26.8 C
Jember
Sunday, 2 April 2023

Ini JKlab: Jember Kreatif Laboratorium!

Mobile_AP_Rectangle 1

Pada unggahan status facebook 7 Mei 2022 sebuah akun menggugat penamaan dan penampakan gedung kesenian Jember yang berdiri di bekas gedung kantor Dinas Sosial Kabupaten Jember di Jalan PB. Sudirman No. 38. Akun tersebut mempermasalahkan penamaan JKlab (Jember Kreatif Laboratorium) untuk gedung kesenian tersebut yang dipahaminya sebagai “ruang penelitian, ruang uji coba, atau sekedar galeri art, ruang pameran . . .”. Berdasarkan apa yang dipahami dan kenampakannya, akun tersebut kemudian menilai bahwa penamaan dan kenampakan gedung JKlab merepresentasikan fungsi gedung kesenian yang tidak representatif atau tidak memadai untuk menampung keberagaman seni dan budaya di Kabupaten Jember.

Saya sepakat, berdasarkan ukuran atau kenampakan bangunan, gedung kesenian Jember tersebut mungkin tidak ideal untuk disebut sebagai gedung kesenian jika dimaksudkan untuk sebuah pusat kesenian yang berupa kompleks yang berisi gedung-gedung yang merepresentasikan ruang-ruang berbeda untuk jenis-jenis kesenian yang dikelola, seperti pada kompleks Taman Ismail Marzuki. Namun demikian, bukan berarti ukuran bangunan dapat digunakan sebagai titik-tolak untuk menilai seberapa penting ruang kesenian tersebut akan dikelola nantinya. Sebagai contoh ekstrem, agar dapat dibandingkan dengan jelas, Pavilion of Realism — Gustave Courbert yang berdiri di seberang Salon Galery yang dianggap representatif pada abad 19 di Prancis, memberikan dampak luas pada pertumbuhan dan perkembangan seni lukis internasional, tidak saja secara artistik pun secara kultural dan politik. Kita juga bisa memasukan Utan Kayu yang mengelola ruang seni kecil di antara himpitan gedung-gedung komersial di Jakarta yang juga memberikan dampak luas pada pertumbuhan dan perkembangan seni dan pemikiran seni secara nasional.

Penamaan Jember Kreatif Laboratorium untuk gedung kesenian Jember barangkali akan — bahkan sudah — memicu penafsiran yang beragam oleh beberapa kalangan. Namun demikian, bukan berarti penafsiran-penafsiran yang reduktif dapat dibenarkan. Ada dua istilah yang tampaknya harus dijernihkan pada penamaan JKlab di atas. Pertama “kreatif”; istilah “kreatif” tidak begitu saja muncul terkait dengan proses untuk mewujudkan karya seni. Istilah “kreatif” untuk seni, paling tidak, dapat dilacak kemunculannya pada abad pertengahan bersama tradisi seni seni Kristen yang menempatkan manusia sebagai “pencipta” kedua setelah Tuhan — karena manusia diciptakan berdasarkan citra Tuhan. Sebelum itu, seni dianggap sebagai mimesis, tiruan, bukan ciptaan tapi jiplakan, yang dianggap “tidak berguna” oleh Plato karena merupakan simulakra dan dianggap sebagai medium belajar-pembelajaran oleh Aristoteles bersama penemuan tekhne seni representatif. Setelah abad pertengahan, istilah “kreatif” mendapatkan makna baru, puncaknya pada masa Romantik yang menekankan kebebasan manusia yang berhubungan dengan keutamaan kaum seniman. Lalu, melalui Raymond Williams pada sekitar abad 20, selanjutnya kita tahu bahwa bakat “kreatif” itu ada dalam diri setiap manusia yang dapat direalisasikan untuk segala bidang kehidupan dan dapat bersifat sehari-hari.
Kedua “laboratorium”, istilah ini secara sempit dimaknai sebagai ruang terkontrol untuk penyelenggaraan uji coba saintis (dalam arti ilmu alam). Namun, laboratorium untuk ilmu sosial tidak dapat dikatakan sebagai ruang yang dapat dikontrol, sebab laboratorium ilmu sosial adalah masyarakat. Lantas bagaimana dengan laboratorium seni yang secara implisit terkandung dalam nama JKlab? Sepanjang sejarah, jika mau melacak, ada banyak tumbuh laboratorium seni, seperti Pavilion of Realism-nya Gustave Courbert pada abad 19 dan studio Drury Lane-nya Jim Haynes tahun 1967 -1969 sampai Ruang Rupa yang eksis sampai hari ini. Untuk lebih jelas apa itu laboratorium seni, kita bisa membaca definisi laboratorium seni oleh Unesco yang di dalamnya juga mencakup realisasi bakat “kreatif” setiap manusia dan menghubungkan seni dengan dimensi-dimensi kehidupan lainnya. Unesco mendefinisikan laboratorium seni adalah laboratorium untuk intervensi artistik, menekankan peran seniman dalam memproses ingatan dan rekonsiliasi, dan karenanya memajukan hak-hak manusia, kemartabatan dan kebebasan seni.

Mobile_AP_Rectangle 2

Jadi tidak perlu tergesa-gesa untuk memaknai atau menafsirkan penamaan JKlab. Tak perlu tergesa-gesa untuk menafsirkan tanpa wawasan atau informasi yang cukup. Penafsiran atau pemaknaan yang tergesa-gesa akan cenderung jatuh pada pereduksian; sikap kritis tanpa dasar yang dapat berujung pada pendiskreditan yang tak tepat seperti seloroh (meskipun diharapkan tidak terjadi) yang mengira gedung kesenian akan jadi butik pakain.

Untuk membangun iklim kesenian yang sehat di Jember, gedung kesenian atau JKlab, adalah ruang. Ruang tersebut tidak akan bekerja dengan sendirinya tanpa lembaga yang mengelola dan sistem pengelolaan, orang-orang yang mengelola, dan, sudah barang tentu, kehidupan seni yang melingkupinya. Saya berharap kita bisa bersabar, tidak grusa-grusu, memberikan waktu dan ruang yang cukup bagi pihak-pihak yang mendapat amanat untuk mewujudkan konsep tata kelola, tata organisasi, skema pembiayaan lembaga seni (Dewan Kesenian Kabupaten Jember) yang akan menjadi lembaga pengelola gedung kesenian tersebut. Kita berharap JKlab akan menjadi “ruang kecil” yang dapat menyebarkan dan menumbuhkan sensibilitas artistik di tengah-tengah masyarakat, menjadi “ruang kecil” bagi para seniman Jember untuk berdialog dengan masyarakat dan para seniman luar Jember, melalui karya maupun secara langsung. Meskipun kita harus insyaf bahwa JKlab tidak mungkin akan memuaskan semua pihak.
*) Penulis adalah Kritikus Sastra

- Advertisement -

Pada unggahan status facebook 7 Mei 2022 sebuah akun menggugat penamaan dan penampakan gedung kesenian Jember yang berdiri di bekas gedung kantor Dinas Sosial Kabupaten Jember di Jalan PB. Sudirman No. 38. Akun tersebut mempermasalahkan penamaan JKlab (Jember Kreatif Laboratorium) untuk gedung kesenian tersebut yang dipahaminya sebagai “ruang penelitian, ruang uji coba, atau sekedar galeri art, ruang pameran . . .”. Berdasarkan apa yang dipahami dan kenampakannya, akun tersebut kemudian menilai bahwa penamaan dan kenampakan gedung JKlab merepresentasikan fungsi gedung kesenian yang tidak representatif atau tidak memadai untuk menampung keberagaman seni dan budaya di Kabupaten Jember.

Saya sepakat, berdasarkan ukuran atau kenampakan bangunan, gedung kesenian Jember tersebut mungkin tidak ideal untuk disebut sebagai gedung kesenian jika dimaksudkan untuk sebuah pusat kesenian yang berupa kompleks yang berisi gedung-gedung yang merepresentasikan ruang-ruang berbeda untuk jenis-jenis kesenian yang dikelola, seperti pada kompleks Taman Ismail Marzuki. Namun demikian, bukan berarti ukuran bangunan dapat digunakan sebagai titik-tolak untuk menilai seberapa penting ruang kesenian tersebut akan dikelola nantinya. Sebagai contoh ekstrem, agar dapat dibandingkan dengan jelas, Pavilion of Realism — Gustave Courbert yang berdiri di seberang Salon Galery yang dianggap representatif pada abad 19 di Prancis, memberikan dampak luas pada pertumbuhan dan perkembangan seni lukis internasional, tidak saja secara artistik pun secara kultural dan politik. Kita juga bisa memasukan Utan Kayu yang mengelola ruang seni kecil di antara himpitan gedung-gedung komersial di Jakarta yang juga memberikan dampak luas pada pertumbuhan dan perkembangan seni dan pemikiran seni secara nasional.

Penamaan Jember Kreatif Laboratorium untuk gedung kesenian Jember barangkali akan — bahkan sudah — memicu penafsiran yang beragam oleh beberapa kalangan. Namun demikian, bukan berarti penafsiran-penafsiran yang reduktif dapat dibenarkan. Ada dua istilah yang tampaknya harus dijernihkan pada penamaan JKlab di atas. Pertama “kreatif”; istilah “kreatif” tidak begitu saja muncul terkait dengan proses untuk mewujudkan karya seni. Istilah “kreatif” untuk seni, paling tidak, dapat dilacak kemunculannya pada abad pertengahan bersama tradisi seni seni Kristen yang menempatkan manusia sebagai “pencipta” kedua setelah Tuhan — karena manusia diciptakan berdasarkan citra Tuhan. Sebelum itu, seni dianggap sebagai mimesis, tiruan, bukan ciptaan tapi jiplakan, yang dianggap “tidak berguna” oleh Plato karena merupakan simulakra dan dianggap sebagai medium belajar-pembelajaran oleh Aristoteles bersama penemuan tekhne seni representatif. Setelah abad pertengahan, istilah “kreatif” mendapatkan makna baru, puncaknya pada masa Romantik yang menekankan kebebasan manusia yang berhubungan dengan keutamaan kaum seniman. Lalu, melalui Raymond Williams pada sekitar abad 20, selanjutnya kita tahu bahwa bakat “kreatif” itu ada dalam diri setiap manusia yang dapat direalisasikan untuk segala bidang kehidupan dan dapat bersifat sehari-hari.
Kedua “laboratorium”, istilah ini secara sempit dimaknai sebagai ruang terkontrol untuk penyelenggaraan uji coba saintis (dalam arti ilmu alam). Namun, laboratorium untuk ilmu sosial tidak dapat dikatakan sebagai ruang yang dapat dikontrol, sebab laboratorium ilmu sosial adalah masyarakat. Lantas bagaimana dengan laboratorium seni yang secara implisit terkandung dalam nama JKlab? Sepanjang sejarah, jika mau melacak, ada banyak tumbuh laboratorium seni, seperti Pavilion of Realism-nya Gustave Courbert pada abad 19 dan studio Drury Lane-nya Jim Haynes tahun 1967 -1969 sampai Ruang Rupa yang eksis sampai hari ini. Untuk lebih jelas apa itu laboratorium seni, kita bisa membaca definisi laboratorium seni oleh Unesco yang di dalamnya juga mencakup realisasi bakat “kreatif” setiap manusia dan menghubungkan seni dengan dimensi-dimensi kehidupan lainnya. Unesco mendefinisikan laboratorium seni adalah laboratorium untuk intervensi artistik, menekankan peran seniman dalam memproses ingatan dan rekonsiliasi, dan karenanya memajukan hak-hak manusia, kemartabatan dan kebebasan seni.

Jadi tidak perlu tergesa-gesa untuk memaknai atau menafsirkan penamaan JKlab. Tak perlu tergesa-gesa untuk menafsirkan tanpa wawasan atau informasi yang cukup. Penafsiran atau pemaknaan yang tergesa-gesa akan cenderung jatuh pada pereduksian; sikap kritis tanpa dasar yang dapat berujung pada pendiskreditan yang tak tepat seperti seloroh (meskipun diharapkan tidak terjadi) yang mengira gedung kesenian akan jadi butik pakain.

Untuk membangun iklim kesenian yang sehat di Jember, gedung kesenian atau JKlab, adalah ruang. Ruang tersebut tidak akan bekerja dengan sendirinya tanpa lembaga yang mengelola dan sistem pengelolaan, orang-orang yang mengelola, dan, sudah barang tentu, kehidupan seni yang melingkupinya. Saya berharap kita bisa bersabar, tidak grusa-grusu, memberikan waktu dan ruang yang cukup bagi pihak-pihak yang mendapat amanat untuk mewujudkan konsep tata kelola, tata organisasi, skema pembiayaan lembaga seni (Dewan Kesenian Kabupaten Jember) yang akan menjadi lembaga pengelola gedung kesenian tersebut. Kita berharap JKlab akan menjadi “ruang kecil” yang dapat menyebarkan dan menumbuhkan sensibilitas artistik di tengah-tengah masyarakat, menjadi “ruang kecil” bagi para seniman Jember untuk berdialog dengan masyarakat dan para seniman luar Jember, melalui karya maupun secara langsung. Meskipun kita harus insyaf bahwa JKlab tidak mungkin akan memuaskan semua pihak.
*) Penulis adalah Kritikus Sastra

Pada unggahan status facebook 7 Mei 2022 sebuah akun menggugat penamaan dan penampakan gedung kesenian Jember yang berdiri di bekas gedung kantor Dinas Sosial Kabupaten Jember di Jalan PB. Sudirman No. 38. Akun tersebut mempermasalahkan penamaan JKlab (Jember Kreatif Laboratorium) untuk gedung kesenian tersebut yang dipahaminya sebagai “ruang penelitian, ruang uji coba, atau sekedar galeri art, ruang pameran . . .”. Berdasarkan apa yang dipahami dan kenampakannya, akun tersebut kemudian menilai bahwa penamaan dan kenampakan gedung JKlab merepresentasikan fungsi gedung kesenian yang tidak representatif atau tidak memadai untuk menampung keberagaman seni dan budaya di Kabupaten Jember.

Saya sepakat, berdasarkan ukuran atau kenampakan bangunan, gedung kesenian Jember tersebut mungkin tidak ideal untuk disebut sebagai gedung kesenian jika dimaksudkan untuk sebuah pusat kesenian yang berupa kompleks yang berisi gedung-gedung yang merepresentasikan ruang-ruang berbeda untuk jenis-jenis kesenian yang dikelola, seperti pada kompleks Taman Ismail Marzuki. Namun demikian, bukan berarti ukuran bangunan dapat digunakan sebagai titik-tolak untuk menilai seberapa penting ruang kesenian tersebut akan dikelola nantinya. Sebagai contoh ekstrem, agar dapat dibandingkan dengan jelas, Pavilion of Realism — Gustave Courbert yang berdiri di seberang Salon Galery yang dianggap representatif pada abad 19 di Prancis, memberikan dampak luas pada pertumbuhan dan perkembangan seni lukis internasional, tidak saja secara artistik pun secara kultural dan politik. Kita juga bisa memasukan Utan Kayu yang mengelola ruang seni kecil di antara himpitan gedung-gedung komersial di Jakarta yang juga memberikan dampak luas pada pertumbuhan dan perkembangan seni dan pemikiran seni secara nasional.

Penamaan Jember Kreatif Laboratorium untuk gedung kesenian Jember barangkali akan — bahkan sudah — memicu penafsiran yang beragam oleh beberapa kalangan. Namun demikian, bukan berarti penafsiran-penafsiran yang reduktif dapat dibenarkan. Ada dua istilah yang tampaknya harus dijernihkan pada penamaan JKlab di atas. Pertama “kreatif”; istilah “kreatif” tidak begitu saja muncul terkait dengan proses untuk mewujudkan karya seni. Istilah “kreatif” untuk seni, paling tidak, dapat dilacak kemunculannya pada abad pertengahan bersama tradisi seni seni Kristen yang menempatkan manusia sebagai “pencipta” kedua setelah Tuhan — karena manusia diciptakan berdasarkan citra Tuhan. Sebelum itu, seni dianggap sebagai mimesis, tiruan, bukan ciptaan tapi jiplakan, yang dianggap “tidak berguna” oleh Plato karena merupakan simulakra dan dianggap sebagai medium belajar-pembelajaran oleh Aristoteles bersama penemuan tekhne seni representatif. Setelah abad pertengahan, istilah “kreatif” mendapatkan makna baru, puncaknya pada masa Romantik yang menekankan kebebasan manusia yang berhubungan dengan keutamaan kaum seniman. Lalu, melalui Raymond Williams pada sekitar abad 20, selanjutnya kita tahu bahwa bakat “kreatif” itu ada dalam diri setiap manusia yang dapat direalisasikan untuk segala bidang kehidupan dan dapat bersifat sehari-hari.
Kedua “laboratorium”, istilah ini secara sempit dimaknai sebagai ruang terkontrol untuk penyelenggaraan uji coba saintis (dalam arti ilmu alam). Namun, laboratorium untuk ilmu sosial tidak dapat dikatakan sebagai ruang yang dapat dikontrol, sebab laboratorium ilmu sosial adalah masyarakat. Lantas bagaimana dengan laboratorium seni yang secara implisit terkandung dalam nama JKlab? Sepanjang sejarah, jika mau melacak, ada banyak tumbuh laboratorium seni, seperti Pavilion of Realism-nya Gustave Courbert pada abad 19 dan studio Drury Lane-nya Jim Haynes tahun 1967 -1969 sampai Ruang Rupa yang eksis sampai hari ini. Untuk lebih jelas apa itu laboratorium seni, kita bisa membaca definisi laboratorium seni oleh Unesco yang di dalamnya juga mencakup realisasi bakat “kreatif” setiap manusia dan menghubungkan seni dengan dimensi-dimensi kehidupan lainnya. Unesco mendefinisikan laboratorium seni adalah laboratorium untuk intervensi artistik, menekankan peran seniman dalam memproses ingatan dan rekonsiliasi, dan karenanya memajukan hak-hak manusia, kemartabatan dan kebebasan seni.

Jadi tidak perlu tergesa-gesa untuk memaknai atau menafsirkan penamaan JKlab. Tak perlu tergesa-gesa untuk menafsirkan tanpa wawasan atau informasi yang cukup. Penafsiran atau pemaknaan yang tergesa-gesa akan cenderung jatuh pada pereduksian; sikap kritis tanpa dasar yang dapat berujung pada pendiskreditan yang tak tepat seperti seloroh (meskipun diharapkan tidak terjadi) yang mengira gedung kesenian akan jadi butik pakain.

Untuk membangun iklim kesenian yang sehat di Jember, gedung kesenian atau JKlab, adalah ruang. Ruang tersebut tidak akan bekerja dengan sendirinya tanpa lembaga yang mengelola dan sistem pengelolaan, orang-orang yang mengelola, dan, sudah barang tentu, kehidupan seni yang melingkupinya. Saya berharap kita bisa bersabar, tidak grusa-grusu, memberikan waktu dan ruang yang cukup bagi pihak-pihak yang mendapat amanat untuk mewujudkan konsep tata kelola, tata organisasi, skema pembiayaan lembaga seni (Dewan Kesenian Kabupaten Jember) yang akan menjadi lembaga pengelola gedung kesenian tersebut. Kita berharap JKlab akan menjadi “ruang kecil” yang dapat menyebarkan dan menumbuhkan sensibilitas artistik di tengah-tengah masyarakat, menjadi “ruang kecil” bagi para seniman Jember untuk berdialog dengan masyarakat dan para seniman luar Jember, melalui karya maupun secara langsung. Meskipun kita harus insyaf bahwa JKlab tidak mungkin akan memuaskan semua pihak.
*) Penulis adalah Kritikus Sastra

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca