26 C
Jember
Thursday, 8 June 2023

Guru Hebat Mengajar Sesuai Potensi Kodrat

Mobile_AP_Rectangle 1

RADARJEMBER.ID – Pomeo yang menarasikan bahwa sebagus apa pun kurikulumnya, tanpa adanya peran guru sebagai implementator kurikulum tersebut, maka perubahan akan peningkatan kualitas pendidikan seperti menjaring angin bisa dibenarkan. Meskipun kurikulumnya sudah merdeka, namun gurunya tidak merdeka adalah sama halnya berteriak lantang di tengah padang pasir. Narasi tersebut muncul ketika melihat banyak realitas sosial yang terjadi di ruang-ruang kelas, bagaimana masih banyak guru yang mengaku kebingungan menerapkan Kurikulum Merdeka belajar. Tentunya ada sekian ragam pleidoi yang muncul ke permukaan, mulai dari model pelatihan mandiri di Platform Merdeka Mengajar (PMM) yang minimalis dan minim informasi, tidak adanya pelatihan masif yang cenderung wajib dan terpaksa belajar, hingga masih terbelenggunya guru pada zona nyaman dan terjebak pada masa lalu (kurikulum).

Tidak seperti kurikulum masa lalu yang cenderung mewajibkan guru untuk mengikuti pelatihan yang membuatnya “terpaksa” harus bisa. Di mana pada pelaksanaannya ada interaksi langsung antara peserta dengan instruktur yang sangat dinamis. Sehingga, jika peserta mengalami kendala penerapan kurikulum pada pembelajaran akan langsung menjadi bahan diskusi dan segera bertemu solusi. Sebaliknya, Kurikulum Merdeka ini dibuat seakan-akan merdeka, di mana PMM seakan kompetensi guru terhadap pemahaman Kurikulum Merdeka berdasarkan hasil centang selesai dan dengan mudah pula masuk pada fase berikutnya.

Pembelajaran berdiferensiasi sebagai ciri khas Kurikulum Merdeka menjadi kendala yang sangat berarti bagi para guru. Pembelajaran berdiferensiasi merupakan pembelajaran yang mengakomodasi kebutuhan belajar murid. Model pembelajaran ini menjadi fase penting bagi guru untuk memfasilitasi murid sesuai dengan kebutuhannya, karena setiap murid mempunyai karakteristik yang berbeda-beda, sehingga tidak bisa diberi perlakuan yang sama. Seorang guru dalam menerapkan pembelajaran berdiferensiasi perlu memikirkan tindakan yang masuk akal yang nantinya akan diambil, karena pembelajaran berdiferensiasi tidak berarti pembelajaran dengan memberikan perlakuan atau tindakan yang berbeda untuk setiap murid, maupun pembelajaran yang membedakan antara murid yang pintar dengan yang kurang pintar.

Mobile_AP_Rectangle 2

Laksana jurang pemisah yang begitu dalam antara mimpi besar Kurikulum Merdeka dengan potret implementasinya di ruang kelas tentunya harus segera dicarikan solusi cerdasnya. Guru sebagai garda terdepan agenda suksesi kurikulum harus segera bangkit dari zona nyamannya untuk berliterasi terkait pembelajaran berdiferensiasi dan dengan cepat pula merancang proses pembelajaran yang dikembangkannya, sehingga semua peserta didik dapat mencapai tujuan pembelajaran melalui karakteristik mereka yang berbeda-beda.

Pembelajaran berdiferensiasi sangat berkaitan dengan filosofi pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara. Salah satu filosofi pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara adalah sistem “among”. Guru harus dapat menuntun murid untuk berkembang sesuai dengan kodratnya. Hal ini sangat sesuai dengan pembelajaran berdiferensiasi. Pada hakikatnya, siswa akan merasa lebih dihargai apabila guru berangkat dari kodrat yang sama dengan mereka para siswa. Pendek kata, guru dan siswa berada pada frekuensi potensi kodrat yang sama. Penghargaan yang diberikan oleh guru sangat bermakna bagi siswa, maka pendidikan harus mampu sebagai media mengasah rasa kemanusiaan. Jika rasa saling menghargai itu membumi, maka nantinya para siswa akan memiliki toleransi terhadap perbedaan yang  terjadi di dunia nyata.

Ki Hajar Dewantara melalui folisofinya yang sangat relevan dengan pembelajaran berdiferensiasi yaitu diibaratkan seperti para pengukir kayu yang memiliki pengetahuan jenis-jenis kayu, keadaan kayu, keindahan mengukir dan cara mengukir. Guru harus memiliki pengetahuan mendidik secara mendalam sama dengan seorang pengukir kayu yang sangat paham dengan keadaan kayu, bedanya guru mengukir manusia yang memiliki hidup lahir batin. Pendidikan tidak bisa diseragamkan harus menghargai perbedaan yang ada pada diri anak, tidak baik menyeragamkan hal yang tidak dianggap perlu, karena sejatinya potensi kodrat manusia itu beragam. Lantas, bagaimana langkah melaksanakan pembelajaran berdiferensiasi?

Pertama, pemetaan kebutuhan belajar peserta didik yang diawali dengan melaksanakan asesmen diagnostik terkait kesiapan belajar, minat belajar, dan profil belajar siswa. Asesmen diagnostik dari segi kognitif maupun nonkognitif tersebut menjadi pijakan dalam menyelenggarakan pembelajaran berdiferensiasi.

Kedua, penentuan tujuan pembelajaran yang sesuai untuk setiap peserta didik. Tujuan pembelajaran harus berlandaskan spirit bahwa pembelajaran akan membawa peserta didik bisa mencapai tujuan belajarnya. Ibarat orang yang hendak memesan ojek online pastinya harus mempunyai tujuan yang jelas di mana tempat berlabuhnya.

Ketiga, penyusunan rencana pembelajaran. Catatan pentingnya dalam rencana pembelajaran ini harus mewadahi kebutuhan peserta didik berdasarkan hasil asesmen yang dilakukan. Merencanakan pembelajaran berdiferensiasi berdasarkan hasil pemetaan (memberikan berbagai pilihan baik dari strategi, materi, maupun cara belajar). Catatan pentingnya juga harus memuat tiga strategi diferensiasi meliputi; diferensiasi konten, diferensiasi proses, dan diferensiasi produk.

Keempat, menyelenggarakan pembelajaran berdiferensiasi. Langkah pertama dan menjadi kunci tentunya adalah pembuatan rancangan pelaksanaan pembelajaran (RPP)oleh guru. RPP diferensiasi jelas berbeda dengan RPP Kurikulum 13 yang telah dibuat guru selama ini. Perbedaannya terletak pada tiga strategi yang disebutkan sebelumnya: konten, proses, dan produk, yang dieksplorasi bersama peserta didik. RPP diferensiasi memiliki perbedaan isi, proses pembelajaran, dan produk pembelajaran. Setelah dibuat, strategi yang telah ditetapkan akan dicantumkan dalam kegiatan inti RPP, dan selebihnya dibuat seperti RPP sebelumnya

Kelima, Evaluasi hasil belajar peserta didik secara berkala untuk perbaikan. Dalam tahap evaluasi hasil belajar ini yang perlu diperhatikan oleh guru adalah ketersediaan alat ukur yang beraneka ragam sesuai dengan kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan oleh peserta didik. Berdasarkan hasil evaluasi ini selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan evaluasi bagi guru dalam menyelenggarakan kegiatan pembelajaran selanjutnya.

Akhirnya, marilah kita menjadi guru hebat yang mengajari siswa sesuai potensi kodratnya. Selanjutnya, kita akan bisa melihat bagaimana dampak pembelajaran berdiferensiasi seperti; a) Kepercayaan diri semua peserta didik akan merasa diterima; b) Karakteristik yang berbeda menjadikan siswa merasa dihargai, aman, dan penuh harapan untuk pertumbuhan, c) Ada keadilan yang nyata dan kerjasama antara peserta didik dan guru, dan d) Akan terpenuhi sepenuhnya kebutuhan belajar peserta didik.

 

*) Penulis adalah kepala SMK Negeri 1 Klabang, Kabupaten Bondowoso.

- Advertisement -

RADARJEMBER.ID – Pomeo yang menarasikan bahwa sebagus apa pun kurikulumnya, tanpa adanya peran guru sebagai implementator kurikulum tersebut, maka perubahan akan peningkatan kualitas pendidikan seperti menjaring angin bisa dibenarkan. Meskipun kurikulumnya sudah merdeka, namun gurunya tidak merdeka adalah sama halnya berteriak lantang di tengah padang pasir. Narasi tersebut muncul ketika melihat banyak realitas sosial yang terjadi di ruang-ruang kelas, bagaimana masih banyak guru yang mengaku kebingungan menerapkan Kurikulum Merdeka belajar. Tentunya ada sekian ragam pleidoi yang muncul ke permukaan, mulai dari model pelatihan mandiri di Platform Merdeka Mengajar (PMM) yang minimalis dan minim informasi, tidak adanya pelatihan masif yang cenderung wajib dan terpaksa belajar, hingga masih terbelenggunya guru pada zona nyaman dan terjebak pada masa lalu (kurikulum).

Tidak seperti kurikulum masa lalu yang cenderung mewajibkan guru untuk mengikuti pelatihan yang membuatnya “terpaksa” harus bisa. Di mana pada pelaksanaannya ada interaksi langsung antara peserta dengan instruktur yang sangat dinamis. Sehingga, jika peserta mengalami kendala penerapan kurikulum pada pembelajaran akan langsung menjadi bahan diskusi dan segera bertemu solusi. Sebaliknya, Kurikulum Merdeka ini dibuat seakan-akan merdeka, di mana PMM seakan kompetensi guru terhadap pemahaman Kurikulum Merdeka berdasarkan hasil centang selesai dan dengan mudah pula masuk pada fase berikutnya.

Pembelajaran berdiferensiasi sebagai ciri khas Kurikulum Merdeka menjadi kendala yang sangat berarti bagi para guru. Pembelajaran berdiferensiasi merupakan pembelajaran yang mengakomodasi kebutuhan belajar murid. Model pembelajaran ini menjadi fase penting bagi guru untuk memfasilitasi murid sesuai dengan kebutuhannya, karena setiap murid mempunyai karakteristik yang berbeda-beda, sehingga tidak bisa diberi perlakuan yang sama. Seorang guru dalam menerapkan pembelajaran berdiferensiasi perlu memikirkan tindakan yang masuk akal yang nantinya akan diambil, karena pembelajaran berdiferensiasi tidak berarti pembelajaran dengan memberikan perlakuan atau tindakan yang berbeda untuk setiap murid, maupun pembelajaran yang membedakan antara murid yang pintar dengan yang kurang pintar.

Laksana jurang pemisah yang begitu dalam antara mimpi besar Kurikulum Merdeka dengan potret implementasinya di ruang kelas tentunya harus segera dicarikan solusi cerdasnya. Guru sebagai garda terdepan agenda suksesi kurikulum harus segera bangkit dari zona nyamannya untuk berliterasi terkait pembelajaran berdiferensiasi dan dengan cepat pula merancang proses pembelajaran yang dikembangkannya, sehingga semua peserta didik dapat mencapai tujuan pembelajaran melalui karakteristik mereka yang berbeda-beda.

Pembelajaran berdiferensiasi sangat berkaitan dengan filosofi pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara. Salah satu filosofi pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara adalah sistem “among”. Guru harus dapat menuntun murid untuk berkembang sesuai dengan kodratnya. Hal ini sangat sesuai dengan pembelajaran berdiferensiasi. Pada hakikatnya, siswa akan merasa lebih dihargai apabila guru berangkat dari kodrat yang sama dengan mereka para siswa. Pendek kata, guru dan siswa berada pada frekuensi potensi kodrat yang sama. Penghargaan yang diberikan oleh guru sangat bermakna bagi siswa, maka pendidikan harus mampu sebagai media mengasah rasa kemanusiaan. Jika rasa saling menghargai itu membumi, maka nantinya para siswa akan memiliki toleransi terhadap perbedaan yang  terjadi di dunia nyata.

Ki Hajar Dewantara melalui folisofinya yang sangat relevan dengan pembelajaran berdiferensiasi yaitu diibaratkan seperti para pengukir kayu yang memiliki pengetahuan jenis-jenis kayu, keadaan kayu, keindahan mengukir dan cara mengukir. Guru harus memiliki pengetahuan mendidik secara mendalam sama dengan seorang pengukir kayu yang sangat paham dengan keadaan kayu, bedanya guru mengukir manusia yang memiliki hidup lahir batin. Pendidikan tidak bisa diseragamkan harus menghargai perbedaan yang ada pada diri anak, tidak baik menyeragamkan hal yang tidak dianggap perlu, karena sejatinya potensi kodrat manusia itu beragam. Lantas, bagaimana langkah melaksanakan pembelajaran berdiferensiasi?

Pertama, pemetaan kebutuhan belajar peserta didik yang diawali dengan melaksanakan asesmen diagnostik terkait kesiapan belajar, minat belajar, dan profil belajar siswa. Asesmen diagnostik dari segi kognitif maupun nonkognitif tersebut menjadi pijakan dalam menyelenggarakan pembelajaran berdiferensiasi.

Kedua, penentuan tujuan pembelajaran yang sesuai untuk setiap peserta didik. Tujuan pembelajaran harus berlandaskan spirit bahwa pembelajaran akan membawa peserta didik bisa mencapai tujuan belajarnya. Ibarat orang yang hendak memesan ojek online pastinya harus mempunyai tujuan yang jelas di mana tempat berlabuhnya.

Ketiga, penyusunan rencana pembelajaran. Catatan pentingnya dalam rencana pembelajaran ini harus mewadahi kebutuhan peserta didik berdasarkan hasil asesmen yang dilakukan. Merencanakan pembelajaran berdiferensiasi berdasarkan hasil pemetaan (memberikan berbagai pilihan baik dari strategi, materi, maupun cara belajar). Catatan pentingnya juga harus memuat tiga strategi diferensiasi meliputi; diferensiasi konten, diferensiasi proses, dan diferensiasi produk.

Keempat, menyelenggarakan pembelajaran berdiferensiasi. Langkah pertama dan menjadi kunci tentunya adalah pembuatan rancangan pelaksanaan pembelajaran (RPP)oleh guru. RPP diferensiasi jelas berbeda dengan RPP Kurikulum 13 yang telah dibuat guru selama ini. Perbedaannya terletak pada tiga strategi yang disebutkan sebelumnya: konten, proses, dan produk, yang dieksplorasi bersama peserta didik. RPP diferensiasi memiliki perbedaan isi, proses pembelajaran, dan produk pembelajaran. Setelah dibuat, strategi yang telah ditetapkan akan dicantumkan dalam kegiatan inti RPP, dan selebihnya dibuat seperti RPP sebelumnya

Kelima, Evaluasi hasil belajar peserta didik secara berkala untuk perbaikan. Dalam tahap evaluasi hasil belajar ini yang perlu diperhatikan oleh guru adalah ketersediaan alat ukur yang beraneka ragam sesuai dengan kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan oleh peserta didik. Berdasarkan hasil evaluasi ini selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan evaluasi bagi guru dalam menyelenggarakan kegiatan pembelajaran selanjutnya.

Akhirnya, marilah kita menjadi guru hebat yang mengajari siswa sesuai potensi kodratnya. Selanjutnya, kita akan bisa melihat bagaimana dampak pembelajaran berdiferensiasi seperti; a) Kepercayaan diri semua peserta didik akan merasa diterima; b) Karakteristik yang berbeda menjadikan siswa merasa dihargai, aman, dan penuh harapan untuk pertumbuhan, c) Ada keadilan yang nyata dan kerjasama antara peserta didik dan guru, dan d) Akan terpenuhi sepenuhnya kebutuhan belajar peserta didik.

 

*) Penulis adalah kepala SMK Negeri 1 Klabang, Kabupaten Bondowoso.

RADARJEMBER.ID – Pomeo yang menarasikan bahwa sebagus apa pun kurikulumnya, tanpa adanya peran guru sebagai implementator kurikulum tersebut, maka perubahan akan peningkatan kualitas pendidikan seperti menjaring angin bisa dibenarkan. Meskipun kurikulumnya sudah merdeka, namun gurunya tidak merdeka adalah sama halnya berteriak lantang di tengah padang pasir. Narasi tersebut muncul ketika melihat banyak realitas sosial yang terjadi di ruang-ruang kelas, bagaimana masih banyak guru yang mengaku kebingungan menerapkan Kurikulum Merdeka belajar. Tentunya ada sekian ragam pleidoi yang muncul ke permukaan, mulai dari model pelatihan mandiri di Platform Merdeka Mengajar (PMM) yang minimalis dan minim informasi, tidak adanya pelatihan masif yang cenderung wajib dan terpaksa belajar, hingga masih terbelenggunya guru pada zona nyaman dan terjebak pada masa lalu (kurikulum).

Tidak seperti kurikulum masa lalu yang cenderung mewajibkan guru untuk mengikuti pelatihan yang membuatnya “terpaksa” harus bisa. Di mana pada pelaksanaannya ada interaksi langsung antara peserta dengan instruktur yang sangat dinamis. Sehingga, jika peserta mengalami kendala penerapan kurikulum pada pembelajaran akan langsung menjadi bahan diskusi dan segera bertemu solusi. Sebaliknya, Kurikulum Merdeka ini dibuat seakan-akan merdeka, di mana PMM seakan kompetensi guru terhadap pemahaman Kurikulum Merdeka berdasarkan hasil centang selesai dan dengan mudah pula masuk pada fase berikutnya.

Pembelajaran berdiferensiasi sebagai ciri khas Kurikulum Merdeka menjadi kendala yang sangat berarti bagi para guru. Pembelajaran berdiferensiasi merupakan pembelajaran yang mengakomodasi kebutuhan belajar murid. Model pembelajaran ini menjadi fase penting bagi guru untuk memfasilitasi murid sesuai dengan kebutuhannya, karena setiap murid mempunyai karakteristik yang berbeda-beda, sehingga tidak bisa diberi perlakuan yang sama. Seorang guru dalam menerapkan pembelajaran berdiferensiasi perlu memikirkan tindakan yang masuk akal yang nantinya akan diambil, karena pembelajaran berdiferensiasi tidak berarti pembelajaran dengan memberikan perlakuan atau tindakan yang berbeda untuk setiap murid, maupun pembelajaran yang membedakan antara murid yang pintar dengan yang kurang pintar.

Laksana jurang pemisah yang begitu dalam antara mimpi besar Kurikulum Merdeka dengan potret implementasinya di ruang kelas tentunya harus segera dicarikan solusi cerdasnya. Guru sebagai garda terdepan agenda suksesi kurikulum harus segera bangkit dari zona nyamannya untuk berliterasi terkait pembelajaran berdiferensiasi dan dengan cepat pula merancang proses pembelajaran yang dikembangkannya, sehingga semua peserta didik dapat mencapai tujuan pembelajaran melalui karakteristik mereka yang berbeda-beda.

Pembelajaran berdiferensiasi sangat berkaitan dengan filosofi pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara. Salah satu filosofi pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara adalah sistem “among”. Guru harus dapat menuntun murid untuk berkembang sesuai dengan kodratnya. Hal ini sangat sesuai dengan pembelajaran berdiferensiasi. Pada hakikatnya, siswa akan merasa lebih dihargai apabila guru berangkat dari kodrat yang sama dengan mereka para siswa. Pendek kata, guru dan siswa berada pada frekuensi potensi kodrat yang sama. Penghargaan yang diberikan oleh guru sangat bermakna bagi siswa, maka pendidikan harus mampu sebagai media mengasah rasa kemanusiaan. Jika rasa saling menghargai itu membumi, maka nantinya para siswa akan memiliki toleransi terhadap perbedaan yang  terjadi di dunia nyata.

Ki Hajar Dewantara melalui folisofinya yang sangat relevan dengan pembelajaran berdiferensiasi yaitu diibaratkan seperti para pengukir kayu yang memiliki pengetahuan jenis-jenis kayu, keadaan kayu, keindahan mengukir dan cara mengukir. Guru harus memiliki pengetahuan mendidik secara mendalam sama dengan seorang pengukir kayu yang sangat paham dengan keadaan kayu, bedanya guru mengukir manusia yang memiliki hidup lahir batin. Pendidikan tidak bisa diseragamkan harus menghargai perbedaan yang ada pada diri anak, tidak baik menyeragamkan hal yang tidak dianggap perlu, karena sejatinya potensi kodrat manusia itu beragam. Lantas, bagaimana langkah melaksanakan pembelajaran berdiferensiasi?

Pertama, pemetaan kebutuhan belajar peserta didik yang diawali dengan melaksanakan asesmen diagnostik terkait kesiapan belajar, minat belajar, dan profil belajar siswa. Asesmen diagnostik dari segi kognitif maupun nonkognitif tersebut menjadi pijakan dalam menyelenggarakan pembelajaran berdiferensiasi.

Kedua, penentuan tujuan pembelajaran yang sesuai untuk setiap peserta didik. Tujuan pembelajaran harus berlandaskan spirit bahwa pembelajaran akan membawa peserta didik bisa mencapai tujuan belajarnya. Ibarat orang yang hendak memesan ojek online pastinya harus mempunyai tujuan yang jelas di mana tempat berlabuhnya.

Ketiga, penyusunan rencana pembelajaran. Catatan pentingnya dalam rencana pembelajaran ini harus mewadahi kebutuhan peserta didik berdasarkan hasil asesmen yang dilakukan. Merencanakan pembelajaran berdiferensiasi berdasarkan hasil pemetaan (memberikan berbagai pilihan baik dari strategi, materi, maupun cara belajar). Catatan pentingnya juga harus memuat tiga strategi diferensiasi meliputi; diferensiasi konten, diferensiasi proses, dan diferensiasi produk.

Keempat, menyelenggarakan pembelajaran berdiferensiasi. Langkah pertama dan menjadi kunci tentunya adalah pembuatan rancangan pelaksanaan pembelajaran (RPP)oleh guru. RPP diferensiasi jelas berbeda dengan RPP Kurikulum 13 yang telah dibuat guru selama ini. Perbedaannya terletak pada tiga strategi yang disebutkan sebelumnya: konten, proses, dan produk, yang dieksplorasi bersama peserta didik. RPP diferensiasi memiliki perbedaan isi, proses pembelajaran, dan produk pembelajaran. Setelah dibuat, strategi yang telah ditetapkan akan dicantumkan dalam kegiatan inti RPP, dan selebihnya dibuat seperti RPP sebelumnya

Kelima, Evaluasi hasil belajar peserta didik secara berkala untuk perbaikan. Dalam tahap evaluasi hasil belajar ini yang perlu diperhatikan oleh guru adalah ketersediaan alat ukur yang beraneka ragam sesuai dengan kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan oleh peserta didik. Berdasarkan hasil evaluasi ini selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan evaluasi bagi guru dalam menyelenggarakan kegiatan pembelajaran selanjutnya.

Akhirnya, marilah kita menjadi guru hebat yang mengajari siswa sesuai potensi kodratnya. Selanjutnya, kita akan bisa melihat bagaimana dampak pembelajaran berdiferensiasi seperti; a) Kepercayaan diri semua peserta didik akan merasa diterima; b) Karakteristik yang berbeda menjadikan siswa merasa dihargai, aman, dan penuh harapan untuk pertumbuhan, c) Ada keadilan yang nyata dan kerjasama antara peserta didik dan guru, dan d) Akan terpenuhi sepenuhnya kebutuhan belajar peserta didik.

 

*) Penulis adalah kepala SMK Negeri 1 Klabang, Kabupaten Bondowoso.

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca

/