adanya perkembangan teknologi, asalkan jangan sampai lupa jati diri.

Jika kita berpikir secara positif, kasus-kasus tersebut adalah sebuah tamparan bagi kita semua untuk khittah atau kembali menjadi siapa kita sebenarnya. Kurang sempurna apabila kita hanya melakukan tindak preventif dan kuratif terhadap pelecehan seksual namun tidak memahami secara hakiki apa penyebab dari terjadinya pelecehan itu sendiri.

 

*) Penulis adalah mahasiswa UIN KH Ahmad Shiddiq Jember dan Ketua Umum Intellectual Movement Community UIN KH Ahmad Shiddiq Jember

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Belakangan ini, marak terjadi pelecehan seksual terhadap perempuan. Modus pelecehannya beragam. Mulai dari gangguan yang berupa kontak fisik hingga di media sosial. Seperti yang baru-baru ini terjadi pada mahasiswi (Radar Jember, 2/6/21). Tidak hanya di tempat sepi, bentuk diskriminasi ini juga kian menyebar bahkan di tempat-tempat ramai seperti di daerah kampus, jalan raya, dan fasilitas umum lainnya. Perempuan merasa selalu menjadi korban dari perilaku yang tidak senonoh oleh kaum laki-laki. Mereka yang menjadi korban berpikir bahwa tindak pelecehan telah merenggut kehormatan sebagai perempuan hingga menyisakan trauma yang mendalam. Oleh karenanya, muncullah badan-badan dan gerakan-gerakan yang bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap perempuan atas tindak kekerasan atau pelecehan yang menimpanya.

Menanggapi fenomena ini, akademisi dituntut untuk berpikir secara jernih dan terstruktur agar tidak menimbulkan clash atau perseteruan baru dalam masyarakat. Pengetahuan dan nilai harus saling dipadukan supaya simfoni kebajikan dapat dilahirkan. Ex Philosophia Claritas, dari filsafat muncul kejernihan. Kejernihan adalah suatu niscaya yang lahir dari berpikir dengan jalur yang benar. Bagaimana argumen hasil produksi filsafat akan sesuai dengan objektivitas di masyarakat dengan heterogenitas yang tinggi.

Dalam lanskap dialektika filosofis, sebuah tesa (fenomena atau problem) yang terjadi selalu membutuhkan antitesis (kajian dan pemikiran kritis) untuk mendapatkan sintesis atau sebuah kesimpulan. Maka dalam konteks ini, pelecehan seksual yang terjadi terhadap perempuan harus dikaji secara kritis terlebih dahulu agar dapat disimpulkan secara cermat. Untuk itu, mari mempertanyakan apa sebab terjadinya pelecehan seksual terhadap perempuan dan mengapa pelecehan seksual terhadap perempuan harus terjadi. Pertanyaan ‘bagaimana’ tidak cocok digunakan dalam konteks ini, sebab keberagaman modus yang ada tidak memungkinkan kita membahas kronologi masalah satu per satu.

Apa sebab terjadinya pelecehan seksual terhadap perempuan? Zaman telah bertransformasi sangat jauh hingga peradaban manusia sampai pada generasi milenial. Satu dekade lalu, manusia belum mengenal media sosial. Kehidupan sosial masyarakat saat itu, masih berupa sosialisasi praktis dengan bertatap muka dan silaturahmi. Masyarakat melakukan hubungan timbal balik dalam bentuk apa pun secara langsung tanpa aling-aling. Begitupun apa yang mereka konsumsi secara materi dan pengetahuan juga berdasarkan apa yang panca indera mereka tangkap setiap harinya.

Di samping itu, perilaku orang Indonesia sangat menyesuaikan dengan karakter serta adat ketimuran. Orang-orang dari blok timur yang terkenal ramah, lemah lembut, dan sopan adalah wajah rakyat Indonesia hampir secara keseluruhan. Nilai sosial yang berlaku di masyarakat selalu tertera dalam kehidupan mereka secara pribadi dalam kesehariannya. Bagaimana seorang laki-laki harus bersikap dan bagaimana seorang perempuan harus bertingkah. Laki-laki yang diharuskan menjaga pandangannya dari melihat perempuan dan perempuan yang diharuskan menjaga kehormatannya dari pandangan laki-laki. Masing-masing wajib menaati apa yang menjadi peraturan bersama meski tidak tertulis. Tentu saja, kasus pelecehan seksual jarang sekali terjadi pada saat itu.

