Dalam kehidupan sehari-hari manusia akan senantiasa melakukan interaksi sosial dengan orang lain. Manusia melakukan proses interaksi sosial agar dapat memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan hidupnya. Namun dalam proses interaksi sosial juga menyisakan masalah yaitu terjadinya konflik. Konflik terjadi disebabkan karena adanya salah paham, mis-komunikasi, saling mempertahankan kebenaran menurut versinya masing-masing, dan benturan kepentingan yang lainnya. Bila dilacak dari sejarah konflik, maka konflik sudah ada bersamaan dengan adanya peradaban manusia. Kisah anak Adam, yang bernama Habil dan Qobil sudah membuat drama awal mula konflik, bahkan salah satunya terbunuh akibat konflik tersebut.
Dikisahkan bahwa setiap Siti Hawa melahirkan, yang keluar adalah dua bayi, yang satu berjenis kelamin laki-laki dan satunya perempuan. Kedua bayi yang lahir bersamaan itu selanjutnya disebut saudara kandung. Sejak dulu sudah ada ketentuan bahwa saudara kandung hukumnya terlarang untuk dinikahi. Suatu waktu lahirlah Qobil Bersama dengan saudara kandungnya yang bernama Iqlima. Iqlima tumbuhkembang menjadi gadis yang cantik dan rupawan. Pada waktu berikutnya lahirlah Habil, dengan saudara kandungnya yang bernama Labuda. Labuda tumbuhkembang sebagai wanita, yang ternyata parasnya tidak secantik Iqlima. Kembali pada aturan, maka Qobil harus menikah dengan Labuda, yang parasnya pas-pasan. Pada sisi yang lain Habil harus menikahi Iqlima. Nasib mujur Habil nampaknya menjadikan Qobil marah, sakit hati dan tidak terima atas keputusan tersebut. Qobil berpandangan bahwa aturan yang dibuat tersebut tidak adil, karena tidak menguntungkan dirinya. Qobilpun protes pada Adam, “Saya lebih berhak untuk Iqlima. Dan Habilpun lebih berhak dengan saudari perempuan sekandungnya. Ketentuan ini sebenarnya bukan dari Tuhan, melainkan hanya akal-akalanmu (Adam) saja”. Qobil tetap iri dan menyimpan dendam terhadap Habil. Dipenuhi perasaan emosi, maka Qobil mengambil batu besar dan memukulkan ke kepala Habil, sampai Habil mati.
Pertikaian antara Qobil dan Habil merupakan konflik yang dipicu oleh aturan agama yang dianggap tidak adil. Aturan memang dibuat bukan untuk memuaskan semua pihak. Aturan agama dibuat untuk menegakkan kebenaran. Aturan agamapun masih ada yang menggugat, karena dianggap tidak memuaskan dan belum menjamin rasa keadilan bagi mereka. Belum lagi bila muncul pemahaman yang merasa kelompoknyalah yang paling benar. Pandangan kelompok lain dianggap salah, dan bahkan sesat. Dalam kondisi seperti ini maka tafsir terhadap agama bisa menjadi sumber pemicu konflik di masyarakat. Dahrendorf memberikan pemahaman bahwa dalam masyarakat itu akan senantiasa terjadi konflik. Kekuasaan, bisa dalam bentuk tafsir dari aturan dalam agama, yang memiliki otoritas akan mendominasi dalam kehidupan di masyarakat. Namun kelompok yang didominasi atau tersubornisasi juga akan melakukan resistensi dan melawan bila terdapat praktek koersif dalam sistem kehidupan bersama. Agar tercipta relasi yang harmoni dan dinamis, maka perlu konsensus dalam membangun kerjasama sesama warga komunitas. Dalam berinteraksi sosial harus diciptakan tatanan yang didasari oleh terakomodasinya berbagai kepentingan. Tiap orang punya kepentingan, sehingga asumsinya yang langgeng dalam kehidupan ini adalah kepentingan. Dalam hal ini Dahrendorf menawarkan konsep resolusi konflik dengan pendekatan “konflik dialektika”. Masyarakat yang dinamis dan secara konsisten melakukan perubahan, akan muncul konflik. Konflik harus dikelola dengan memberi ruang negosiasi, sehingga disepakati tatanan baru yang relevan dengan harapan bersama. Agama bisa sebagai akar pemicu munculnya konflik, untuk itu perlu dihadirkan sikap ikhlas menerima aturan agama yang baku. Dalam hal yang terkait dengan tatanan kehidupan bersama, harus dijaga sikap saling menghargai konsensus yang telah disepakatinya. Sudah saatnya mengakhiri berebut benar, agar konflik dapat lerai. Berpikir dan bertindak khidmat (selalu mengambil hikmah) dan bijak merupakan solusi dalam mengatasi konflik.
Akar konflik berikutnya adalah persoalan perebutan sumber daya ekonomi. Manusia dalam hidupnya hampir selalu mengandung motif ekonomi. Marx menyatakan bahwa eksistensi hidup itu bekerja. Jadi orang hidup itu motivasi yang paling dominan adalah kepentingan ekonomi. Orang akan mengisi seluruh potensi hidupnya untuk mencari kekayaan. Orang yang berdaya adalah mereka yang menguasai sumber daya ekonomi. Bila sumber daya ekonomi yang dimiliki diganggu maka akan muncul konflik. Faktor perebutan sumber daya ekonomi dapat sebagai pemicu munculnya konflik. Sampai muncul slogan yang cukup populer, “boleh salah dalam berkata, tapi jangan sampai salah dalam membagi”. Jadi faktor kepentingan ekonomi merupakan hal yang sensitive dan rentan terjadinya konflik.
Munculnya konflik yang dipicu oleh faktor agama dan ekonomi, akhir-akhir ini sering terjadi dalam kehidupan sosial kita. Doktrin agama yang sangat kuat pengaruhnya pada kesadaran mental, karena berkaitan dengan iman, dapat sebagai faktor pendorong orang memilki keberanian bertindak tentang sesuatu yang diyakini benar. Orang rela berkonflik, bahkan bertikai dengan orang lain, yang sebenarnya hanya gara-gara perbedaan pandangan saja. Masing-masing bertahan dengan kebenaran pada pandangannya, dan menganggap salah pandangan orang lain. Bila perbedaan ini yang diekpose, kemudian berlanjut dipertajam, maka akan muncul konflik. Konflik yang awalnya bersifat tersembunyi (laten) bisa berkembang, bahkan sering meletus menjadi konflik terbuka (manifest). Seperti pertikaian antara Qobil dan Habil, konflik di Poso, dan konflik yang dipicu oleh faktor beda pemahaman agama lainnya. Konflik yang paling baru yaitu munculnya pernyataan Menag tentang suara toa di masjid.
Faktor ekonomi juga rentan sebagai pemicu munculnya konflik. Konflik antara buruh dan pemodal akan terus terjadi karena adanya pola pembagian hasil yang dianggap tidak adil bagi kaum buruh. Marx menggambarkan fenomena ini sebagai pertentangan kelas. Kelas buruh akan terus berjuang menentang kapitalis (pemilik perusahaan) dengan tuntutan kenaikan upah dan tuntutan kesejahteraan lainnya. Konflik antar kelas tersebut akan terus terjadi sampai kaum buruh merasa diperlakukan secara adil dan manusiawi. Masih banyak fenomena konflik yang sebagai pemicunya adalah aspek ekonomi.
Konflik itu tidak akan pernah berakhir, karena selalu melekat menyertai kehidupan dalam masyarakat. Konflik tidak bisa dihilangkan, karena akan selalu hadir dalam kehidupan. Konflik juga bukan untuk diminimalisir, tapi konflik harus dikelola dengan baik. Manajemen konflik yang berbasis pendekatan dialog untuk mencapai konsensus, merupakan jalan tengah yang paling efektif. Upaya penyelesaian dengan resolusi konflik dapat sebagai alternatif untuk menuju perdamaian. Sudah saatnya kita memahami konflik sebagai bagian dari dinamika kehidupan. Hidup dalam suasana damai, rukun, dan sejahtera merupakan mimpi kita semua. Jadikanlan agama sebagai sumber kedamaian, bukan sumber pertikaian. Jadikanlah ekonomi sebagai sumber kemakmuran, bukan sebagai pemicu tawuran dan kehancuran. Berdamailah dengan konflik, karena dunia akan berubah menjadi kehidupan yang dipenuhi pembaharuan hanya bila diawali adanya konflik. Sebenarnya konflik itu dibutuhkan untuk perubahan kehidupan agar menjadi lebih baik.
*Penulis adalah dosen Magister Pendidikan IPS FKIP Universitas Jember