TOXIC (racun) dalam kamus Merriam Webster diartikan sebagai hal yang mengandung bahan yang berbahaya terutama ketika mampu menyebabkan kematian, kelemahan, dan kekerasan. Sedangkan, masculinity diartikan sebagai kualitas yang sering dikaitkan dengan laki-laki seperti kejantanan, dll. Sehingga, secara harfiah toxic masculinity dapat diartikan sebagai budaya atau lingkungan sekitar yang melihat seseorang berdasarkan sifat kejantanan yang dimiliki. Dengan demikian, toxic masculinity berjalan sebagai perilaku sempit dalam memaknai peran gender dan sifat laki-laki.
Hal ini selaras dengan pemaparan sebuah studi yang dimuat dalam Journal of Psychology yang mengartikan bahwa toxic masculinity merupakan kumpulan sifat maskulin dalam konstruksi sosial yang difungsikan untuk mendorong dominasi, kekerasan, homophobia, dan perendahan terhadap perempuan. Sebagaimana yang ditulis oleh Jaclyn Friedman dalam Toxic Masculinity yang diunggah pada media The American Prospect bahwa toxic masculinity mendefinisikan dirinya tidak hanya bertentangan dengan perempuan, tetapi secara inheren mengunggulkan diri dan menarik kekuatannya dari dominasi atas kelemahan perempuan dan menciptakan laki-laki yang senang hati merusak kekuasaan perempuan.
Lebih lanjut, Amanda Marcotte, seorang penulis feminism, politisi, dan budaya, mengatakan bahwa toxic masculinity adalah model spesifik kejantanan yang diarahkan pada dominasi dan kontrol. Ini adalah kejantanan yang memandang perempuan dan orang-orang LGBT sebagai bukan manusia yang saling kasih dan sayang, tetapi sebagai dominasi atas dirinya dan menghargai tindakan (kekerasan) sebagai cara pembuktian diri kepada dunia. Toxic masculinity pada mulanya bercita-cita untuk sebuah ketangguhan, namun pada kenyataannya menjadi sebuah ideologi hidup dalam ketakutan; ketakutan akan sifat lembut, lemah, atau anggapan lain yang kurang jantan.
Toxic masculinity diawali dengan kebangkitan gerakan laki-laki Mythopoetic tahun 80-an dan 90-an. Gerakan ini sebagai tanggapan dari adanya gerakan feminisme dan sebagian besar didukung oleh buku Robert Bly yang berjudul Iron John. Dalam buku ini, Bly menegaskan bahwa gerakan feminisme menyebabkan laki-laki untuk memeriksa sisi feminisnya dengan meninggalkan kebiasaan atau ritual laki-laki yang sering mereka lakukan. Dalam pengantar bukunya, Bly menuliskan bahwa “Laki-laki dalam dua puluh tahun terakhir telah menjadi lebih bijaksana dan lembut, sehingga dalam proses ini dia tidak menjadi lebih bebas.”
Seiring perjalanannya, toxic masculinity mendekonstruksikan maskulinitas sebagai topeng performatif daripada sebatas keharusan biologis. Menurut Erick Mankowski, Ketua Asosiasi Departemen Psikologi Portland dan kepala Tim Penelitian Intervensi Gender dan kekerasan, ada empat komponen utama yang membalut toxic masculinity, antaranya; 1) Penindasan terhadap segala sesuatu yang secara stereotip feminisme. 2) Penekanan emosi yang berhubungan dengan kerentanan, seperti ketakutan, ketidakberdayaan, dll. 3) Dominasi laki-laki atas perempuan dan laki-laki lain. Dan 4) Agresi. Dari empat komponen distal tersebut, tentunya akan memunculkan sikap dan perilaku proksimal seperti anggapan “saya berhak memiliki akses ke tubuh perempuan,” dll. Hal ini senada dengan hasil penelitian yang dilakukan Y. Joel Wong bahwa toxic masculinity bercirikan seperti keinginan untuk menang, kekerasan, dan kekuasaan atas perempuan, serta penghinaan terhadap homoseksual, dll.
Adapun penanaman pemahaman toxic masculinity dimulai dari pola asuh orang tua terhadap anak. Biasanya anak laki-laki diajarkan bahwa mereka akan dihukum karena melakukan sesuatu yang bersifat “perempuan”, mulai dari main boneka, menangis, dll. Selanjutnya, Frank Pittman berpendapat bahwa toxic masculinity dihasilkan dari perempuan yang membesarkan anak laki-laki tanpa kehadiran panutan laki-laki, sehingga menyalahkan perempuan atas keberadaannya.
Selain itu, laki-laki sangat menyukai kejantanannya karena laki-laki telah diajarkan untuk mengorbankan hidup mereka demi kejantanannya. Seperti contoh; tidak boleh mengeluh dan menangis, melakukan tindak kekerasan pada orang lain sebagai pembuktian atas kejantanannya, menunjukkan dominasi dan kekuasaan terhadap orang lain, merasa tidak perlu membela hak perempuan atau kaum marginal lain, mengagungkan tindakan berisiko seperti menyetir dengan kecepatan tinggi dan mengonsumsi obat terlarang, serta enggan untuk melakukan aktivitas yang dianggap hanya milik perempuan seperti menyapu, berkebun, dan mengasuh anak.
Dalam perkembangannya, toxic masculinity membawa dampak bagi kehidupan. Baik kepada perempuan maupun laki-laki. Dengan mendikte bahwa pria harus kuat, tidak memiliki perasaan, dan mendominasi wanita, cita-cita maskulinitas membuat pria kehilangan aspek kehidupan yang harus tersedia untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, serta yang paling buruk yakni dapat mendorong kekerasan.
Suzannah Weiss dalam tulisannya Harmful Effects of Toxic masculinity menyebutkan beberapa dampak negatif akibat toxic masculinity, antaranya; 1) Dapat menindas emosi, hal ini karena toxic masculinity menyatakan bahwa satu-satunya emosi yang diungkapkan pria hanyalah kemarahan, sehingga menghalangi pria untuk berhubungan dengan hal lain yang mereka rasakan. 2) Mendorong adanya kekerasan, sebab toxic masculinity mengajarkan bahwa kekerasan adalah cara terbaik untuk laki-laki membuktikan kekuatan dan kekuasaan mereka. 3) Melestarikan budaya pemerkosaan. Toxic masculinity mengajarkan pria bahwa identitas mereka bergantung pada kemampuan untuk mendominasi perempuan, dan satu cara umum bagi laki-laki untuk menegaskan dominasi mereka adalah serangan dan pelecehan seksual. 4) Misogini, dalam hal ini toxic masculinity mengajarkan bahwa laki-laki yang berkuasa, yang berarti perempuan tidak; bahwa laki-laki memimpin dan perempuan hanya mengikuti yang laki-laki katakan; bahwa laki-laki lebih unggul dan perempuan lebih rendah; bahwa laki-laki kuat dan wanita itu lemah.
Singkatnya, dengan melampirkan karakteristik tertentu kepada pria dan menilai mereka di atas kualitas perempuan, sehingga bukan hanya mendorong budaya yang menentang feminism, tetapi juga merendahkan perempuan.
Secara jelas toxic Masculinity telah meninggalkan nilai kemanusiaan dan memberi dampak negatif baik kepada laki-laki maupun perempuan. Maka, sebisa mungkin pemikiran yang mengarah pada toxic masculinity dihindarkan dan dicegah. Adapun cara yang bisa dilakukan untuk membunuh toxic masculinity dengan mengubah pola asuh anak yang salah. Sedari kecil orang tua bisa menyampaikan kepada anak bahwa seorang anak laki-laki boleh menangis dan bebas mencurahkan apa yang ia rasakan. Selain itu, orang tua perlu mengajari konsep konsensual sejak dini kepada seorang anak. Misalnya, menyampaikan bahwa setiap orang memiliki batasan yang tidak bisa sembarangan dilewati dan juga mengajarkan bahwa tubuh setiap orang adalah milik orang tersebut, sehingga ia tak bisa sembarangan menyentuh atau memeluk tanpa izin. Selanjutnya, orang tua perlu berhati-hati dalam memberikan media hiburan pada anak. Apabila mendeteksi elemen toxic masculinity dalam film atau buku kesukaannya, orang tua bisa memberikan intervensi bahwa elemen tersebut tidak patut untuk dicontoh.
Selain cara di atas, dalam media Medical News Today disampaikan bahwa cara yang bisa dilakukan untuk mengubur pemikiran toxic Masculinity pada tingkat pribadi yaitu dengan mendidik diri tentang sikapnya terhadap maskulinitas dan memberi ruang bagi orang lain untuk membantu mengubah definisi yang tertanam di dalam dirinya. Contohnya; mengundang seorang teman untuk berbagi emosi atau perasaan tentang berbagai topik dan mendiskusikannya secara terbuka tanpa menghakimi ataupun mengkritik orang lain. Dengan berbagai cara yang bisa dilakukan sebagai alternatif membuka pemenjaraan manusia berdasar adanya toxic masculinity, maka diharapkan tidak ada lagi pihak yang dilanggar kemanusiaannya, baik laki-laki maupun perempuan.
(* Penulis adalah Ketua PMII Rayon FKIP Komisariat Universitas Islam Jember