Lantas keadaan berubah 180 derajat di mana saat ini nilai-nilai itu kian pudar bahkan hilang. Media sosial menjadi wajah baru hubungan sosial masyarakat secara empiris. Informasi dan berita yang masyarakat konsumsi adalah murni dari jejaring internet ataupun media-media lain. Sedangkan apa yang terpajang di internet atau media sosial sering kali tidak sesuai dengan norma yang berlaku. Silakan buka gawai di genggaman Anda lalu temukan banyak sekali perempuan-perempuan, baik dari yang masih sangat belia hingga yang telah dewasa, mengumbar aurat di mana-mana. Tanpa canggung mereka bergoyang dengan asyiknya hingga tidak menyangka berapa banyak mata yang menyaksikannya. Peradaban timur mulai terkikis terganti dengan budaya barat yang semakin miris.

Pakaian you can see anything adalah pakaian yang sehari-hari kita lihat, baik di media sosial maupun di dunia nyata. Bagian-bagian lekuk tubuh wanita adalah pembangkit gairah pria yang bukan tidak mungkin membuat gelap mata. Tidak hanya itu, pekerja seks komersial juga kerap kali bertebaran di media sosial. Dengan harga yang tidak seberapa mereka tawarkan jasa kepada siapa pun tanpa mengenal usia. Sangat disayangkan, budaya me society begitu membawa dampak negatif, yakni mencemari pikiran manusia lintas usia.

Lantas, budaya konsumtif konten-konten negatif seperti ini akan membuat laki-laki berimajinasi sangat luas hingga berupaya untuk mewujudkan imajinasinya dalam kehidupan nyata. Ia akan mencari pelampiasan imajinasi tersebut terutama terhadap orang-orang terdekat yakni di antaranya adalah keluarga. Terbukti, melihat data Komnas Perempuan pada 2020 tentang kekerasan seksual terhadap perempuan dengan inses (antaranggota keluarga) adalah kasus tertinggi hingga mencapai 822 kasus.

Narasi berpikir di atas, dalam konteks ini, seakan menyudutkan pihak perempuan sebab boleh jadi tidak semua perempuan yang berperilaku demikian. Sedangkan penulis seakan permisif pada laki-laki untuk menunjukkan otoritasnya. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa gejala budaya baru inilah yang menciptakan adanya pelecehan seksual terhadap perempuan.

Dikutip dari Kompas.com, pada tahun 2010 terdapat 391 kasus kekerasan terhadap perempuan yang meliputi di antaranya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), pelecehan seksual, kasus pemerkosaan dll. (28/12/10) Sementara jumlah ini berkali lipat melonjak di tahun 2020 yakni terdapat 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan seperti dikutip dari laman Tempo.co (05/03/21). Maka dalam pembahasan ini penyudutan terhadap perempuan bukan berarti menyalahkan namun sebagai bahan evaluasi untuk meminimalisir lonjakan kasus pelecehan terhadap kaum mereka. Penulis sangat setuju dengan paradigma berpikir yang berperspektif korban dalam kasus kekerasan seksual seperti yang dikatakan Trisna Dwi dalam opininya (Radar Jember, 20/04/21). Senada dengannya, penulis juga mendukung adanya kesetaraan kedudukan antar warga negara yang telah diatur dalam UUD ’45 Pasal 27 ayat (1). Namun kajian mengenai kekerasan seksual ini bercondong pada pemikiran filosofis tentang hakikat dari kekerasan seksual itu sendiri.

Mengapa Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan Harus Terjadi? Akhirnya, dengan terus meningkatnya angka pelecehan dan kekerasan seksual terhadap perempuan, baik perempuan atau laki-laki harus sadar dengan nilai dan norma sosial yang berlaku. Menurut Elly dan Usman dalam Pengantar Sosiologi, nilai adalah sesuatu yang dianggap baik, patut, layak, pantas, yang keberadaannya dicita-citakan bersama. Adapun, norma adalah pedoman atau petunjuk yang mengarahkan perilaku manusia di dalam kelompok terhadap sesuatu yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Pelajari lebih dalam budaya timur yang dulu pernah ada. Tidak masalah dengan adanya perkembangan teknologi, asalkan jangan sampai lupa jati diri.

Jika kita berpikir secara positif, kasus-kasus tersebut adalah sebuah tamparan bagi kita semua untuk khittah atau kembali menjadi siapa kita sebenarnya. Kurang sempurna apabila kita hanya melakukan tindak preventif dan kuratif terhadap pelecehan seksual namun tidak memahami secara hakiki apa penyebab dari terjadinya pelecehan itu sendiri.

 

*) Penulis adalah mahasiswa UIN KH Ahmad Shiddiq Jember dan Ketua Umum Intellectual Movement Community UIN KH Ahmad Shiddiq Jember

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca